MAKALAH HUKUM BISNIS ASPEK PERJANJIAN HUKUM OUTSORCING DI INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul
“ASPEK PERJANJIAN HUKUM OUTSORCING DI INDONESIA”
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Palattae
19 Januari 2014
A M
Taufik AmalRos
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang
demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan
terjadi di semua lini.Lingkungan yang sangat kompetitip ini menuntut dunia
usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang
cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan.Untuk itu
dperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil
rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat
menjadi lebih efektif, efisien dan produktif (Simbolon. 2011:34).
Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian
muncul kecendrungan uotsourcing yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa
bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain
yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.
Praktek sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih
banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak
tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya
sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan
karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu
dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat
kaburnya hubungan industrial.
Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak ada satupun peraturan
perundang-undangan dibidang ketengakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap
pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing. Kalaupun ada, barang kali Permen
Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993 tentang kesempatan kerja waktu tertentu atau
(KKWT), yang hanya merupakan salah satu aspek dari ousourcing.
BAB II
PEMBAHASAN
Aspek Hukum Perjanjian Outsourcing di
Indonesia
Faiz (2007: 1-10) di dalam jurnalnya mengatakan persaingan
dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi
pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait
dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama
dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas
yang memiliki daya saing di pasaran.
Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan
berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).[1]
Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini
perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia
(SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.[2]
Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau
pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana
badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen
berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.[3]
Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di
Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga
kerja[4] pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing
(Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.
|
Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek
saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana
lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus
dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan,
efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya.
Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat
berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat
penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada
pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama
masalah ketenagakerjaan.
Definisi Outsourcing
Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya)
diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise
Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai
berikut:[6]
“ Contract to enter into or make a contract. From the
latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring
about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus
didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A
Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan
sebagai berikut :[7]
“Strategic use of outside parties to perform activities,
traditionally handled by internal staff and respurces.”
Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya)
dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak
pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan
ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat
persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan
sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
|
Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar
hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing
(Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan
jasa pekerja/buruh.[8] Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai
pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting
pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.[9]
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing
(Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu
secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun
2003.
Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih
Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri
dari 4 ayat).
Perjanjian dalam Outsourcing
Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan
perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian
tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk perjanjian
pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh.
Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah
perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing
(Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing
|
Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum,
karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna
outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna
oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara
keduanya.
Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing
(Alih Daya)
Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai
potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan
perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource
dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003,
penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource
adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan
perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.
Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa menempatkan
diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun
perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja
sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan,
daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource
secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di
perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan
performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.
Dasar Hukum Pelaksanaan Sistem Outsourcing
di Indonesia
Pengaturan tentang sistem outsourcing, sebenarnya sudah
diatur sejak masa pemerintahan Belanda. Outsourcing diatur dalam KUH Perdata
Pasal 1601 b. Pasal tersebut mengatur bahwa pemborongan suatu pekerjaan adalah
kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan
suatu pekerjaan kepada pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan
suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga.
Tetapi pengaturan dalam KUH Perdata masih belum lengkap karena belum diatur
terkait pekerjaan yang dapat dioutsourcingkan, tanggung jawab perusahaan
pengguna dan penyedia tenaga kerja outsourcing dan jenis perusahaan yang dapat
menyediakan tenaga kerja outsourcing.
Kemudian dasar hukum pelaksanaan sistem outsourcing di
Indonesia era modern diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor: KEP.220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain serta Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No: Kep. 101/MEN/VI/2004 Tentang Tata
Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Undang-undang No. 13
Tahun 2003 pasal 64 menyebutkan bahwa:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, outsourcing dibagi
menjadi dua jenis:
Pemborongan
pekerjaan
Merupakan pengalihan suatu pekerjaan kepada vendor
outsourcing, dimana vendor bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pekerjaan yang
dialihkan beserta hal-hal yang bersifat teknis (pengaturan oerasional) maupun
hal-hal yang bersifat non-teknis (administrasi kepegawaian). Pekerjaan yang
dialihkan adalah pekerjaan yang bisa diukur volumenya, dan fee yang dikenakan
oleh vendor adalah rupiah per satuan kerja (Rp/m2, Rp/kg, dsb.). Contoh:
pemborongan pekerjaan cleaning service, jasa pembasmian hama, jasa katering,
dsb.
Penyediaan
jasa Pekerja/Buruh
Merupakan pengalihan suatu posisi kepada vendor
outsourcing, dimana vendor menempatkan karyawannya untuk mengisi posisi
tersebut. Vendor hanya bertanggung jawab terhadap manajemen karyawan tersebut
serta hal-hal yang bersifat non-teknis lainnya, sedangkan hal-hal teknis
menjadi tanggung jawab perusahaan selaku pengguna dari karyawan vendor.
Meskipun pengertian outsourcing terbagi atas dua suku
kata: out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung jawab dan
keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa Indonesia berarti alih
daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya dapat diartikan sebagai
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-core atau penunjang
oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Namun, pada perkembangannya
praktik sistem outsourcing tidak hanya dilakukan melalui pengalihan pekerjaan
kepada perusahaan vendor outsourcing, tetapi perusahaan secara mandiri juga
dapat melakukan praktik outsourcing dengan merekrut karyawan kontrak yang
disebut sebagai Pekerjaan Waktu Tertentu (PKWT). Dalam hal ini hubungan yang
berlangsung adalah antara perusahaan dengan karyawan kontrak dengan
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan tersebut terhadap para
pekerja kontrak.
Perkembangan Peraturan Outsourcing di
Indonesia
Dalam perkembangannya, praktik outsourcing lebih banyak
merugikan para pekerja/buruh yang bekerja secara outsource. Oleh karena itu
Mahkamah Institusi Republik Indonesia melalui Putusan No. 27/PUU-IX/2011 pada
tanggal 17 Januari 2012 menghapuskan praktik sistem outsourcing. Keputusan ini
merupakan putusan pengadilan terhadap tuntutan seorang buruh PLN terhadap
keberadaan sistem outsourcing. Putusan
tersebut berbunyi: Frasa “…perjanjian
kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja
untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan
perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun
terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan
dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Terkait dengan putusan MK tersebut Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan surat edaran mengenai pelaksanaan sistem
outsourcing di Indonesia dalam surat edaran No: B. 31/PHIJSK/I/2012 Tentang
Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. Surat edaran
tersebut menekankan pada UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 59
yang berbunyi:
Pasal
59
(1)
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a.
pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.
pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
pekerjaan
yang bersifat musiman; atau
d.
pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
(2)
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.
(3)
Perjanjuan
kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4)
Perjanjian
kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan
untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5)
Pengusaha
yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling
lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6)
Pembaruan
perjanjian kerja waktutertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu
yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7)
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) maka demi hokum
menjadi penjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8)
Hal-hal
lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Surat edaran Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No: B. 31/PHIJSK/I/2012 ayat 2a menyebutkan:
Dalam hal perusahaan menerapkan sistem penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana diatur
dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, maka: apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan
penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dengan pekerja/buruhnya tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak
–hak bagi pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan
penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya harus didasarkan
pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Poin ini menjadi dasar hukum dihapuskannya sistem
outsourcing terhadap pekerjaan yang memiliki obyek tetap, kecuali seperti
pekerjaan konstruksi bangunan yang masih bisa menggunakan sistem pekerjaan
outsourcing dalam merekrut tenaga kerja dalam mengerjakan sebuah proyek
bangunan karena pekerjaannya yang bersifat tidak tetap.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga
kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara
pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core
business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan.
Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama
dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu
perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian
serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing.
Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan
outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.
Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan
pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada
perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian
kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan
secara internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa
outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan
berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang
terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.
Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan
dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin
segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU
Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga
dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.
Sistem tenaga kerja outsourcing memang banyak
menguntungkan perusahaan. Namun sistem tenaga kerja ini banyak merugikan buruh.
Oleh sebab itu pada tanggal 17 Januari 2012 Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia memutuskan bahwa sistem outsourcing tidak bisa diterapkan pada
pekerjaan yang obyeknya bersifat tetap seperti pekerjaan teller atau customer
service di bank. Di samping itu menurut Pakar Kebijakan Publik, Riant Nugroho,
sistem ketenagakerjaan melalui mekanisme outsourcing layaknya digunakan untuk negara-negera
yang memiliki populasi orang tua lebih banyak dibandingkan orang mudanya.
Indonesia dinilai belum perlu menggunakan tenaga outsourcing ini. Seperti
Eropa, yang muda sedikit dari yang pensiun sehingga negara-negara Eropa saat
ini memiliki tingkat populasi orang tua lebih besar daripada orang muda.
Akibatnya, utang negaranya lebih besar dibandingkan penerimaan perpajakannya.
Utang tersebut kebanyakan digunakan membayar biaya sosial para pekerjanya yang
sudah beranjak tua. Sistem outsourcing memang perlu dilakukan agar beban utang
negara guna membiayai pensiun pegawai tidak terlalu berat.
DAFTAR PUSTAKA
Simbolon. 2011. Perilaku Outsourcing. Medan; Siregar
Group.
Faiz. 2007. Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga
Kerja pada Perusahaan. Jakarta
Titanium Easy Flow 125 Amp Welder
Our Teton® titanium astroneer aluminum flexible plug omega seamaster titanium heads provide titanium white great performance at just a mild to mid range. The solid titanium exhaust wrap brass oxide base provides a gold titanium premium shine that