HUKUM INTERNASIONAL
|
|
PENGERTIAN,BATASAN
DAN ISTILAH HUKUM INTERNASIONAL
HUKUM INTERNASIONAL
pengertian dan batasan Yang dimaksudkan
dengan istilah hukum internasional dalam pembahasan ini ialah hukum
internasional publik, yang harus kita bedakan dari hukum perdata internasional.
Hukum perdata internasioanal ialah
keseuruhan kaedah dan asas hkum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi
batas batas negara. Dengan perkataan lain hukum yang mengatur hubungan hukum
perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata
(nasional) yang berlainan.
Hukum internasional publik ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
Hukum internasional publik ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
Dari uraian di atas tampak persamaan
dan perbedaan yang terdapat antara hukum internasional publik dan hukum perdata
internasional.persamaannya ialah bahwa keduanya mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas negara(internasional). Perbedaanya terletak
dalam sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya (obyeknya). Cara
membedakan demikian lebih tepat dari pada membedakan pelaku (subyek hukum )-nya
dengan mengatakan bahwa hukum internasional publik mengatur hubungan antara
negara-negara, sedangkan hukum perdata internasional antara orang perseorangan.
Untuk jelasnya,baik kiranya setelah
uraian mengenai pengertian hukum internasional di atas, kita
merumuskannyasebagai berikut:
Hukum internasoinal ialah keseluruhan
kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan/persoalan yang melintasi batas
negara-negara:
- negara
dengan negara;
- negara
dalam subyek hukum lain yang bukan negara atau subyek hukum bukan negara
satu sama lain .
ISTILAH HUKUM INTERNASIONAL
Selain istilah hukum intenasional,
orang juga mempergunakan istilah hukum bangsa-bangsa,hukum antarbangsa atau
hukum antarnegara untuk lapangan hukum yang kita sedang bicarakan.Aneka ragam
istilah ini tidak saja terdapat pada bahasa kita,tetapi terdapap pula dalam
bahasa pelbagai bahasa yang telah lama mempelajari hukum internasional sebagai
suatu cabang ilmu hukum tersendiri.
Istilah hukum bangsa-bangsa (law of
nations, droit de gens, voelkerrecht) berasal dari istilah hukum romawi “ius
gentium”. Dalam arti yang semula “ius gentium” bukanlah berarti hukum yang
berlaku antara bangsa-bangsa saja, melainkan pula kaidah dan asa hukum yang
mengatur hubungan antara orang romawi dengan orang bukan romawi dan antara
orang bukan romawi satu sama lain.) Baru kemudian orang membedakan bener
antara: hubungu antar kesatuan hukum publik (kerajaan, repoblik) dengan
hubungan antara individu dengan memakai istilah “ius inter gentes”.istilah
terakir ini yang berarti hukum antarbangsa sama dengan istilah hukum
antarnegara, karena berlainan dengan kerajaan republik pada zaman dahulu,negara
modernpada hakekatnya merupakan negara kebangsaan (nationstate).
Hukum bangsa-bangsa akan di pergunakan
untuk menunjukan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan
antar raja-raja zaman dahulu, ketika hubungan demikian baik karena jarangnyamaupun
karena sifat hubunhanny, belum dapat dikatakan merupakan hubungan antara
anggota suatu masyarakat bangsa-bangsa.
Hukum antarbangsa atau hukum
antarnegara akan dipergunakan untuk menuju pada kompleks kaidah dan asas yang
mengatur hubungan antar anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara
yang kita kenal sejak munculnya negara dalam bentuknya yang modernsebagai
negara nasional (nation-sate).
BENTUK PERWUJUDAN KHUSUS HUKUM INTERATIONAL :
HUKUM INTERNATIONAL REGIONAL DAN HUKUM INTERNATIONAL KHUSUS
(SPESIAL)
Dalam mempelajari hukum internasional,
kita akan jumpai beberapa bentuk perwujudan atau polah perkembangan yang khusus
berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
di samping hukum internasional yang berlaku umum (general) terdapat pula hukum
internasional regional, yang terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti
misalnya apa yang lazim dinamakan hukum internasional Amerika atau hukum
internasional Amerika Latin.
Adanya berbagai lembaga hukum internasional
regional demikian disebabkan oleh keadaan khusus terdapat di bagian dunia
itu.akan tetapi walaupun menyimpang, hukum internasional regional itu tidak
usah bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku umum. Bahkan ada
kalanya suatu lembaga atau konsep hukum yang mula-mula timbul dan tumbuh
sebagai suatu konsep atau lembaga hukum internasional regional, kemudian di
terima sebagai bagian dari hukum internasional umum.
Sebagai contoh dapat kita sebut konsep
landas keontinen )(“continental shef”)dan konsep perlindungan kekayaan hayati
laut (“conservation of the living resources of the sea”) yang mula-mula timbul
dan timbul di benua Amerika.
Dengan demikian hukum internasional
regionaldapat memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional yang
benar-benar universal.
HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM DUNIA
HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM DUNIA
(world law) Dalam usaha menjelskan
pengartian hukum internasional,perlu juga kiranya dikemukakan perbedaannya
dengan pengertian hukum dunia (world law wetstaatsrecht) yang akhir-akhir ini mulai
dipergunakan orang.
Kedua pengertian ini menunjukan pada
konsep mengenai tertib hukum masyarakat dunia yang berlainan pangkal tolaknya.
Pengertian hukum internasional didasarkan atas pikiran adanya suatu masyarakat
international yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka
(independent) dalam arti masing-masing berdiri sediri yang satu tidak dibawah
kekuasaan yang lain. Dalam rangka pikiran ini tidak ada suatu badan yang
berdiri atas negara-negara, baik dalam bentuk negara dunia (world state) maupun
badan supra nasional yang lain. Dengan perkataan lain hukum international
merupakan suatu tertib hukum kordinasi antara anggota masyarakat international
yang sederajat. Anggota masyarakat international tunduk pada hukum
international sebagai suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat
kaedah dan asas yang mengikat dalam hubungan antar negara.pengertian hukum
dunia (world law, weltstaatrecht) berpangkal pada dasar pikiran yang lain.
Menurut konsep ini yang rupanya banyak
dipengaruhi analogi dengan hukum Tatanegara (konstitusional law), hukum dunia
merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara didunia
ini. Negara didunia secara hirarki berdiri diataa negara nasional. Tertib hukum
dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi.
Kedua konsep mengenai tertib hukum
masyarakat dunia tersebut diatas kedua-duanya mungkin. Jika diantara kedua
kemungkinan ini kita melihat konsep yang pertama, hal itu disebabkan karena
tertib hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional yang terdiri
dari anggota yang sederajat lebih sesuai dengan kenyataan dunia dewasa ini.
Kemungkinan terwujudnya suatu negara dunia yang diatur oleh hukum dunia
merupakan suatu hal yang pada waktu sekarang masih jauh dari kenyataan.
MASYARAKAT DAN HUKUM INTERNASIONAL
MASYARAKAT
INTERNASIONAL SEBAGAI LANDASAN SOSIOLOGIS HUKUM INTERNASIONAL
Landasan sosiologis hukum adalah
masyarakat. Artinya, hukum itu ada dan berlaku jika ada masyarakat. Demikian
pula halnya hukum internasional. Oleh karena itu, untuk membuktikan ada dan
berlakunya hukum internasional maka terlebih dahulu harus dibuktikan adanya
masyarakat internasional. Dengan kata lain, masyarkat internasional adalah
landasan sosiologis bagi berlakunya hukum internasional.
Untuk dapat dikatakan ada masyarakat
internasional, ada sejumlah syarat atau unsur tertentu yang harus dipenuhi.
Syarat-syarat tersebut mencakup baik syarat materiil maupun non-materiil.
Syarat materiil dari adanya hukum
internasional adalah berupa fakta-fakta eksitensi fisik yaitu:
(a)
Adanya
negara-negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada saat ini terdapat ratusan negara merdeka dan berdaulat.
Dengan demikian, syarat adanya negara-negara merdeka dan berdaulat sudah
menjadi fakta yang tidak mungkin dibantah.
(b)
Adanya
hubungan yang tetap dan berkelanjutan antar negara-negara yang merdeka dan
berdaulat tersebut.
Syarat ini pun sudah merupakan fakta yang tidak dapat
dibantah. Dalam kehidupan dunia saat ini, tak ada satu pun negara yang
mengisolasi dirinya dari pergaulan internasional. Sebab, suka atau tidak,
negara-negara itu harus mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, mereka saling bergantung satu
dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya.
(c)
Adanya
hukum yang mengatur hubungan tetap antar negara-negara merdeka dan berdaulat
itu.
Hubungan yang tetap dan berkelanjutan antara negara-negara
hanya mungkin berlangsung tertib apabila ada hukum yang mengaturnya. Artinya,
hukum dibutuhkan untuk menjamin kepastian kelangsungan hubungan itu. Ini pun
sudah merupakan fakta yang tak dapat dibantah. Sebab tidaklah mungkin suatu
negara berhubungan dengan negara lain tanpa landasan dan ikatan kaidah hukum,
betapa pun sederhana dan tidak formalnya hubungan itu. Hukum itu baik yang
berupa kaidah hukum tertulis yang lahir dari perjanjian maupun berupa kaidah
hukum kebiasaan.
Sementara itu, syarat non-materiil
dari masyarakat internasional adalah adanya kesamaan asas-asas hukum.
Bagaimanapun berbedanya corak hukum positif yang berlaku di masing-masing
negara yang ada di dunia saat ini, mereka pasti mengakui dan terikat oleh
adanya kesamaan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum. Inilah yang dinamakan
prinsip-prinsip atau asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang
beradab (general principles of law
recognized by civilized nations – akan dibahas lebih jauh dalam pembahasan
tentang sumber-sumber hukum internasional). Adanya kesamaan asas-asas hukum ini
dapat dikembalikan kepada rasio dan naluri mempertahankan diri yang ada pada
manusia. Masyarakat bangsa-bangsa, yang terdiri atas sekumpulan manusia, pun
tunduk kepada rasio dan naluri demikian.
HAKIKAT KEDAULATAN
DAN FUNGSINYA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL
Sebagaimana diketahui, kedaulatan (souvereignty) berarti kekuasaan
tertinggi (dari istilah Latin “superanus”
yang berarti “yang tertinggi” atau “yang teratas”). Dengan kata lain, suatu
negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi
darinya. Pengertian inilah yang kemudian menimbulkan persoalan dalam
hubungannya dengan hukum internasional karena seolah-olah kedaulatan itu
menghambat perkembangan hukum internasional atau bahkan bertentangan dengan
hukum internasional. Bagaimana mungkin sesuatu yang menganggap dirinya sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi akan tunduk pada kekuasaan lain? Dengan kata lain, tidak mungkin hukum
internasional itu mengikat negara-negara jika negara-negara itu merupakan
kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi
(yaitu, dalam hal ini, hukum internasional).
Pandangan demikian, meskipun
sepintas tampak masuk akal, sesungguhnya tidak benar. Pandangan demikian lahir
karena didasari oleh pemahaman yang keliru mengenai dua hal. Pertama, pandangan
demikian keliru dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat
hukum internasional). Kedua, pandangan demikian juga keliru dalam memahami
hakikat kedaulatan.
Tentang kekeliruan yang pertama:
kekeliruan dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional).
Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, struktur masyarakat
internasional bukanlah struktur masyarakat atau negara dunia melainkan suatu
masyarakat yang terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka yang
tidak memiliki suatu pemerintahan dunia (world
government). Sementara itu tertib hukum yang mengaturnya, yaitu hukum
internasional, bukanlah tertib hukum yang bersifat subordinatif melainkan
tertib hukum koordinatif. Jadi, pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan
menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar apabila
masyarakat internasional itu adalah masyarakat atau negara dunia dan tertib
hukum yang mengaturnya adalah tertib hukum dunia yang merupakan tertib hukum
yang bersifat subordinatif.
Tentang kekeliruan yang kedua:
kekeliruan dalam memahami hakikat kedaulatan. Benar bahwa kedaulatan berarti
kekuasaan yang tertinggi. Benar pula bahwa suatu negara berdaulat tidak
mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi di luar dirinya. Namun,
kekuasaan yang tertinggi bukanlah berarti kekuasaan yang tidak terbatas.
Kedaulatan, sebagai kekuasaan
tertinggi, ada batas-batasnya. Negara
berdaulat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pun ada batas-batasnya sampai di
mana kekuasaan itu dapat atau boleh dilaksanakan. Pembatasan pertama dari
kedaulatan suatu negara adalah kedaulatan yang dimiliki oleh negara lain. Di
sini terkandung dua pengertian, yaitu: pertama,
kedaulatan atau kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara hanya
berlaku dalam batas-batas wilayah negara yang bersangkutan; kedua, kedaulatan atau kekuasaan
tertinggi suatu negara itu berakhir di mana kedaulatan negara lain dimulai.
Jadi, sesungguhnya dalam sifat hakikat kedaulatan suatu negara itu sendiri
telah dengan sendirinya terkandung pembatasan.
Pembatasan yang kedua terhadap
kedaulatan negara adalah hukum internasional. Artinya, jika pada tahap pertama
pembatasan terhadap kedaulatan negara itu terletak pada kedaulatan negara lain
maka pembatasan terhadap kedaulatan seluruh negara terletak pada hukum
internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara yang
berdaulat itu. Sebab, tidak mungkin akan tercipta hubungan antarnegara
(hubungan internasional) yang tertib dan teratur tanpa adanya penerimaan akan
pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum internasional sebagai hukum
yang mengatur hubungan antarnegara atau hubungan internasional itu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa selama
masyarakat internasional masih tetap berupa masyarakat yang anggotanya terdiri
atas negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat, bukan masyarakat
yang merupakan negara dunia, maka kedaulatan negara bukanlah penghambat
perkembangan hukum internasional dan sekaligus tidak bertentangan dengan hukum
internasional. Pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan bertentangan dengan
hukum internasional dan sekaligus menghambat perkembangan hukum internasional
baru menjadi benar hanya jika
masyarakat internasional itu telah menjadi masyarakat atau negara dunia dan
hukum internasional itu sudah merupakan hukum dunia.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL
Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional
1. Hukum dan Politik di Dunia
Sebuah sistem hukum selalu memerlukan
kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif. Kekuasaan legislatif terdiri
dari lembaga – lembaga yang bertugas untuk membuat undang – undang, kekuasaan
eksekutif adalah kekuasaan yang menegakkan hukum, sementara kekuasaan judikatif
terdiri dari beberapa tingkatan pengadilan yang bertugas untuk menyelesaikan
perselisihan yang timbul. Hukum internasional tidak seperti itu.
Hukum internasional tidak memiliki kekuasaan
legislatif. Majelis Umum PBB memang memiliki wakil dari setiap negara, tetapi
peraturan – peraturan yang dikeluarkan tidak mengikat secara hukum setiap negara
anggota. Hukum Internasional juga tidak memiliki sistem peradilan. Mahkamah
Internasional ada di The Hague, tapi itupun hanya bisa memutuskan kasus apabila
kedua pihak setuju, dan peradilan tidak bisa memastikan apakah keputusannya
dipatuhi atau tidak. Sementara itu, Dewan Keamanan PBB yang berperan sebagai
penegak hukum tidak bisa melakukan tugasnya dengan efektif karena ada hak veto
kelima anggotanya. Karena itu, apabila hukum internasional tidak memiliki
lembaga yang bisa membuat undang – undang, menjalankannya atau memastikan tidak
ada yang melanggarnya, lalu mengapa hukum internasional disebut sebagai hukum?
2. Peran Paksaan
Tidak ada sanksi dalam hukum Internasional,
akan tetapi ada beberapa keadaan dimana penggunaan paksaan dibenarkan dan diperbolehkan.
Di PBB, sanksi akan dikeluarkan oleh Dewan Keamanan bila ada perbuatan yang
dianggap dapat mengancam kedamaian atau berujung kepada agresi. Sanksi bisa
berupa sanksi ekonomi dan/ atau sanksi militer. Sanksi yang penuh sangat jarang
diterapkan di PBB karena sanksi seperti itu membutuhkan koordinasi kelima
anggota permanen Dewan Keamanan.
Meski begitu, setiap negara boleh bertindak
keras apabila terjadi keadaan yang mengancam keselamatan negaranya. Negara
boleh bertindak untuk melindungi dirinya sendiri bila terjadi agresi dari
negara lain.
Tidak boleh dilupakan bahwa hukum
internasional melarang penggunaan sanksi sebisa mungkin. Hal ini akan membawa
kita pada keadaan dimana masyarakat internasional menjadi semakin berkuasa.
Untuk itu harus dipelajari lebih lanjut apakah negara harus mematuhi hukum
internasional atau tidak. Karena bila negara merasa tidak perlu mematuhi hukum
internasional, maka hukum internasional tidak akan ada.
3. Sistem Internasional
Sistem intenasional bersifat horizontal, terdiri
dari lebih 190 negara merdeka, semuanya sama menurut teori hukum, dan tidak ada
yang memiliki otoritas lebih tinggi daripada yang lain. Pada hukum
internasional, setiap negaralah yang membuat hukum dan mereka bebas untuk tidak
mematuhinya.
Pada dasarnya hukum internasional dibentuk
oleh perjanjian internasional yang membuat peraturan yang mengikat semenjak
ditandatanganinya perjanjian tersebut, dan hukum kebiasaan, dimana negara
melakukan suatu hal yang sama secara berulang – ulang dan menjadi kebiasaan
yang harus dipatuhi.
Hukum internasional terdiri dari berbagai
peraturan dimana negara boleh memilih peraturan mana yang dipatuhi mana yang
tidak. Keberadaan sebuah peraturan yang mendunia dirasa perlu, karena dapat
menciptakan stabilitas pada situasi kehidupan internasional yang tidak bisa
ditebak.
Ketika negara terlibat kepada sebuah
perselisihan, hukum internasional akan diperlukan meski ada perbedaan
penafsiran pada masing – masing negara. Kedua negara akan berbicara dalam
bahasa yang sama, dan faktor komunikasi sangatlah penting karena salah sedikit
saja akan berujung kepada kesalahpahaman. Hukum internasional menawarkan solusi
yang mencakup pada prinsip kedua negara. Meski begitu hukum internasional tidak
bisa memecahkan masalah yang kompleks karena belum terlalu berkembang.
Meski tidak ada polisi internasional yang
bisa menjaga keamanan setiap negara dari ancaman negara lain, akan tetapi ada
beberapa pertimbangan yang membuat setiap negara mematuhi hukum internasional:
- negara
tidak akan berbuat sesuatu yang hanya menguntungkan pada jangka pendek
karena hal itu nantinya dapat mengganggu hubungan dengan negara lain dalam
jangka panjang. Contohnya, setiap negara akan melindungi diplomat asing
karena kalau tidak, diplomat mereka yang berada di luar negeri akan
terancam keselamatannya.
- negara
akan mendapat keuntungan di situasi – situasi tertentu bila mematuhi hukum
internasional.
- bisnis
internasional biasa menggunakan istilah – istilah hukum khusus. Semua hal
sekarang berdasar kepada hukum, contohnya adalah perusahaan multinasional
yang mengaplikasikan hukum internasional.
Kesimpulannya, negara – negara mematuhi
hukum internasional, dan hanya melanggarnya apabila ada terkena masalah yang
menyangkut urusan vital negara tersebut. setiap negara merdeka dan bebas, serta
hanya bisa diikat bila mereka menginginkannya. Tidak ada otoritas tertinggi
yang bisa memaksakan hukum pada setiap negara, dan setiap negara hanya dapat
diatur oleh hukum apabila dari awal mereka memang setuju untuk patuh.
Perlu kita ingat bahwa dari masa ke masa,
negara – negara akan selalu menolak mematuhi beberapa aturan tertentu hukum
internasional. Tetapi, tidak ada satupun negara yang tidak menyetujui kesemua
aturan dalam sistem internasional.
4. Fungsi Politik
Hukum dan politik tidak dapat dipisahkan.
Cabang dari politiklah yang menciptakan hukum dan sistem hukum. permainan hukum
dan politik di dunia sangat kompleks dan sulit dimengerti, membuat kita kembali
pada pertanyaan awal tentang alasan negara mematuhi hukum internasional.
Politik penguasa menekankan pada kompetisi, konflik dan supremasi yang
dibutuhkan agar bisa bertahan dari pengaruh luar. Hukum internasional bertujuan
pada keserasian dan penyelesaian masalah.
Mahkamah Internasional memutuskan pada kasus
Afrika Barat Daya “Ini mahkamah hukum, dan hanya akan mempertimbangkan moral
sejauh moral tersebut diekspresikan dalam bentuk peraturan. Hukum ada untuk
melayani kebutuhan masyarakat, dan hanya bisa melakukannya sepanjang masih
dalam batas hukum itu sendiri.
Hukum internasional tidak bisa menjadi
solusi instan untuk konflik dan konfrontasi karena hukum internasional memiliki
kelemahan pada struktur dan isinya.
Manusia mencari perintah, kesejahteraan dan
keadilan tidak hanya dari hukum yang ada di negaranya, tapi juga hukum
internasional.
5. Perkembangan Sejarah
Dasar hukum internasional yang kita kenal
sekarang ini terletak pada perkembangan kebudayaan dan organisasi politik
barat. meski hukum negara – negara berakar dari jaman renaisans eropa, tetapi
bibitnya sudah ada sejak jaman dahulu kala.
- zaman
sebelum masehi
konsep dasar hukum internasional sudah
muncul di hubungan politik ribuan tahun lalu. sekitar 2100 tahun sebelum
masehi, sebuah perjanjian muncul diantara pemimpin Lagash dan Umma, negara kota
yang terletak di Mesopotamia. Perjanjian tersebut dibuat di atas batu. Contoh
lainnya yang terkenal terjadi 1000 tahun setelahnya, yaitu perjanjian
perdamaian dan persaudaraan antara raja Mesir, Rameses II dan raja Hittities.
Peran israel kuno juga perlu diperhatikan. Pada
masa itu, bukan kekuatan yang menjadi kunci dari eksistensi seorang manusia,
tapi kedamaian dan keadilan sosial.
Bagaimanapun, pendekatan hukum internasional
yang dilakukan oleh masyarakat kuno terbatas pada daerah dan budaya setempat.
Tidak ada konsep yang mengakui keberadaan masyarakat dunia yang berada dalam
satu sistem. Lingkup hukum internasional sangat sempit.
Era yunani kuno, sejak abad keenam sebelum
masehi dan berlanjut sampai dua ratus abad setelahnya, telah menyumbangkan
banyak hal pada pemikiran eropa. dasar hukum internasional di zaman ini
memfokuskan pada analisis filosofi, sains dan politik yang ada di masyarakat
dan sebagian lagi fokus pada hubungan antar negara yang dibangun di dunia
hellenistis.
Pada masa romawi, hukum sangat dihormati.
Hukum romawi (jus civile) awalnya hanya diterapkan untuk masyarakat romawi
saja. Tetapi hukum ini menjadi tidak relevan untuk sebuah negara yang meluas
dan berkembang seperti roma. Karena itulah dibuat jus gentium, yang mengatur
hubungan antar orang asing dan masyarakat roma. Hukum jus gentium yang
progresif mulai mengalahkan jus civile yang ruang lingkupnya sempit, karena itu
jus gentium menjadi hukum yang berlaku di seantero kekaisaran romawi, dan mulai
dipertimbangkan untuk berlaku universal.
Salah satu hukum yunani yang juga diterapkan
juga oleh romawi adalah hukum alam. Hukum alam dibuat oleh filsuf Stoic, abad
ketiga sebelum masehi. Peraturan dalam hukum alam sangat rasional dan logis,
dan karena peraturan tersebut berakar dari pemikiran manusia, maka hukum alam
tidak terbatas hanya pada satu kelompok atau negara, tapi universal. Konsep
universal hukum alam ini adalah dasar dari doktrin modern hukum internasional.
Selain menjadi konsep fundamental di bidang hukum, hukum alam penting
keberadaannya dalam memahami hukum internasional.
Beberapa filsuf romawi kemudian memasukkan
konsep hukum alam dalam teori hukum mereka. Meski begitu, eksistensi hukum alam
tetap lebih besar daripada jus gentium. Banyak pihak menjadi bertanya – tanya
apa sebenarnya hubungan antara hukum alam dan jus gentium, karena para ahli
hukum romawi memiliki kesimpulan yang berbeda – beda sesuai dengan ciri khas
mereka masing – masing.
Hukum klasik romawi dikumpulkan dalam corpus
juris civilis, kompilasi materi hukum yang dikeluarkan oleh filsuf Byzantine
pada 534 tahun sebelum masehi. Kompilasi ini menjadi tidak berguna ketika
kegelapan abad pertengahan dan keruntuhan romawi mulai menyebar.
Setelah hukum romawi, hukum lain yang
diperhitungkan adalah hukum Islam yang mulai berkembang. Pendekatannya pada
hubungan dan hukum internasional dapat dilihat dari konsep kesatuan antar
negara – negara islam, serta hubungan yang baik dengan negara – negara non
islam. Umumnya, konsep kesejahteraan individu semakin berkembang. Pada masa
ini, hukum dibentuk dengan dasar keramahtamahan dan rasa aman, sementara
peraturan pemerintah perjanjian internasional berkembang dari rasa hormat
kepada perjanjian.
- Abad
Pertengahan dan Masa Renaissance
Abad pertengahan terkenal dengan kekuasaan
gereja yang sangat kuat. Salah satu hal penting di masa ini adalah kekaisaran
suci roma dan hukum kanon yang supranasional. Hukum inggris menelurkan law
merchant, peraturan yg mengatur mengenai perdagangan asing dan kemudian
diberlakukan universal. Di sepanjang eropa kemudian dibentuk pengadilan
perdagangan, untuk menyelesaikan masalah – masalah yang timbul antar pedagang
asing. Inilah yang menjadi dasar peraturan perdagangan internasional. Selain
itu, kebiasaan maritim juga mulai dikenal di sepanjang benua.
Peraturan perdagangan dan maritim itu adalah
beberapa dari banyak pionir di hukum internasional, karena peraturan –
peraturan tersebut melibatkan hubungan antarnegara dan menyadarkan pentingnya
keberadaan peraturan yang dapat mengatur situasi internasional. Peraturan –
peraturan ini tumbuh pada awal abad pertengahan, menaburkan biji – biji hukum
internasional, tapi sebelum biji tersebut berbunga, pemikiran eropa sudah
terlebih dahulu dikembangkan saat ledakan intelektual bernama renaissance.
Era Renaissance ditandai dengan munculnya
pemikiran yang individualistis, sains dan humanitis modern. Kehancuran
kekaisaran bryzantine membuat banyak pemikir yunani mencari perlindungan di
italia dan menghidupkan kebudayaan eropa barat. pengenalan tulisan cetak pada
abad 15 membuat ilmu menjadi semakin berkembang.
Kepercayaan diri eropa yang berkembang
membuat mereka mencari semakin banyak kemewahan dan kekayaan di luar benua.
Pada akhir abad ke 15, orang – orang arab telah dikeluarkan dari semenanjung
iberian dan amerika ditemukan.
Kebangkitan negara – negara seperti inggris,
prancis dan khususnya spanyol menimbulkan ciri khusus pada proses pembuatan
wilayah merdeka. Ketika itu, manusia semakin berusaha untuk mendapatkan
supremasi dan kekuatan politik, seperti yang disebutkan oleh buku Machiavelli
yang berjudul The Prince.
Negara kota Italia juga berjuang untuk
supremasi, dan Papacy menjadi berpemerintahan sekuler. Dari perjuangan dan
usaha – usaha tersebut muncullah cikal bakal kehidupan internasional modern :
diplomasi, pemerintah, teori keseimbangan kekuasaan, dan masyarakat negara.
Selain itu muncul juga manuver – manuver supremasi politik. Aliansi,
pengkhianatan, manipulasi lembaga negara, dan kekuasaan yang dapat diatur
menjadi hal yang lumrah. Kita dapat mengenali akar dari masyarakat kita.
Adalah evolusi dari konsep masyarakat
internasional yang terdiri dari negara – negara berdaulat yang menandai awal
mula hal yang dipelajari oleh Hukum Internasional. Kemerdekaan, pemikiran
kritis, cara pandang hidup yang sekuler serta pandangan politik yang
berorientasi pada masa depan menjadi ciri khas renaisans yang sangat penting
bagi pertumbuhan hukum internasional.
Perlunya ada konsep baru mengenai manusia
dan hubungan antar negara mulai dirasakan oleh negara – negara di benua eropa.
Teori – teori hukum internasional memiliki pengaruh besar pada kehidupan
politik dan sangat dipengaruhi oleh penemuan kembali hukum yunani-romawi. Zaman
renaisans menstimulasi kelahiran kembali studi hellenic dan hukum alam.
Bersamaan dengan kebangkitan negara modern
dan emansipasi hubungan internasional, doktrin kedaulatan timbul. Konsep ini
pertama dipelajari oleh jean bodin tahun 1657. dia berpendapat bahwa kekuasaan
berdaulat dalam sebuah negaralah yang seharusnya menciptakan hukum. kedaulatan
tidak dapat diikat oleh hukum yang ia ciptakan sendiri, melainkan oleh hukum
Tuhan dan hukum alam.
Pemikir – pemikir awal hukum internasional
sangat terpengaruh dengan hukum hukum alam dan kemudian menggunakan hukum alam
sebagai dasar filosofi mereka. Salah satu contohnya adalah st thomas aquinas,
filsuf yang teorinya merupakan perpaduan dari agama kristen dan hukum alam.
Kelahiran hukum internasional adalah akibat yang sangat penting dari
hukum alam. Hukum internasional kemudian dipelajari sebagai suatu hukum yang
berdiri sendiri, meski prinsipnya banyak yang diambil dari hukum alam.
- Pendiri
hukum internasional modern
Pendekatan baru terhadap hukum internasional
mulai ada ketika filsuf spanyol, Fransisco Vitoria, mengemukakannya pada zaman
keemasan negara tersebut. dia mendemonstrasikan perilaku progresif spanyol pada
suku indian di amerika selatan dan berpendapat bahwa masyarakat indian
seharusnya menjadi negara sendiri yang memiliki peraturan sendiri.
Filsuf lain adalah Suarez yang berpendapat
bahwa hukum internasional mengandung ciri khas hukum alam.
Filsuf selanjutnya bernama alberico gentili,
yang terkenal karena bukunya de jure belli. De jure belli berisi diskusi
mengenai hukum perang dan salah satu babnya memuat tentang hukum traktat.
Ahli yang dikenal sebagai bapak hukum
internasional adalah hugo grotius, seorang belanda. Bukunya yang paling penting
yaitu de jure belli ac paris, memuat tentang penjelasan hukum privat
internasional yang masih dapat digunakan sekarang. Dia menegaskan bahwa hukum
alam itu akan tetap berlaku meski tidak ada Tuhan. Hukum alam itu dibentuk
bukan tanpa alasan. Keadilan hanyalah alasan masyarakat dan untuk itu
diperlukan.
Pendapatnya yang juga terkenal adalah
mengenai laut bebas. Ahli belanda ini menentang konsep “laut tertutup” dari
portugis dan mengatakan bahwa setiap negara tidak bisa mengklaim laut sebagai
milik pribadi mereka. Laut itu milik semua negara. Teori ini memiliki hubungan
erat dengan perdagangan bebas dan kekuatan komersil yang sedang berkembang.
- Positivisme
dan naturalisme
Beberapa ahli setelah grotius mengemukakan
teori yang sebenarnya tidak dimaksudkan berbeda, tetapi malah membentuk dua
aliran. Aliran pertama adalah naturalisme, yang pertama dikemukakan oleh samuel
pufendorf. Dia mencoba mengenali hukum internasional dengan mempelajari teori
hukum alam. Aliran kedua adalah positivisme, yang memisahkan hukum alam dan
hukum internasional dan mengangkat masalah – masalah praktek kenegaraan.
Pufendorf menganggap hukum alam adalah
sistem moral. Ia salah memahami arah hukum internasional modern dengan menolak
validitas hukum kebiasaan. Ia juga menolak anggapan bahwa traktat adalah dasar
hukum internasional.
Salah satu inisiator aliran positivisme
adalah Richard Zouche. Zouche menghilangkan hukum alam dari teori hukum
internasional dan memfokuskan perhatiannya pada doktrin tradisional. Doktrin
itu digambarkan melalui kejadian – kejadian pasti, dan bukunya mengandung
banyak contoh kejadian masa lalu.
Bynkershoek, ahli positivisme selanjutnya,
menekankan pada pentingnya praktek – praktek modern dan tidak menghiraukan
hukum alam. Dia memiliki kontribusi yang sangat banyak pada pengembangan teori
– teori mengenai hak dan kewajiban pihak netral dalam perang. Setelah
mempelajari banyak fakta – fakta relevan mengenai laut, ia memutuskan untuk
mendukung teori laut bebas.
Pendekatan positivisme, seperti banyak
pemikiran modern lainnya, diadopsi dari metode empiris renaisans.
Dari sini kita bisa melihat bahwa terjadi
sebuah langkah pendek bila kita menerjemahkan kembali hukum internasional bukan
melalui konsep yang didapat dari alasan, tetapi melalui apa yang benar – benar
terjadi diantara negara – negara yang berkompetisi. Apa yang negara – negara
lakukan adalah kunci sebenarnya, bukan apa yang negara lakukan setelah diberikan
dasar peraturan hukum alam. perjanjian dan kebiasaan adalah inti dari hukum
negara – negara.
Positivisme berkembang sebagai sistem
kenegaraan modern terjadi setelah kemerdekaan westphalia tahun 1648 dari perang
keagamaan.
Baik teori positivisme maupun naturalisme
muncul di buku vattel, seorang pengacara swiss. Bukunya yang berjudul droit des
gens didasarkan pada prinsip – prinsip hukum alam yang berorientasi pada
praktek. Dia mengenalkan doktrin equality of states (setiap negara berkedudukan
sama) ke hukum internasional, dan menegaskan bahwa sebuah republik kecil tidak
berkedaulatan lebih kecil dari kerajaan yang paling kuat. Dengan membedakan
hukum kesadaran dan hukum tindakan serta menekankan bahwa hukum tindakanlah
yang diperhatikan dalam hal yang bersifat praktis, ia mengurangi pentingnya
hukum alam.
Ironisnya, pemikiran ahli positivisme juga
menghancurkan dasar filosofis hukum alam dan menjadikannya sebuah sejarah.
Teori itu kemudian hadir lagi dengan bentuk yang lebih modern dan berorientasi
pada masa depan. Hukum alam memberi jalan pada hak natural.
Masa itu adalah masa supremasi politik yang
sangat individualistis. Ide kontrak sosial menekankan peran penting individu.
Hak asasi manusia membentuk jantung amerika dan revolusi prancis serta membentuk
masyarakat modern yang demokratis.
Di samping itu, doktrin hukum alam telah
digunakan untuk menegaskan kedaulatan absolut dan kekuatan pemilikan pribadi.
- Abad
ke 19
Abad ke 19 adalah era yang praktis,
berkembang dan positivisme. Kongres wina,yang menandai akhir perang napoleon
mengemukakan perintah internasional yang berlandaskan kekuasaan eropa yang
seimbang. Hukum internasional menjadi eurosentris, dimana negara – negara luar
eropa hanya bisa memasukinya bila telah ada kesepakatan dan sesuai kondisi yang
telah ditetapkan oleh kekuatan barat. ketika hukum internasional menjadi
bersifat internasional yang geografis seiring dengan ekspansi eropa, ia juga
menjadi tidak seuniversal dulu.
Pada abad ini juga terjadi kemerdekaan
negara amerika latin dan pendekatan yang distinktif pada elemen – elemen hukum
internasional oleh negara – negara di area itu, contohnya adalah suaka
diplomatik dan perlakuan pada perusahaan asing dan nasional.
Ada banyak hal lain yang menandai abad ke
19. demokrasi dan nasionalisme yang diakibatkan oleh revolusi prancis menyebar
ke seluruh penjuru benua dan merubah esensi hubungan internasional. Tidak ada
lagi perlakuan istimewa pada bangsawan elit, kebijakan asing mengandung baik
sisi positif maupun negatif nasionalisme.
Kemerdekaan negara atas usaha sendiri muncul
untuk mengancam kekaisaran multinasional eropa tengah dan timur. Nasionalisme
mencapai puncaknya saat unifikasi jerman dan italia dan mulai memamerkan
ekspansionisme dan doktrin rasial superior. Demokrasi mempengaruhi politik
individu dan sesi berpendapat di pemerintahan. Demokrasi juga membawa tanggung
jawab yang nyata dimana perang menjadi pusat perhatian. Konskripsi mulai
diperkenalkan di penjuru benua dan kekuatan militer nasional yang besar
menggantikan kekuatan yang kecil yang profesional.
Revolusi industri membentuk eropa, membuat
sistem ekonomi yang dikotomi dan menyebarkan pengaruh eropa ke seluruh dunia.
Faktor – faktor ini mengakibatkan penambahan yang sangat banyak lembaga
internasional baik yang publik maupun privat, dan hukun internasional bertumbuh
cepat untuk dapat mengakomodasi keadaan tersebut. muncullah beberapa peraturan
yang bersifat internasional, seperti keputusan akhir kongres wina tahun 1815
yang mengeluarkan kebebasan navigasi di jalur air internasional.
Konferensi eropa berkontribusi besar pada
perkembangan peraturan yang memerintah saat perang. Selain itu, banyak
konferensi lain mengangkat ekspansi hukum internasional dan jaringan tertutup
hubungan internasional.
Teori positivisme mendominasi abad ini.
karena hukum sangat bergantung pada keinginan sistem kedaulatan nasional, hukum
internasional juga berpengaruh pada keinginan negara – negara yang berdaulat.
Hal ini berimplikasi pada kebingungan lembaga legislatif akan keinginan
negaranya sendiri.
Ahli dari Jerman, Hegel, adalah orang yang
pertama kali menganalisis dan mengajukan doktrin kemauan suatu negara.
Pertumbuhan perjanjian internasional,
kebiasaan dan regulasi membuat ahli teori positivisme dapat menjauhkan masalah
hukum internasional dan negara.
Ada ahli yang berpendapat bahwa hanya satu
prinsip fundamental yang dapat mengatur baik hukum nasional maupun
internasional. Prinsip tersebut sering disebut hak atau solidaritas sosial atau
peraturan yang harus dimuat oleh perjanjian (pacta sunt servanda).
Menurut Triepel, ahli jerman lainnya, hukum
internasional dan hukum domestik (hukum negara) berada di pesawat yang berbeda.
Hukum internasional mengatur mengenai hubungan internasional, sementara hukum
negara mengatur hubungan antar individu atau individu dengan negara. Hukum
internasional didasarkan pada perjanjian antar negara, dan karena diatur oleh
keinginan bersama negara – negara, hukum itu tidak bisa jadi unilateral.
- Abad
ke 20
Perang dunia pertama menandai abad yang
dinamis dan optimis. Kekaisaran eropa menguasai dunia, tetapi perang besar
tahun 1914-1918 menggoyang fondasi masyarakat eropa. Kepercayaan diri mereka
mulai meredup.
Peraturan yang paling penting adalah perjanjian perdamaian tahun
1919 yang dihasilkan dari sudut pandang hubungan internasional yang dibentuk
oleh LBB.
LBB terdiri dari majelis umum dan majelis
eksekutif, tetapi tak memiliki pengaruh karena absennya Amerika Serikat dan Uni
Soviet, menjadikan organisasi ini pada intinya seperti organisasi eropa.
meski LBB berhasil meraih beberapa
kesuksesan kecil dalam rangka menjaga hubungan internasional, lembaga ini gagal
ketika dihadapkan pada negara yang sangat giat mengagresi. Jepang menginvasi
cina tahun 1931 dan dua tahun kemudian keluar dari LBB. Italia menyerang ethiopia,
dan jerman bersusah payah mempertahankan diri dari serangan internal dan
eksternal. Bentuk kekuasaan terakhir LBB adalah mengerluarkan uni soviet saat
menginvasi finlandia tahun 1939.
Meski begitu banyak peraturan dasar telah
sukses dibuat oleh lbb selama masa keberadaannya yang sangat pendek dan ini
membantu pembuatan pbb di kemudian hari.
Mahkamah internasional yang permanen mulai
disiapkan tahun 1921 dan benar – benar berdiri tahun 1946. organisasi buruh
internasional berdiri segera setelah pd 1 dan masih ada hingga sekarang. Banyak
organisasi internasional lain yang menambahkan kinerja mereka pada masa itu.
Ide lain dari hukum internasional yang
pertama muncul saat perang adalah sistem mandat.
Setelah perang dunia 2, lbb disukseskan
tahun 1946 oleh pbb, yang mencoba mengobati banyak kesalahan pendahulunya. Ia
mendirikan kantor awal di new york, menjauhkan kekuasaan dari eropa dan
diharapkan dapat menjadi organisasi yang benar – benar universal. Pbb sekarang
memiliki 192 anggota negara.
Jumlah perjanjian internasional dan kebiasaan yang bertambah banyak,
sistem arbitrase yang menguat serta perkembangan organisasi internasional telah
menghasilkan esensi hukum internasional seperti yang ada sekarang.
- Komunis
mencapai hukum internasional
Teori klasis Marx mendefinisikan hukum dan
politik sebagai alat kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi mereka dalam
masyarakat. Negara – negara didominasi oleh kelas kapitalis dan akan menghilang
saat proses pengulangan organisasi. Teorinya, hukum dan negara akan menghilang
bila masyarakat telah memiliki dasar yang baru, dan karena hukum internasional
klasik berdasarkan pada negara, maka hukum internasional juga akan menghilang.
Bagaimanapun, sistem internasional negara –
negara tidak akan bisa dirubah dalam semalam menjadi aturan sosialis, karena
itu periode transisi sangat diperlukan.
Profesor Tunkin berkata bahwa revolusi
oktober rusia menciptakan sebuah seri peraturan internasional baru. Seri ini
bisa dibagi menjadi tiga bagian yang saling berhubungan :
a)
prinsip internasional sosialis
antara negara – negara sosialis,
b)
prinsip kesetaraan dan
kemerdekaan karena diri sendiri atas negara dan masyarakat, terutama ditujukan
untuk melawan kolonialisme,
c)
prinsip damai yang ditujukan
pada hubungan antar negara yang berada dalam sistem sosial berbeda.
Prinsip sosialis atau internasional proletar
membentuk satu sistem prinsip hukum internasional antara negara – negara
sosialis muncul sama seperti kebiasaan dan traktat. Meski prinsip dasar
penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, tidak mengganggu hubungan internal,
serta kesetaraan negara dan individu ada di hukum internasional, prinsip yang
sama di hukum internasional sosialis dibuat lebih positif karena saingan di
bidang ekonomi lebih sedikit dan bertambahnya kooperasi. Prinsip – prinsip ini
tidak hanya membentuk peraturan materil tentang tidak boleh mengganggu hak
negara lain, tapi juga kewajiban untuk membantu negara lain saat menikmati atau
mempertahankan hak – hak tersebut dari ancaman kapitalis.
Uni Soviet berkembang di integritas
teritorial dan kedaulatan sekaligus didesain untuk melindungi negara – negara
sosialis lain dalam lingkungan yang kapitalis, menjadi negara yang menarik bagi
negara – negara dunia ketiga yang sedang berkembang, juga berkeinginan untuk memiliki
identitas nasional dan menghalangi pengaruh budaya dan finansial barat.
Bersamaan dengan penolakan terhadap perang
dingin, dan strukturisasi kembali di Uni Soviet, sebuah proses evaluasi ulang
di bidang teori hukum internasional dilakukan. Esensi pemikiran baru uni soviet
dilandaskan pada prioritas nilai manusia universal dan resolusi masalah global,
yang mana langsung dihubungkan pada pertumbuhan penting hukum internasional di
komunitas dunia. Teori baru juga menegaskan bahwa hukum internasional seharusnya
bersifat universal dan tidak dibagi – bagi menjadi sistem internasional
kapitalis, sosialis, dan dunia ketiga.
Perpecahan Uni Soviet tahun 1991 menandai
berakhirnya perang dingin. Rusia, sebagai kelanjutan dari uni soviet memasuki
sistem politik barat. meski rezim soviet telah mengganti pendekatannya secara
signifikan, sistem komunis dan negaranya mempengaruhi keadaan sistem
internasional ini menimbulkan konsekuensi pada hukum internasional. Akhir
konfrontasi negara – negara berkuasa telah membawa ketidakstabilan pada Eropa
dan menambah revitalisasi serta batas dari PBB.
Konsep Cina akan hukum sangat berbeda dengan
yang berkembang di barat. hukum tidak pernah memiliki tempat yang pasti di
masyarakat Cina. Tetapi mereka tampak mengenali beberapa sistem hukum
internasional. Perjanjian internasional diakui sebagai sumber hukum
internasional, dan Cina telah mengikuti banyak perjanjian dan konvensi, lalu
memberlakukannya seperti negara lain.
Secara keseluruhan, hukum internasional
telah diperlakukan sebagai bagian dari politik internasional dan bersubjek pada
kekuatan, seperti ideologi. Ketika peraturan internasional sejalan dengan
kebijakan dan kepentingan Cina, maka Cina akan mengikutinya.
Meski begitu, Cina sudah tidak lagi
mengisolir dirinya. Hubungan dengan negara lain sudah terbentuk, dan ia sudah
resmi menjadi anggota PBB. Cina menjadi berperan aktif di hubungan
internasional, dan telah mencapai banyak hal untuk mengimbangi pertumbuhan
ekonominya yang sangat pesat. Cina sekarang terlibat penuh dengan politik
dunia.
- Dunia
ketiga
Evolusi hubungan internasional yang terjadi
setelah perang dunia meliputi integrasi kolonialisme dan lahirnya negara –
negara merdeka yang dijuluki negara dunia ketiga. Hukum negara – negara pada
abad ke 19 tidak mencerminkan apa yang dibutuhkan oleh negara – negara yang
baru merdeka di pertengahan dan akhir abad 20. negara – negara baru kemudian
mengangkat prinsip kedaulatan dan kesetaraan negara – negara, serta prinsip
larangan agresi serta intervensi, selama pencarian rasa aman di dalam ikatan
hukum yang diterima bersama.
Sementara internasionalisasi hukum
internasional yang terjadi selama 50 tahun terakhir telah mengikis dasar
Eropa-nya, internasionalisasi tersebut juga menekankan cakupan universal.
Contohnya adalah komposisi mahkamah internasional dan majelis umum pbb. Ada
juga perjanjian dari 10 anggota tidak tetap dewan keamanan, lima harus diduduki
oleh negara afrika atau asia dan dua oleh Amerika Latin.
Pengaruh negara baru telah dirasakan oleh
hampir semua anggota majelis umum, dimana negara – negara baru itu adalah
mayoritas dari 192 anggota PBB. Isi dan cakupan resolusi serta deklarasi yang
dibuat oleh majelis umum adalah bukti pengaruh mereka dan berisikan harapan,
ketakutan, serta perhatian mereka.
Perhatian negara baru terhadap pengakuan
kedaulatan negara dilengkapi dukungan mereka kepada PBB dan ditambah keinginan
mereka akan penentuan nasib ekonomi negara sendiri atau hak kedaulatan permanen
terhadap sumber daya alam adalah perkembangan utama di masa ini.
Keinginan yang dimiliki negara – negara
dunia ketiga sering bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh negara –
negara industri. Tapi harus ditekankan bahwa hukum internasional tidak dibuang
begitu saja.
Ketika negara – negara baru berbagi latar
belakang yang sama, tetap saja kesemua negara tersebut tidak homogen.
Kebudayaan yang berbeda, sosial dan ekonomi yang berada dalam tingkatan yang
tak sama menghasilkan afiliasi politik yang berbeda – beda.
Saat perang dingin berakhir dan Uni Soviet
(sekarang Rusia) mengalami perkembangan yang sangat cepat, sumbu sengketa bukan
lagi timur-barat, tapi jadi utara-selatan. Hal ini terbukti dalam berbagai
masalah mulai dari ekonomi sampai hak asasi manusia. Bersamaan dengan faktor-
faktor tersebut perkembangan globalisasi menambah tekanan pada hubungan antara
universalisme dan partikularisme. Globalisasi yang merupakan bentuk
ketergantungan antar individu, kelompok atau perusahaan, baik publik maupun
privat, melintasi batas negara, bisa terlihat sebagai universalisme masyarakat
barat. di samping itu, partikularisme kadang – kadang digunakan untuk
membenarkan penindasan hak asasi manusia dari pengawasan dan kritik
internasional.
TEORI
HAKIKAT DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM INTERNASIONAL
Berdasarkan 6 teori yang terkait dengan
hakikat dan dasar berlakunya hukum internasional yaitu,
- Teori hukum
alam
- Teori
positivism
- Teori
kehendak agama
- Teori
objektivitas
- Mazhab Wiena
- Fait social
Dari atas mana menurut anda yang masih
relevan terhadap berlakunya hukum internasional saat ini berdasarkan dinamika
politik global saat ini.
Menurut saya, dari ke-enam teori tersebut
yang relevan terhadap berlakunya hukum internasional saat ini berdasarkan
dinamika politik global saat ini adalah teori alam, fait social, dan juga
teori objektivisme.
Teori hukum alam ini mendasarkan kekuatan
mengikatnya pada dasar moral dan etika yang berharga. Dengan kembali kepada
konsep alam yaitu Negara terikat dan tunduk pada hukum internasional dalam
hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum internasional tersebut
merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam itu sendiri.
Dengan teori ini, hukum alam adalah hukum yang dapat diterima oleh semua
masyarakat manapun dan norma alam telah ada dalam semua jiwa masing-masing
masyarakat internasional yang dalam hal ini dapat berupa individu maupun
Negara-negara nasional saat ini.
Meskipun teori hukum alam ini menurut
Emmerich Vattel adalah samar dan bergantung kepada pendapat subjektif dari yang
bersangkutan mengenai keadilan, kepentingan masyarakat internsonal dan
lain-lain konsep yang serupa. Namun tentunya konsep alam ini dapat diterima
oleh semua pihak sehingga menjadikan dasar dan hakikat berlakunya hukum
internasional yang kekuatannya mengikat kepada seluruh masyarakat
internasional.
Teori yang kedua yaitu teori fait social
yang menurut factor biologis, social dan sejarah, persoalan mengenai
mengikatnya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai mahluk social
dimana hasratnya untuk bergabung dengan manusia lain dan kebutuhannya akan
solidaritas menjadi dasar berlakunya hukum internasional. Manusia tidak bisa
hidup seorang diri, dengan factor-faktor yang mempengaruhi manusia untuk hidup
berkelompok atau dengan perkataan lain berkumpul, maka hal inilah yang menjadi
hakikat dan dasar berlakkunya hukum internasional dalam kehidupan masyarakat
internasional. Teori ini beranggapan bahwa kebutuhan dan naluri social manusia
sebagai orang-seorang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi, dasar kekuatan
mengikat hukum internasional ini terdapat dalam kenyataan social bahwa
mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia
(bangsa) untuk hidup bermasyarakat.
Teori yang ketiga yang menurut saya masih
relevan adalah teori mazhab Wiena yaitu teori yang berlawanan dengan teori
kehendak. Dimana teori kehendak adalah mengembalikan kekuatan mengikatnya hukum
internasional itu pada kehendak (persetujuan) Negara untuk diikat oleh hukum
internasional ialah bahwa teori-teori ini pada dasarnya memandang hukum sebagai
hukum perjanjian antara Negara-negara. Memang selintas teori kehendak ini
mewakili dari keadaan hukum internasional saat ini yaitu hukum internasional
sebagai hukum perjanjian antara Negara-negara, namun logikanya bagaimana kalau
Negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk mau terikat oleh hukum
internasional? Sehingga membuat hukum internasional tersebut tidak lagi
bersifat mengikat. Lagipula menurut prof Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya
yang berjudul Pengantar Hukum Internasional, teori ini tidak menjawab
pertanyaan megapa suatu Negara baru, sejak munculnya dalam masyarakat
internasional sudah terikat oleh hukum internasional lepas dari mau tidak
maunya ia tunduk padanya. Juga adanya hukum kebiasaan tidak terjawab oleh
teori-teori ini. Maka dengan teori mazhab Wiena yang bukan kehendak Negara lagi
melainkan suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhirnya kekuatan mengikat
hukum internasional. Teori ini hampir sama dengan teori hukum alam yaitu kekuatan
mengikat yang didasarkan suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya
didasarkan pula pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan yang pada akhirnya
sampailah pada puncak piramida kaidah dasar yang tidak dapat lagi dikembalikan
pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima adanya sebagai
suatu hipotesis asal yang tidak dapat diterangkan secara hukum.
Kemudian teori objectivisme, teori ini
hampir sama dengan teori kehendak, namun perbedaannya adalah dalam persetujuan
Negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum
atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu dan teori ini berlaku
lepas dari kehendak Negara, dengan kata lain, tidak adanya kehendak Negara
dalam tunduk pada hukum internasional, namun lebih kepada kehendak mengikuti
hukum atau norma yang telah ada terlebih dahulu.
Dari keempat teori-teori tersebut
berdasarkan dinamika politik global saat ini hubungannya adalah politk global
saat ini didasarkan pada hukum alam dan mazhab Wiena dimana teori tersebut
mendasarkan pada norma dan kaidah dasar. Namun hal tersebut juga harus adanya
kehendak untuk mengikuti norma dasar yang telah ada tersebut yang tentunya
terlepas dari kehendak Negara. Ini pula yang mendasari teori fait social yang
menjadi dasar mengikat hukum internasional dikembalikan pada sifat alami
manusia. Yaitu kebutuhan dan naluri social manusia sebagai orang-seorang dalam
berkelompok yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa.
HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN HUKUM NASIONAL
Tentang
hubungan hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua teori yang utama.
Yakni teori monoisme dan dualisme. Teori monoisme menyatakan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu
sistem hukum. Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu
secara perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat individu
secara kolektif sedangkan hukum nasional mengikat individu secara perorangan.
Teori dualisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing –
masing merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel
menyatakan bahwa hukum internasional berbeda dengan hukum nasional karena
berbeda subyek dan sumbernya. (Sugeng Istanto, 1994 : 8)
Selain teori
monoisme dan dualisme diatas terdapat juga teori koordinasi yang bisa dikatakan
sebagai kelompok moderat. Teori ini
beranggapan apabila hukum internasional memiliki lapangan berbeda sebagaimana
hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum tersebut memiliki keutamaan di
wilayah kerjanya masing – masing. Kelompok ini beranggapan hukum internasional
dengan hukum nasional tidak bisa dikatakan terdapat masalah pengutamaan. Masing
– masing berlaku dalam eranya sendiri. Oleh karena itu tidak ada yang lebih
tinggi atau lebih rendah diantara hukum internasional atau hukum nasional.
Anzilotti berpahaman bahwa hukum nasional ditujukan untuk ditaati sedangkan
hukum internasional dibentuk dengan dasar persetujuan yang dibuat antar Negara
ditujukan untuk dihormati. Pemahaman anzilotti ini pada saat ini sangat
diragukan. Karena jika hukum internasional hanya didasarkan pada persetujuan,
sebagaimana tercermin dalam prinsip pacta
sunt servanda, maka persoalan – persoalan yang bersama dan mendesak seperti
perlindungan terhadap lingkungan dan HAM akan menemui jalan buntu. Dengan
demikiann, perbedaan antara hukum nasional dan hukum internasional sebagaimana
yang dikemukakan oleh kelompok dualisme tersebut diatas untuk kurun waktu
sekarang ini sudah tidak relevan lagi. Hal ini disebatkan karena sudah terjadi
perubahan dan perkembangan yang sangat mendasar atas struktur masyarakat
internasional maupun hukum internasional itu sendiri. (Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar 2006 :
82)
Berbicara
mengenai hal hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat
dua aspek yang perlu dibahas, yaitu yang pertama adalah aspek teoritis dan
aspek praktis. Pada aspek teoritis negara dapat menganut salah satu dari dua
paham baik teori dualisme atau monisme. pada hubungan antara hukum internasional
dengan hukum nasional. Paham dualisme adalah perpanjangan tangan dari
positivisme klasik yang malandaskan kaedah hukum internasional atas dasar
kehendak mutlak negara sebagai personalitas internasional. Dualisme memandang
bahwa sistem hukum internasional sama sekali terpisah dari sistem hukum
nasional, keduanya mempunyai posisi yang berbeda. Ada dua perbedaan fundamental
dari kedua sistem hukum tersebut, yaitu; Subyek hukum, subyek hukum nasional
adalah individu-individu, sedangkan subyek hukum internasional adalah
negara-negara. Sumber hukum, sumber hukum nasional adalah kehendak negara
tersebut secara mutlak yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara dan harus
ditaati, sedangkan sumber hukum internasional adalah kehendak bersama dari negara-negara
yang mempunyai kekuatan menaati atau menolak yang sama, dan dilandaskan atas
norma Pacta
Sunt Servanda.
Lembaga
peradilan negara tidak dapat menjadikan hukum internasional sebagai sumber
materil di pengadilan nasional, kecuali kaedah internasional tersebut telah
melewati proses transformasi, dan begitu juga sebaliknya. Walaupun terdapat
perbedaan fundamental antara kedua kaedah hukum, bukan berarti tidak ada
sinkronisasi dalam tatanan praktis. Contoh, aturan internasional tentang Warga
Negara Asing yang terdapat pada perjanjian internasional memerlukan instrumen
nasional pada pelaksanaanya melalui aturan yang dikeluarkan oleh badan
legislatif negara.
Paham kedua,
paham monisme. Penganut monisme menganggap semua hukum sebagai suatu
ketentuan tunggal yang tersusun dari kaedah-kaedah hukum mengikat, baik
mengikat negara-negara, individu-individu atau kesatuan lain yang juga
merupakan personalitas internasional. sebagai penganut monisme berpendapat
bahwa kaedah hukum baik itu internasional maupun nasional lahir melalui
hipotesa-hipotesa yang saling berkaitan antara satu dan lainnya, dan merupakan
satu kesatuan walaupun hipotesa tersebut masih dalam tatanan abstrak. Dari
hipotesa tersebut akan muncul sebuah struktur hukum yang bersifat universal,
yang mengikat segenap individu baik itu sebagai hukum internasional maupun
sebagai hukum nasional.
Paham kesatuan
kaedah antara hukum internasional dengan hukum nasional yang dianut paham
monisme menuntut adanya pembagian tingkat preferensi antara kedua sistem hukum
tersebut. Kelsen berpendapat bahwa masalah primat hukum harus terlebih dulu
melewati proses analisis struktural, suatu analisa yang dilakukan terhadap
prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah yang pada akhirnya mencapai pada satu norma
fundamental tertinggi yang bisa saja terdapat pada hukum internasional atau
pada hukum nasional. Sistem hukum yang mengandung norma tertinggi itulah yang
patut mendapat preferensi. Tetapi pada tatanan praktisnya pendapat Kelsen ini
dirasa terlalu abstrak dan tidak efisien. Primat hukum internasional di atas
hukum nasional: tingkat preferensi diberikan kepada kaedah hukum internasional
karena hukum internasional yang mengatur kewenangan negara-negara, dan ketika
Negara mengatur permasalahan internal saat itu hukum internasional sedang
memberikan mandat kepada negara untuk mengaturnya. Negara sebagai personalitas
internasional mengalami perubahan sistem hukum ketika terjadi perubahan
konstitusi atau revolusi, sedangkan hukum internasional tidak akan berubah
sistem hukumnya walaupun terjadi perubahan konstitusi dalam negeri. Hukum
internasional mengikat negara-negara baru dengan atau tanpa persetujuan dari
negara bersangkutan, maka primat hukum dalam hal ini harus diberikan kepada
hukum internasional.
Sebagian
berpendapat bahwa tidak secara keseluruhan preferensi diberikan kepada hukum
internasional, karena dilihat dari sejarahnya hukum internasional merupakan
cabang ilmu baru setelah adanya hukum nasional. Penganut primat hukum
internasional mencoba menjawab bahwa mata rantai yang menghubungkan hukum
internasional dengan hukum nasional bukan mata rantai sejarah, namun mata
rantai teknis dan secara teknis hukum internasional mempunyai kewenangan lebih
tinggi dari pada hukum nasional. Primat hukum nasional di atas hukum
internasional: primat ini didukung oleh penganut paham monisme, menurutnya
hukum internasional tidak lain adalah hanya perpanjangan tangan dari hukum
nasional, karena hukum internasional terbentuk atas dasar kehendak negara,
secara tidak langsung hukum internasional tunduk kepada yang membentuknya,
Negara. Hukum tertinggi Negara adalah konstitusi maka, konstitusi mempunyai
preferensi lebih dari pada hukum internasional. Kritik yang ditujukan pada
pandangan ini adalah, mengesampingkan kaedah-kaedah hukum internasional yang tidak
berasal perjanjian internasional melainkan dari tatakrama internasional, yang
membentuk opini publik internasional untuk taat terhadap kaedah tertentu
sebelum negara tersebut melahirkan kehendaknya. Bahkan, cukup berlebihan jika
hukum internasional harus menyesuaikan dengan kaedah hukum nasional. Dalam
beberapa kasus, pengadilan internasional telah memutuskan preferensi hukum
internasional atas hukum nasional. Mayoritas negara-negara dunia baik secara
eksplisit maupun implisit menganut paham monisme dengan primat hukum
internasional di atas hukum nasional, ada keterkaitan antara hukum
internasional dengan hukum nasional dan kaedah hukum nasional seyogyanya
selaras dengan kaedah hukum internasional.
Perbedaan antara hukum internasional dengan hukum nasional
Disamping
memiliki hubungan satu sama lain hukum internasional dan hukum nasional juga
memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan – perbedaan yang krusial antara hukum nasional dengan
hukum internasional, pertama adalah
objek pengaturan dari kedua sistem hukum itu sendiri terdapat perbedaan. Hukum
internasional memiliki negra sebagai objek utama dari pengaturan. Sedangkan
hukum nasional lebih menekankan pada pengaturan hubungan antar individu dengan
individu dan Negara dalam wilayah jurisdiksi dari masing – masing Negara. Akan
tetapi, pengertian ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya tumpang tindih
mengingat pada perkembangan selanjutnya hukum internasional, sesuai dengan
hakikatnya, ‘supreme’ dibanding hukum HAM internasional. Dalam hukum HAM internasional,
Negara dibawah pengawasan organ – organ traktat missal the human rights committee, sebagai organ dengan fungsi quasy-judicial dari konvensi
internasional tentang Hak-hak sipil dan politik, internasional Conenant Law Civil and Political Right (
ICCPR)
Cara pandang kedua adalah dengan membedakan model
atau bentuk hukum yang sama sekli berbeda. Apabila digunakan pengertian
mengenai hukum dari sudut pandang hukum nasional untuk menjelaskan hukum
internasional, dapat berakhir pada peniadaan eksistensi hukum internasional.
Hukum internasional tidak memiliki badan-badan seperti legislative, eksekutif
dan yudikatif sebagaimna halnya dalam hukum nasional. Meskipun terdapat majelis
umum PBB yang sering berlaku sebagai badan legislative tidak dapat dianalogikan
sebagai parlement ataupun ICJ, dianalogikan sebagai lembagayudikaif,. ICJ hanya
menangani kasus yang dserahkan oleh Negara melalui kesepakatan, yang tertuang
dalam compromis, pernyataan para
pihak bersengketa untuk mengakui kopetensi dari ICJ. Oleh karena itu jelaslah
bahwa kedua hukum tersebut memiliki perbedan yang substansial. Dan terakhir,
perbedaan yang sangat menonjol dapat dibuktikan melalui prinsif-prinsif hukum
internasional yang sangat mendasarkan pada prinsif persamaan subjek Negara
sebagai dasar terbentuknya hukum .( Jawahir dan Pranoto, 2006,78). Seperti yang
dapayt dilihat dalam proses pembentukan huku kebiasaan atau traktat, yang
menuntut supaya terdapatnya persetujuan dari Negara-negara atas dasar
persamaan. Hal mana prinsif ini tidak begitu menonjol dalam hukum nasional yang
serba tersentralisir.
Oleh karena
itu, Lauterpacht menegaskan hukum nasional yaitu suatu hukum yang berdaulat
atas subjek individu, sedangkan hukum
bangsa-bangsa merupakan suatu hukum yang berada di bawah, melainkan hukum
yang berdaulat antara Negara-negara, dan oleh karena itu hukum ini lebih lemah
( International Law is a law of sovereign
over individual subjected to his sway, the law of nation is a law not above,
but between, sovereign, and is therefore a weaker law) . ( Jawahir dan
Pranoto, 2006, 79)
Pengutamaan
Hukum Internasional Atau Hukum Nasional
Kelsen, dengan menggunakan doktrin
hierarkinya menyatakan bahwa hukum internasional harus diutamakan bila postulat
fundamental yang bertentangan itu termasuk hukum internasional. Sebaliknya
apabila postulat fundamental hal yang bertentangan itu termasuk hukum nasional
maka hukum nasionalah yang harus diutamakan. Teori hierarkinya kelsen
menyatakan bahwa ketentuan hukum berlaku dan mengikat berdasarkan ketentuan
hukum atau prinsif hukum lain yang lebih tinggi yang akhirnya berdasarkan
postulat fundamental. Postulat fundamental ini dapat merupakan bagian dari
hukum internasional atau dapat pula merupakan bagian dari hukum nasional.
Starke, yang juga menganut monoisme, tidak
menyetujuai pengutamaan hukum nasional terhadap hukum internasional berdasrakan
pada dua alasan yaitu : pemberian pengutamaan kepada hukum nasional (negara)
yang jumlahnya lebih dari 150 di dunia akan menimbulkan anarkhi. Disamping itu,
pengutamaan hukum nasional terhadap hukum internasional akan mengakibatkan
ketergantungan berlakunya hukum internasional pada hukum nasional. Dengan kata
lain, bila hukum nasional berubah hukum internasional akan menjadi berubah
pula. Pendapat itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hukum internasional
berlaku tanpa tergantung pada hukum nasioanal. Konferensi London tahun 1831
menetapkan bahwa perjanjian internasional tetap berlaku bagi negara pihak
meskipun terjadi perubahan intern di negara tersebut. Strake berpendapat bahwa
dalam hal terdapat pertentangan hukum internasional dan hukum nasional, hukum
internasional mendapat pengutamaan. Starke membandingkan hubungan antara hukum internasional dengan
hukum nasional itu seperti halnya hubungan antara hukum negara federal dengan
negara bagiaannya. Dalam negara federal, negara bagian bebas menetapkan
hukumnya sendiri tetapi dibatasi oleh konstitusi federal. Demikian juga halnya
dalam masyarakat internasional, negara berdaulat menetapkan hukum negaranya,
tetapi kedaulatannya dibatasi oleh hukum internasional. Starke mengatakan bahwa
tidak semua ketentuan hukum internasional harus diutamakan terhadap hukum
nasional. Hanya hukum konstitusi internasional yang mendapat pengutamaan
terhadap hukum nasional.
Sehubungan dengan hubungan pengutamaan
antara hukum internasional dan hukum nasional, dewasa ini dikenal juga konsep
“concept of opposability”. Konsep ini menyatakan bahwa ketentuan hukum
nasional, yang sesuai dengan hukum internasional, secara sah dapat digunakan
untuk menolak ketentuan hukum internasional, yang digunakan negara lain sebagai
dasar tuntutan diperadilan internasional. Dengan demikian, hukum nasional suatu
negara dapat juga diutamakan berlakunya terhadap hukum internasional.
Penerapan hukum internasional ditingkat nasional
Kedudukan hukum
internasional dalam peradilan nasional suatu Negara terkait dengan doktrin
‘inkorporasi’ dan doktrin ‘transformasi’. Doktrin inkorporasi menyatakan bahwa
hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional. Dalam
hal suatu Negara menandatangani dan meratifikasi traktat, maka perjanjian
tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap para warga Negara tanpa adanya
sebuah legislasi terlebih dahulu. Contoh seperti amerika serikat, inggris,
kanada, Australia dan Negara – Negara lainnya.
Sedangkan doktrin terakhir
menyatakan sebaliknya tidak terdapat
hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya ‘transformasi’
yang berupa pernyataan terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan. Dalam
yang berupaya pernyataan terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan. Dalam
kata lain, traktat dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional di pengadilan
sebelum dilakukannya ‘transformasi’ ke dalam hukum nasional.
Doktrin inkorporasi beranggapan
bahwa hukum internasional merupkan bagian yang secara otomatis menyatu dengan
hukum nasional. Dan doktrin ini lebih mendekati pada teori monoisme yang tidak
memisahkan antara kedua system hukum nasional dan system hukum internasional.
Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari Negara
yang bersangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan oleh teori
dualisme, mendapatkan contohnya di Negara – Negara asia tenggara, termasuk juga
di Indonesia.
Indonesia
Di Indonesia pemerintah secara
terang – terangan mengakui akan pentingnya hukum internasional. Sehingga tidak
perlu kiranya untuk membahas mengenai alasan mengapa hukum internasional dapat
mengikat Negara – Negara baru, yang pada umumnya merupakan akibat dari proses
dekolonisasi.
1.
Hukum Kebiasaan
Internasional
Berkenaan dengan hukum kebiasaan,
praktek Indonesia belum menampakkan adanya sikap yang tegas. Namun, untuk
beberapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan internasional sebagai bagian
dari hukum nasional Indonesia. Misalnya, hukum kebiasaan yang berlaku di laut,
seperti tentang hak lintas damai bagi kapal – kapal asing di laut teritorial
Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal
– kapal asing, terutama sekali setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Selain
itu Indonesia juga pernah mengsampingkan kaedah hukum kebiasaan internasional,
dalam penerapan lebar laut territorial. Menurut hukum kebiasaan internasional
lama, lebar laut territorial Negara – Negara adalah sejauh 3 (tiga) mil, diukur
dari garis pangkal normal. Hukum kebiasaan internasional ini juga diterima
sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia yaitu dalam Undang – Undang
peninggalan jaman belanda yang terkenal dengan sebutan teritoriale zee en maritieme kringen ordonantie (stb. 1939 Nomor
442). Ini masih berlaku alam
kemerdekaan Indonesia melalui pasal 2 aturan peralihan undang-undang dasar
1945. Dalam stb tersebut diterapkan lebar laut territorial hindia belanda
sejauh 3mil laut diukur dari garis pangkal normal. Sampai disini dapat dikemukakan
bahwa terdapat kesesuaian antara kaedah hukum kebiasaan internasionl mengenal
lebar laut territorial dengan hukum atau undang-undang Indonesia mengenai hal
yang sama.
Akan
tetapi, pada tanggal 13 desember 1957 indonesia secara sepihak mengklaim lebar
leut territorial 12 mil laut berdasarkan penarikan garis pangkal lurus dari
ujung ke ujung. Konsekuensinya, Stb Tahun 1939 nomor 442 tersebut sepanjang
menyangkut lebar laut territorial dan system penarikan garis pangkal normal
dinyatakan tidak berlaku. Tindakan ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih
mengutamakan undang – undang atau hukum nasionalnya walaupun undang – undang
nasionalnya itu lahir belakangan dibandingkan dengan hukum kebiasaan
internasional tersebut.
2.
Hukum
Perjanjian Internasional
Beda halnya
dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional. Dalam
prakteknya, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dipengaruhi oleh
beberapa sebab. Pertama, perubahan
sistem pemerintahan yang pernah berlaku dalam sejarah perkembangan
ketatanegaraan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia praktek
Indonesia belumlah begitu jelas. Karena pada masa itu (antara tahun 1945-1950)
Indonesia masih dalam taraf mempertahankan diri dan eksistensinya, terhadap
ancaman dan serangan dari pihak luar maupuhn serangan dari dalam negeri. Dalam
kondisi demikian, Indonesia tidak mudah untuk menata kehidupan ketatanegaraan
dan konstitusinya secara baik dan normal.
Kedua, perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat ( 27 desember1949- 17 agustus 1950 dan pada
masa berllakunya UUDS RI tahun 1950- 1959 praktek Indonesia menunjukan
kecenderungan yang ketat terhadap masuknya perjanjian internasional menjadi
hukum nasional Indonesia. Adapun pada masa berlakunya kembali UUD 1945, sebagai
landasan yuridis bagi berlakunya suatu perjanjian internasional didalam hukum
nasional Indonesia. Pada pasal 11 UUD 1945 setelah amandemen, yang berbunyi
sebagai berikut, ‘ presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian denga Negara lain’. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam hubungan luar
negeri, tampaknya jauh lebih terjamin dalam ketentuan pasal 11,12, UUD 1945
sbelum di amandemen.
Dalam hubungan
ini yang paling penting untuk diketahui adalah yang berkenaan dengan pembuatan
perjanjian dengan Negara lain. Pembuatan perjanjian tersebut menyangkut
Indonesia dan Negara lain yang nantinya perjanjian itu akan mengikat bagi kedua
pihak dan akan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Akan tetapi, hanya
dengan membaca pasal 11 itu saja, masalah yang menjadi pokok bahasan ini
belumlah begitu jelas. Bahkan, pasal 11 itu sendiri masih menimblkan berbagai
masalah yang membutuhkan jawaban yang tegas.
Pasal 11 UUD
1945 perubahan keempat menyatakan
(i) presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan Negara lain.
(ii)Presiden dalam
membuat perjanjian internasional lainya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(iii)
Ketentuan lebih lanjut tentang
perjanjian internasional diatur oleh undang-undang.
SUBJEK
HUKUM INTERNASIONAL
Pada dasarnya yang dimaksud hukum
internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena
dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum
internasional publik dan hukum perdata internasional. Hukum internasional
publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata. Sedangkan
hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang
mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain,
hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing
tunduk pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)
Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan
pendapatnya mengenai definisi dari hukum internasional, antara lain yang
dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang
dan Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional didasarkan pada
kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi
kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya ”. Sedang
menurut Akehurst : “hukum internasional adalah sistem hukum yang di bentuk dari
hubungan antara negara-negara”
Definisi hukum internasional yang diberikan
oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu, termasuk Grotius atau Akehurst,
terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan
subjek-subjek hukum lainnya.
Salah satu definisi yang lebih lengkap yang
dikemukakan oleh para sarjana mengenai hukum internasional adalah definisi yang
dibuat oleh Charles Cheny Hyde :
“ hukum internasional dapat didefinisikan
sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan
peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu
juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya,
serta yang juga mencakup :
- organisasi
internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan
lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan
fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara
atau negara-negara ; dan hubungan antara organisasi internasional dengan
individu atau individu-individu ;
- peraturan-peraturan
hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek
hukum bukan negara (non-state entities)
sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan
negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional”
(Phartiana, 2003; 4)
Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan
Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional sebagai
keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan
negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara
satu sama lain’’. (Kusumaatmadja, 1999; 2)
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas,
secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan
substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek
atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal
atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah
atau peraturan-peraturan hukumnya
Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak
bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional,
sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana
sebelumnya. Untuk mengkaji lebih jauh mengenai subjek-subjek hukum
internasional selain Negara tersebut, maka berikut ini adalah materi tentang
subjek hukum internasional yang penulis rangkum dari beberapa sumber:
Definisi Subyek Hukum Internasional
Banyak berbagai ahli memberikan definisi
mengenai apa yang dimaksud dengan subjek hukum internasional. Secara umum
Subyek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, jadi pengertian
subyek hukum internasional adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hukum
internasional. Pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional dewasa ini
ternyata tidak terbatas pada Negara tetapi juga meliputi subyek hukum
internasional lainnya. Hal ini dikarenakan dewasa ini sering dengan tingkat
kemajuan di bidang teknologi, telekomunikasi dan ransportasi dimana kebutuhan
manusia semakin meningkat cepat sehingga menimbulkan interaksi yang semakin
kompleks.
Munculnya organisasi-organisasi
Internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral dengan
berbagai kepentingan dan latar belakang yang mendasari pada akhirnya mampu
untuk dianggap sebagai subyek hukum internasional. Begitu juga dengan
keberadaan individu atau kelompok individu (belligerent) yang pada akhirnya
dapat pula diakui sebagai subyek hukum Internasional.
Dapat disimpulkan bahwa Subjek Hukum
Internasional adalah semua pihak atau entitas yang dapat dibebani oleh hak dan
kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional. Hak dan kewajiban tersebut
berasal dari semua ketentuan baik yang bersifat formal ataupun non-formal dari
perjanjian internasional ataupun dari kebiasaan internasional (Istanto, Ibid:
16; Mauna, 2001:12).
Subyek Hukum Internasional dapat diartikan
sebagai negara atau kesatuan-kesatuan bukan negara yang dalam keadaan tertentu
memiliki kemampuan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban berdasarkan
Hukum Internasional. Kemampuan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban
( Legal capacity) ini antara lain meliputi :
- Kemampuan
untuk mengajukan klaim-klaim (How to make claims).
- Kemampuan
untuk mengadakan dan membuat perjanjian-perjanjian (How to
make agreements)
- Kemampuan
untuk mempertahankan hak miliknya serta memiliki kekebalan-kekebalam
(To enjoy of privileges and immunities)
Kemampuan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban bagi subyek
hukum Internasional dapat ditinjau dari dua aspek yaitu:
- Dasar
Hukum Berdirinya
- Advisory
opinion atau berdasarkan Keputusan atau Pendapat “International
Court of justice”
Dengan meninjau dua aspek di atas maka legal capacity dari subyek
hukum Internasional dalam bentuknya yang modern dimana subyek hukum
internasional tidak hanya terbatas pada negara sebagai satu-satunya subyek
hukum internasional (pandangan klasik), maka kiranya perlu dikemukakan beberapa
subyek hukum internasional yang merupakan kesatuan-kesatuan bukan negara
khususnya mengenai legal capacitynya.
Macam Subjek Hukum Internasional
Berdasarkan definisi subjek hukum
internasional yang telah diuraikan di atas maka dapat kita ketahui bahwa yang
menjadi subyek hukum Internasional meliputi:
- Negara
yang Berdaulat
- Gabungan
Negara-Negara
- Tahta
Suci Vatikan
- Organisasi
Internasional (OI) baik yang Bilateral, Regional maupun Multilateral
- Palang
Merah Internasional
- Individu
yang mempunyai criteria tertentu
- Pemberontak
(Belligerent) atau Pihak Yang bersengketa
- Penjahat
Perang atau Genocide
Negara yang Berdaulat
Negara merupakan subjek hukum terpenting
dibanding dengan subjek hukum internasional lainnya. Banyak sarjana yang
memberikan definisi terhadap negara, antara lain C. Humprey Wadlock yang
memberi pengertian negara sebagai suatu lembaga (institution), atau suatu wadah
di mana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat melaksanakan
kegiatan-kegiatannya.
Sedangkan Fenwich mendefinisikan negara
sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisasikan secara tetap, menduduki
suatu daerah tertentu, dan hidup dalam batas-batas daerah tersebut, bebas dari
negara lain, sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di muka bumi.
I Wayan Parthiana menjelaskan negara adalah
subjek hukum internasional yang memiliki kemampuan penuh (full capacity)
untuk mengadakan atau duduk sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional.
Menurut Henry C. Black, negara adalah
sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap,
diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum (binding by law), yang melalui
pemerintahannya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi
masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan
perang dan damai, serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan
masyarakat internasional lainnya.
Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan
para ahli, ada satu patokan standar atau unsur trandisional dari suatu entitas
untuk disebut sebagai negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi
Montevideo (Pan American) The Convention on Rights and Duties of State of 1933.
- The state is a person of international law should phases the
following qualifications :
- Permanent population;
- defined territory;
- legal government; and
- capacity to enter into international relations with the other
states.
Hal itu dapat diterjemahkan negara sebagai pribadi hukum
internasional harus memiliki syarat-syarat atau unsure-unsur konstitutif
sebagai berikut:
a. Penduduk yang tetap,
Penduduk merupakan kumpulan
individu-individu yang terdiri dari dua kelamin tanpa memandang suku, bahasa,
agama dan kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat dan yang terikat dalam
suatu Negara melalui hubungan yuridik dan politik yang diwujudkan dalam bentuk
kewarganegaraan. Penduduk merupakan unsure pokok bagi pembentukan suatu Negara.
Suatu pulau atau suatu wilayah tanpa penduduk tidak mungkin menjadi suatu
Negara. Dalam unsure kependudukan ini harus ada unsur kediaman secara tetap.
Penduduk yang tidak mendiami suatu wilayah secara tetap dan selalu berkelana
(normal) tidak dapat dinamakan penduduk sebagai unsure konstitutif pembentukan
negara.
Sebagaimana telah disinggung di atas, yang
mengikat seseorang dengan negaranya ialah kewarganegaraan yang ditetapkan oleh
masing-masing hukum nasional. Pada umumnya ada tiga cara penetapan
kewarganegaraan sesuai hokum nasional yaitu :
- Jus
Sanguinis
Ini adalah cara penetapan kewarganegaraan
melalui keturunan. Menurut cara ini, kewarganegaraan anak ditentukan oleh
kewarganegaraan orang tua mereka.
- Jus Soli
Menurut sistem ini kewarganegaraan seseorang
ditentukan oleh tempat kelahirannya dan bukan kewarganegaraan orang tuanya.
- Naturalisasi
Suatu Negara memberikan kemungkinan bagi
warga Negara asing untu memperoleh kewarganegaraan setempat setelah memenuhi
syarat-syarat tertentu seperti setelah mendiami Negara tersebut dalam waktu
yang cukup lama ataupun melalui perkawinan.
b. Wilayah yang tertentu,
Adanya suatu wilayah tertentu mutlak bagi
pembentukan suatu Negara , tidak mungkin ada suatu Negara tanpa wilayah tempat
bermukimnya penduduk Negara tersebut. Hukum Internasional tidak
menentukan syarat seberapa harusnya luas suatu wilayah untuk dapat dianggap
sebagai unsure konstitutuf suatu Negara. Demikian juga wilayah suatu Negara
tidak selalu harus merupakan satu kesatuan dan dapat terdiri dari bagian-bagian
yang berada di kawasan yang berbeda. Keadaan ini sering terjadi pada
Negara-negara yang mempunyai wilayah-wilayah seberang lautan
c. Pemerintahan,
Negara memerlukan sejumlah organ untuk
mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Bagi hukum internasional, suatu wilayah
yang tidak memiliki pemerintahan dianggap bukan negara dalam arti kata yang
sebenarnya. Pemerintah adalah badan eksekutif dalam negara yang dibentuk
melalui prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang
ditugaskan rakyat kepadanya. Pemerintahan adalah syarat utama dan terpenting
untuk eksistensi suatu negara. Tatanan organisasi dalam suatu negara diperlukan,
yang nantinya akan mengatur dan menjaga eksistensi negara tersebut, maka
pemerintahan mutlak harus ada dalam suatu negara. Pemerintahan yang harus ada
dalam suatu negara adalah pemerintahan yang stabil, memerintah menurut hukum
nasional negaranya, dan pemerintah tersebut haruslah terorganisir dengan baik (well organized government)
d. Kemampuan untuk melakukan hubungan-hubungan dengan negara lain.
Menurut hukum internasional dan hubungan
internasional, kecakapan negara dalam melakukan hubungan internasional adalah
suatu keharusan bagi suatu negara untuk memperoleh keanggotaan masyarakat
internasional dan subjek hukum internasional. Hal inilah yang membedakan negara
berdaulat dengan negara-negara bagian, atau negara protektorat yang hanya mampu
mengurus masalah dalam negerinya, tetapi tidak dapat melakukan
hubungan-hubungan internasional dan tidak diakui oleh negara-negara lain
sebagai subjek hukum internasional yang sepenuhnya mandiri. Negara bukan pula
harus identik dengan suatu ras, rumpun, atau bangsa tertentu, meski identitas
demikian mungkin juga ada. Hans Kelsen mengemukakan bahwa negara hanyalah
pemikiran teknis yang menyatakan bahwa sekumpulan aturan-aturan hukum tertentu
yang berdiam di wilayah teritorial tertentu. Negara sebagai subjek hukum internasional
merupakan pengemban hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional,
baik ditinjau secara faktual maupun secara historis, dan hukum internasional
itu sendiri adalah sebagaian besar terdiri atas hubungan hukum antara negara
dengan negara.
Sesuai konsep hukum Internasional,
kedaulatan memiliki tiga aspek utama yaitu :
1. Aspek
Ekstren Kedaulatan, adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan
hubungannya dengan berbagai negara atau elompok-kelompok lain tanpa kekangan,
tekanan atau pengawasan dari negara lain
2. Aspek
Intern Kedaulatan, ialah hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk
menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan
hak untuk membuatundang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk
mematuhi.
3. Aspek
Teritorial berart kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas
individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.
Upaya masyarakat internasional mempersoalkan
hak-hak dan kewajiban negara telah dimulai sejak abad ke-17 dengan landasan
teori kontrak sosial. Kemudian pada tahun 1916, American Istitute of International Law (AIIL)
mengadakan seminar dan menghasilkan Declaration of the Rights and Duties of Nations,
yang disusul dengan sebuah kajian yang berjudul Fundamental Rights and Duties of American
Republics, dan sampai diselesaikannya Konvensi Montevideo tahun
1933. Hasil Konvensi Montevideo 1933 kemudian menjadi rancangan deklarasi
tentang Hak dan Kewajiban Negara-negara yang disusun oleh Komisi Hukum
Internasional (International
Law Committee) Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1949. Namun
komisi tersebut tidak pernah menghasilkan urutan yang memuaskan negara-negara.
Pada intinya, pernyataan bahwa negara adalah
subyek hukum internasional yang utama adalah:
§
Hukum Internasional
megatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara, sehingga yang harus diurus oleh
hukum internasional terutama adalah negara.
§
Perjanjian
Internasional merupakan sumber hukum Internasional yang utama dimana negara
yang paling berperan menciptakannya sehingga secara tidak langsung negara
adalah subyek hukum internasional yang utama.
Deklarasi prinsip-prinsip mengenai hak-hak
dan kewajiban negara yang terkandung dalam rancangan tersebut adalah sebagai
berikut :
Hak-hak negara :
§
Hak atas kemerdekaan
(Pasal 1);
§
Hak untuk melaksanakan
jurisdiksi terhadap wilayah, orang, dan benda yang berada dalam wilayahnya
(Pasal 2);
§
Hak untuk mendapatkan
kedudukan hukum yang sama dengan negara lain (Pasal 5);
§
Hak untuk menjalankan
pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal 12).
Kewajiban-kewajiban negara :
§
Kewajiban untuk
tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di negara lain
(Pasal 3);
§
Kewajiban untuk tidak
menggerakan pergolakan sipil di negara lain (Pasal 4);
§
Kewajiban untuk
memperlakukan semua orang yang ada di wilayahnya dengan memperhatikan
hak-hak asasi manusia (Pasal 6);
§
Kewajiban untuk menjaga
wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal
7);
§
Kewajiban untuk
menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8);
§
Kewajiban untuk tidak
menggunakan kekuatan atau ancaman senjata (Pasal 9);
§
Kewajiban untuk
membantu terlaksananya Pasal 9 di atas;
§
Kewajiban untuk tidak
mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan (9
Pasal 12);
§
Kewajiban untuk
melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik (Pasal 13); dan
§
Kewajiban untuk
mengadakan hubungan dengan negara-negara lain sesuai dengan hukum internasional
(Pasal 14).
Hak-hak dasar yang paling sering ditekankan
adalah kemerdekaan dan persamaan kedudukan negara-negara, jurisdiksi
teritorial, dan hak untuk membela diri atau menyelamatkan diri. Kewajiban dasar
yang paling dipertahankan adalah kewajiban untuk tidak menggunakan perang
sebagai alat melaksanaan kewajiban yang digariskan dalam perjanjian dan
kewajiban untuk tidak campur tangan dalam urusan negara lain.
Gabungan Negara-Negara
Ada beberapa macam bentuk gabungan
Negara-negara, antarai lain:
a. Negara Federal
Negara federal adalah gabungan sejumlah
negara yang dinamakan negara-negara bagian yang datur oleh suatu undang-undang
dasar yang membagi wewenang antara pemerintah federal dan negara-negara
bagiannya. Perlu dicatat bahwa negara-negara bagian ini tidak selalu mempunyai
nama yang sama. Di kanada, negara bagian bernama provinsi seperti juga halnya
dengan afrika selatan dan argentina. Di swiss, namnya canton atau lander. Di Amerika
Serikat, Brasil, mexico dan Australia namanya Negara bagian. Walaupun
Negara-negara bagian mempunyai konstitusi dan pemerintahan masing-masing,
Negara federal inilah yang merupakan subjek hokum internasional dan mempunyai
wewenang untuk melakukan kegiatan luar negeri. Wewenang luar negeri yang
dimiliki oleh Negara federal bukan ditentukan oleh hukum internasional tetapi
oleh konstitusi Negara federal. Dalam setiap rezim federal, undang-undang
dasar biasanya memberikan kepada pemerintahan federal wewenang mengenai
pelaksanaan hubungan luar negeri, pertahanan nasional, pengaturan perdagangan
dengan Negara-negara lan, antara lain berbagai Negara bagian, percetakan uang
dll.
b. Gabungan Negara-Negara Merdeka
Gabungan Negara-negara merdeka mempunyai dua
macam bentuk yaitu uni riil dan uni personil.
o
Uni Riil.
Yang dimaksud uni riil adalah penggabungan dua Negara atau lebih melalui suatu
perjanjian internasional dan berada di bawah kepala Negara yang sama dan
melakukan kegiatan internasional sebagai satu kesatuan. Yang menjadi subjek
hukum internasional adalah uni itu sendiri, sedangkan masing-masing Negara
anggotanya hanya mempunyai kedaulatan intern saja. Sesuai perjanjian atau
konstitusi yang menggabungkan kedua Negara , mereka tidak boleh berperang satu
sama lain atau secara terpisah melakukan perang dengan Negara lain. Perjanjian-perjanjian
internasional dibuat oleh uni atas nama masing-masing Negara anggota karena
Negara-negara tersebut tidak lagi mempunyai status personalitas internasional.
o
Uni Personil.
Uni Personil terbentuk bila dua Negara berdaulat menggabungkan diri karena
mempunyai raja yang sama. Dalam uni personil masing-masing Negara tetap
merupakan raja yang sama. Dalam uni personil masing-masing Negara tetap
merupakan subjek hukum internasional . Contoh-contoh dalam sejarah adalah uni
antara Belanda dan Luxembrug dari tahun 1815 sampai 1890 antara Belgia dan
Negara merdeka Kongo dari tahun 1855 sampai 1908.
c.
Negara Konfederasi
Konfederasi merupakan gabungan dari sejumlah
Negara melalui suatu perjanjian internasional yang memberikan wewenang
tertentu kepada kobfederasi. Dalam bentuk gabungan ini, Negara-negara anggota
konfederasi masing-masingnya tetap merupakan Negara-negara yang berdaulat dan
subjek hukum internasional. Bentuk Konfederasi hanya ada di abad XIX. Walaupun
Swiss secara resmi menemakan dirinya Negara konfederasi tetapi semenjak tahun
1848 pada hakekatnya lebih banyak bersifat federal dimana wewenang luar negeri
berada di tangan pemerintah federal.
Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan merupakan suatu contoh
dari pada suatu subyek hukum internasional yang telah ada di samping
Negara-negara. Hal ini merupakan peninggalan (atau kelanjutan) sejarah
sejak zaman dahulu di samping negardi akui sebagai subyek hukum internasional
berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia
dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian
Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas
eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri,
walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara,
sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya
memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi
Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh
dunia. Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta
Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga
sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara.
(Phartiana, 2003, 125)
Organisasi Internasional
Organisasi internasional atau organisasi
antar pemerintah merupakan subjek hukum internasional setelah Negara.
Negara-negaralah sebagai subjek asli hukum internasional yang mendirikan
organisasi sebagi sebjek asli hukum internasional yang mendirikan
organisasi-organisasi internasional. Walaupun organisasi-organisasi ini baru
lahir pada akhir abad ke -19 akan tetapi perkembangannya sangat cepat setelah
berakhirnya Perang Dunia II. Fenomena ini berkembang bukan saja pada tingkat
niversal tetapi juga pada tingkat regional.
Dasar Hukum yang menyatakan bahwa Organisasai Internasional adalah
subyek Hukum Internasional adalah pasal 104 Piagam PBB Isi pasal 104 : The Organization shall
enjoy in the territory of each of its Members such legal capacity as may be
necessary for the exercise of its functions and the fulfilment of its purposes.
Terjemahan : Organisasi akan menikmati di wilayah masing-masing Anggota
kapasitas hukum seperti yang diperlukan untuk menjalankan fungsi dan pemenuhan
tujuannya.
a. Tujuan Organisasi Internasional
Organisasi internasional bertujuan untuk memperkembangkan
politik dan keamanan nasional di satu pihak serta perkembangan
ekonomi dan kesejahteraan sosial di lain pihak. Pengembangan politik dan
keamanan nasional dikaitkan dengan suatu keperluan akan suatu organisasi untuk
pencegahan konflik bersenjata, penghentiannya kalu sudah terjadi dan
penyelesaian pertikaian secara damai. Kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi dan
kesejahteraan sosial walaupun secara langsung tidak bersangkutan dengan masalah
perdamaian, tetapi aktivitas-aktivitas bidang-bidang tersebut merupakan
kontribusi yang berharga bagi usaha-usaha perdamaian.
b. Struktur dan Fungsi Organisasi Internasional
Hal yang harus diperhatikan dalam pendirian organisasi internasional
ialah:
o Pertama,
Piagam Pendiriannya harus diadakan dan disetujui oleh negara-negara yang ingin
mengejar tujuan yang dicantumkan d dalam organisasi formal tersebut.
o Kedua,
haruslah ada suatu lembaga tetap yang memungkinkan semua anggotanya
berpartisipasi dalam hubungan hubungan bebas satu sama lain serta siap untuk
mempersoalkan masalah suatu negara, besar atau kecil dan setiap waktu dapat
membawa persoalan yang penting mengenai perdamaian dan keamanan serta
kesejahteraan bersama.
o Organisasi
Internasional tidak mempunyai badan legislatif walaupun suatu pertemuan
diplomatik mempunyai persamaan dengan itu.
o Cara-cara
yang biasa dipergunakan badan-badan internasional untuk menyelesaikan
pertikaian secara damai, mengikuti prosedur yang berlainan dengan peradilan
nasional. Semua anggota dari organisasi diharuskan menyelesaikan pertikaiannya
secara damai. Tetapi badan-badan internasional hanya dapat memberikan
rekomendasi dan tidak dapat memaksa negara-negara mengikuti penyelesaian damai.
c.
Klasifikasi Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis
dan James H. Wolfe :
§
Organisasi
internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan
yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;
§
Organisasi internasional
yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat
spesifik, contohnya adalah World Bank,
UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization,
dan lain-lain;
§
Organisasi
internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global,
antara lain: Association of South East Asian Nation
(ASEAN), Europe Union.
4. LBB
(Liga Bangsa-Bangsa)
Liga Bangsa-Bangsa (LON) adalah sebuah organisasi antar-pemerintah yang didirikan
sebagai hasil dari Perjanjian Versailes di 1919-1920, dan para pendahulu kepada
PBB. Pada tingkat terbesar dari 28
September 1934 untuk 23 Februari 1935, itu 58 anggota. Liga tujuan utama
seperti yang tercantum dalam Kovenan termasuk mencegah perang melalui keamanan
kolektif, perlucutan senjata dan penyelesaian sengketa internasional
melalui negosiasi dan arbitrase. Kovenan dari Liga Bangsa-Bangsa
Tujuan-tujuan lain dalam hal ini dan perjanjian-perjanjian terkait termasuk
kondisi perburuhan, perlakuan yang adil terhadap penduduk asli, perdagangan
orang dan narkoba, perdagangan senjata, kesehatan global, tawanan perang, dan
perlindungan terhadap kaum minoritas di Eropa. 2
Pasal 23, “Perjanjian dari Liga Bangsa-Bangsa, “Perjanjian Versailes” dan
Perjanjian Hak Minoritas.
Filsafat diplomatik di belakang Liga
mewakili suatu perubahan mendasar dalam pemikiran dari seratus tahun
sebelumnya.. Liga tidak memiliki kekuatan bersenjata sendiri dan begitu
tergantung pada Ke kuatan Besar untuk menegakkan resolusi, terus sanksi
ekonomi yang memerintahkan Liga, atau menyediakan tentara, bila diperlukan, untuk
Liga digunakanNamun, mereka sering enggan untuk melakukannya.
Sanksi juga bisa menyakiti Liga anggota,
sehingga mereka enggan untuk mematuhi mereka. Ketika, selama Italia-Ethiopia Kedua Perang,
Liga terdakwa Benito Mussolini ‘s prajurit penargetan tenda
medis Palang Merah, Mussolini Etiopia itu menjawab bahwa tidak sepenuhnya
manusia, sehingga undang-undang hak asasi manusia tidak berlaku. Benito
Mussolini stated that Benito Mussolini menyatakan bahwa “Liga sangat baik
ketika burung gereja berteriak, tetapi tidak ada gunanya sama sekali ketika
elang jatuh keluar3 Jahanpour, Farhang. “The
Elusiveness dari Trust: pengalaman Dewan Keamanan dan Iran” (PDF). .
ransnasional Yayasan Perdamaian dan Masa
Depan Penelitian. Diperoleh 2008/06/27
Setelah sejumlah tokoh keberhasilan dan
kegagalan dalam beberapa awal tahun 1920-an, Liga akhirnya terbukti tidak mampu
mencegah agresi oleh kekuatan Axis di tahun 1930-anPada bulan Mei 1933,
Liga tidak berdaya untuk meyakinkan Adolf Hitler bahwa Franz Bernheim, [4]
seorang Yahudi, terlindung di bawah klausa-klausa minoritas yang didirikan oleh
Liga pada tahun 1919 (bahwa semua minoritas sepenuhnya manusia dan memegang hak
yang sama di antara semua laki-laki).
Jerman menarik diri dari Liga, akan segera
diikuti oleh banyak negara totaliter dan militeristik. Permulaan Perang Dunia II menunjukkan bahwa Liga telah gagal
tujuan utamanya, yaitu untuk menghindari perang dunia masa depan. The United Nations diganti itu setelah
berakhirnya perang dan mewarisi sejumlah lembaga dan organisasi yang didirikan
oleh Liga.
PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa)
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNO)
atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah sebuah organisasi internasional yang menyatakan
bertujuan memfasilitasi kerjasama dalam hukum internasional, keamanan internasional, pembangunan ekonomi, kemajuan sosial, hak asasi manusia, dan tercapainya perdamaian dunia.. PBB didirikan pada tahun 1945
setelah Perang Dunia II untuk menggantikan Liga Bangsa-Bangsa, untuk menghentikan perang antara negara-negara, dan untuk menyediakan platform untuk dialog. Ini
berisi beberapa organisasi anak perusahaan untuk melaksanakan misi.
Saat ini ada 192 negara anggota,
termasuk hampir semua negara berdaulat di dunia. Dari kantornya di
seluruh dunia, PBB dan badan-badan khusus memutuskan masalah substantif dan
administratif dalam pertemuan rutin yang diselenggarakan sepanjang tahun.
Organisasi administratif dibagi ke dalam tubuh, terutama: di Majelis Umum (utama perakitan deliberatif); di Dewan Keamanan (untuk
memutuskan resolusi tertentu bagi perdamaian dan keamanan); di Dewan Ekonomi dan
Sosial (untuk membantu dalam mempromosikan ekonomi internasional dan kerja
sama sosial dan pembangunan); di Sekretariat (untuk menyediakan penelitian,
informasi, dan fasilitas yang dibutuhkan oleh PBB); di International Court of Justice
(yudisial utama organ).
Badan tambahan berurusan dengan pemerintahan
lainnya Sistem PBB badan, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), the World Food Programme (WFP) dan United Nations Children’s Fund
(UNICEF). PBB tokoh masyarakat paling terlihat adalah Sekretaris-Jenderal,
saat ini Ban Ki-moon dari Korea Selatan, yang mencapai pos pada tahun 2007
Organisasi ini dinilai dan dibiayai dari sumbangan sukarela dari negara-negara
anggotanya, dan memiliki enam bahasa resmi: Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol. 4 b
“FAQ:
Apa bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa?”. UN Department for General
Assembly and Content Management . Retrieved 2008-09-21 .
Palang Merah Internasional
Sebenarnya Palang Merah Internasional,
hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional. Namun karena
faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam hubungan dan
hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga menjadi sangat
strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi
dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang
berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di
bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah
Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian
membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah
Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah
Internasional (International
Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss.
(Phartiana, 2003; 123)
Individu yang Mempunyai Kriteria Tertentu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah
hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban serta
tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama
setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
(Universal
Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti
dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai
kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subyek
hukum internasional yang mandiri.
Dasar hukum yang menyatakan individu sebagai subjek hukum
internasional ialah
- Perjanjian
Versailles 1919 pasdal 297 dan 304
- Perjanjian
Uppersilesia 1922
- Keputusan
Permanent Court of Justice 1928
- Perjanjian
London 1945 (inggris, Perancis, Rusia, dan USA)
- Konvensi
Genocide 1948.
Kaum Pemberontak (Belligerensi)
Kaum belligerensi pada awalnya muncul
sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena
itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun
apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang
saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke
negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah
mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri
sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat
oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut,
berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak
menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional
Dasar hukum yang menyatakan Pemberontak /
Pihak yang bersengketa sebagai Subjek Hukum Internasional ialah :
- Hak
Untuk Menentukan nasib sendiri
- Hak
untuk memilih sistem ekonomi, sosial dan budaya sendiri.
- Hak
untuk menguasai sumber daya alam.
SUMBER
HUKUM INTERNASIONAL
Pengertian Sumber Hukum Internasional
Adapun pengertian sumber hukum internasional menurut F.A Whisnu Situni,SH dibedakan menjadi 2 yaitu :
Adapun pengertian sumber hukum internasional menurut F.A Whisnu Situni,SH dibedakan menjadi 2 yaitu :
- Sumber
hukum material
- Sumber
hukum formal
Sumber hukum material adalah segala sesuatu yang
menentukan isi dari hukum, Sementara itu sumber hukum formal dapat diartikan
dalam 2 macam pengertian :
- sebagai
tempat menemukan hukum, dan
- sebagai
dasar mengikat.
Sumber Hukum Internasional
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
- Perjanjian
internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun
khusus;
- Kebiasaan
internasional (international custom);
- Prinsip-prinsip
hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara
beradab;
- Keputusan
pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui
kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.
(Phartiana, 2003; 197)
Perjanjian Internasional/Traktat
Traktat menurut Harmaily, dkk, adalah perjanjian
yang diadakan oleh dua negara (bilateral) atau banyak negara (multilateral).
- Traktat
adalah perjanjian yang dibuat antara negara, 2 negara atau lebih
- Merupakan
perjanjian internasional yang dituangkan dalam bentuk tertentu
- Perjanjian
terjadi karena adanya kata sepakat dari kedua belah pihak (negara) yang
mengakibatkan pihak-pihak tersebut terikat pada isi perjanjian yang
dibuat.
- Trakat
ini juga mengikat warganegara-warganegara dari negara-negara yang
bersangkutan
- Dapat
dijadikan hukum formal jika memenuhi syarat formal tertentu, misalnya
dengan proses ratifikasi.
- Asas
Perjanjian “Pacta Sun Servanda” = perjanjian harus dihormati dan ditaati
Perjanjian internasional
ada 2 yaitu :
- Tertulis→yang
dituangkan dalam instrumen-instrumen berbentuk perjanjian tertulis dan
pembentukannya melalui prosedur atau aturan tertentu hukum internasional
(formal)
- Tidak
tertulis→yang di ekspresikan melalui instrumen-instrumen yang tidak
tertulis yang dapat berupa :
- Ucapan
lisan
- Tindakan
tertentu dari subjek hukum internasional lainnya, dan
- Tulisn
yang pembentukannya tidak melalui atau membutuhkan prosedur
tertentu.
Traktat yang membentuk hukum:
- yang
memuat peraturan mengenai hukum internasional secara universal,ch:Piagam
PBB
- menetapkan
peraturan yang bersifat umum
Kontrak dengan traktat, yaitu traktat yg menetapkan
hak dan kewajiban yang hanya berlaku bagai peserta traktat tersebut ~yang perlu
diperhatikan dalam treatycontract :
- sederatan
treatycontract yang dapat merupakan proses lahirnya kebiasaan
internasional;
- ada
kalanya traktat semula diadakan beberapa negara saja, tapi kemudian
diterima secara umum;
- traktat
dapat memiliki nilai yang jelas yang menggambarkan hukum yang bersifat
umum
Proses pembuatan traktat menurut utrecht
:
- Penetapan,
(sluiting). Pada tahap ini diadakan perundingan, atau pembicaraan
tentang masyalah yang mnyangkut kepentingan masing-masing negara. Hasilnya
berupa concept verdrag, yakni penetapan isi perjanjian.
- Persetujuan.
Penetapan-penetapan pokok dari hasil perundingan itu diparaf sebagai tanda
persetujuan sementara, karena naskah tersebut masih memerlukan persetujuan
lebih lanjut dari DPR negara masing-masing. Kemungkinan terjadi bahwa
masing-masing DPR masih mengadakan perubahan-perubahan terhadap naskah
tersebut.
- Penguatan
(bekrachtiging). Setelah diperoleh persetujuan dari kedua negara
tersebut, kemudian disusul dengan penguatan (bekrachtiging)
atau disebut juga pengesahan (ratificatie) oleh masing-masing
kepala negara. Sesudah di ratifikasi maka tidak mungkin lagi kedua belah
pihak untuk mengadakan perubahan, dan perjanjian itu sudah mengikat kedua
belah pihak.
- Pengumuman
(afkondiging). Perjanjian yang disetujui dan ditandatangani oleh
para pihak, kemudian diumumkan. Biasanya dilakukan dalam suatu upacara
dengan saling menukarkan piagam perjanjian.
Berakhirnya traktat:
- Telah
tercapainya tujuan dari traktat
- Habis
berlakunya traktat tersebut
- Punahnya
salah satu pihak atau punahnya objek traktat
- Adanya
persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri traktat
- Diadakannya
traktat yang baru untuk mengakhiri traktat yang terdahulu
- Diepenuhinya
syarat-syarat uuntuk berakhirnya traktat
- Diakhirinya
traktat secara sepihak dan diterima pengakhirannya oleh pihak lain .
Hukum Kebiasaan Internasional
- Menurut
Bellefroid
"semua peraturan-peraturan yang walaupun tidak
ditetapkan oleh negara, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, kerena mereka yakin
bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum."
- Menurut
Alf Ross
"persetujuan (konsensus) yang diekspresiakan
melalui praktek sebagai kebiasaan internasional."
- Menurut
J.I. Brierly
"praktek negara-negara/kebiasaan
internasional disatu pihak, dan adanya perasaan mewujudkan kewajiban,
sebagai persetujuan (konsensus) dilain pihak internasional, karena tanpa dua
unsur ini hukum tersebut tidak akan terbentuk."
Dua unsur pembentuk hukum kebiasaan internasional ;
1. Kebiasaan internasional>usus dalam bahasa latin>praktek negara-negara>unsur material
2. Opinio juris (keyakinan hukum)>>unsur psikologis
Dua unsur pembentuk hukum kebiasaan internasional ;
1. Kebiasaan internasional>usus dalam bahasa latin>praktek negara-negara>unsur material
2. Opinio juris (keyakinan hukum)>>unsur psikologis
4. Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Prinsip hukum umum dicantumkan dalam Pasal 38
ayat 1 huruf C Statuta Mahkamah Internasional sebagai berikut : "the
general principle of law recognized by cilivized nations" walaupundari
istilahnya tidak mencerminkan adanya proses pembentukan hukum seperti
dalam istilah perjanjian dan kebiasaan internasional, para ahli berdasarkan
Pasal 38 ayat 1 menganggap prinsip-prinsip hukum sebagai sumber hukum formal,
yang berdiri sendiri dan terpisah dari perjanjian internasional maupun
kebiasaan internasional, anggapan ini muncul berdasarkan pada teori hukum alam.
4. Keputusan Peradilan
Keputusan badan peradilan Internasional yang
dimaksud disini adalah putusan megadili perkara perselisihan atau persengketaan
yang diajukan di pengadilan tersebut, dan putusan tersebut harus dibaca sebagai
decision dalam arti yang lebih sempit, yaitu sebagai
judgement.
makasih buat blognya,. kunjungi juga http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/guest-lecture-fakultas-hukum-prof.-william-slomanson.html
bagus sekali da bermanfaat jangan lupa lihat berita terbaru dibawah ini Kebijakan Kriminalisasi di Bidang Keuangan