HUKUM INTERNASIONAL


HUKUM INTERNASIONAL

ANDI M TAUFIK AMALROS
711 008

 
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
 
 




PENGERTIAN,BATASAN DAN ISTILAH HUKUM INTERNASIONAL
HUKUM INTERNASIONAL
pengertian dan batasan Yang dimaksudkan dengan istilah hukum internasional dalam pembahasan ini ialah hukum internasional publik, yang harus kita bedakan dari hukum perdata internasional.
Hukum perdata internasioanal ialah keseuruhan kaedah dan asas hkum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas batas negara. Dengan perkataan lain hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.
Hukum internasional publik ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
Dari uraian di atas tampak persamaan dan perbedaan yang terdapat antara hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.persamaannya ialah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara(internasional). Perbedaanya terletak dalam sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya (obyeknya). Cara membedakan demikian lebih tepat dari pada membedakan pelaku (subyek hukum )-nya dengan mengatakan bahwa hukum internasional publik mengatur hubungan antara negara-negara, sedangkan hukum perdata internasional antara orang perseorangan.
Untuk jelasnya,baik kiranya setelah uraian mengenai pengertian hukum internasional di atas, kita merumuskannyasebagai berikut:
Hukum internasoinal ialah keseluruhan kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan/persoalan yang melintasi batas negara-negara:
  1. negara dengan negara;
  2. negara dalam subyek hukum lain yang bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain .



ISTILAH HUKUM INTERNASIONAL
Selain istilah hukum intenasional, orang juga mempergunakan istilah hukum bangsa-bangsa,hukum antarbangsa atau hukum antarnegara untuk lapangan hukum yang kita sedang bicarakan.Aneka ragam istilah ini tidak saja terdapat pada bahasa kita,tetapi terdapap pula dalam bahasa pelbagai bahasa yang telah lama mempelajari hukum internasional sebagai suatu cabang ilmu hukum tersendiri.
Istilah hukum bangsa-bangsa (law of nations, droit de gens, voelkerrecht) berasal dari istilah hukum romawi “ius gentium”. Dalam arti yang semula “ius gentium” bukanlah berarti hukum yang berlaku antara bangsa-bangsa saja, melainkan pula kaidah dan asa hukum yang mengatur hubungan antara orang romawi dengan orang bukan romawi dan antara orang bukan romawi satu sama lain.) Baru kemudian orang membedakan bener antara: hubungu antar kesatuan hukum publik (kerajaan, repoblik) dengan hubungan antara individu dengan memakai istilah “ius inter gentes”.istilah terakir ini yang berarti hukum antarbangsa sama dengan istilah hukum antarnegara, karena berlainan dengan kerajaan republik pada zaman dahulu,negara modernpada hakekatnya merupakan negara kebangsaan (nationstate).
Hukum bangsa-bangsa akan di pergunakan untuk menunjukan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan antar raja-raja zaman dahulu, ketika hubungan demikian baik karena jarangnyamaupun karena sifat hubunhanny, belum dapat dikatakan merupakan hubungan antara anggota suatu masyarakat bangsa-bangsa.
Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara akan dipergunakan untuk menuju pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak munculnya negara dalam bentuknya yang modernsebagai negara nasional (nation-sate).



BENTUK PERWUJUDAN KHUSUS HUKUM INTERATIONAL :
HUKUM INTERNATIONAL REGIONAL DAN HUKUM INTERNATIONAL KHUSUS (SPESIAL)
Dalam mempelajari hukum internasional, kita akan jumpai beberapa bentuk perwujudan atau polah perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di samping hukum internasional yang berlaku umum (general) terdapat pula hukum internasional regional, yang terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti misalnya apa yang lazim dinamakan hukum internasional Amerika atau hukum internasional Amerika Latin.
Adanya berbagai lembaga hukum internasional regional demikian disebabkan oleh keadaan khusus terdapat di bagian dunia itu.akan tetapi walaupun menyimpang, hukum internasional regional itu tidak usah bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku umum. Bahkan ada kalanya suatu lembaga atau konsep hukum yang mula-mula timbul dan tumbuh sebagai suatu konsep atau lembaga hukum internasional regional, kemudian di terima sebagai bagian dari hukum internasional umum.
Sebagai contoh dapat kita sebut konsep landas keontinen )(“continental shef”)dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (“conservation of the living resources of the sea”) yang mula-mula timbul dan timbul di benua Amerika.
Dengan demikian hukum internasional regionaldapat memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional yang benar-benar universal.

HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM DUNIA
(world law) Dalam usaha menjelskan pengartian hukum internasional,perlu juga kiranya dikemukakan perbedaannya dengan pengertian hukum dunia (world law wetstaatsrecht) yang akhir-akhir ini mulai dipergunakan orang.
Kedua pengertian ini menunjukan pada konsep mengenai tertib hukum masyarakat dunia yang berlainan pangkal tolaknya. Pengertian hukum internasional didasarkan atas pikiran adanya suatu masyarakat international yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (independent) dalam arti masing-masing berdiri sediri yang satu tidak dibawah kekuasaan yang lain. Dalam rangka pikiran ini tidak ada suatu badan yang berdiri atas negara-negara, baik dalam bentuk negara dunia (world state) maupun badan supra nasional yang lain. Dengan perkataan lain hukum international merupakan suatu tertib hukum kordinasi antara anggota masyarakat international yang sederajat. Anggota masyarakat international tunduk pada hukum international sebagai suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaedah dan asas yang mengikat dalam hubungan antar negara.pengertian hukum dunia (world law, weltstaatrecht) berpangkal pada dasar pikiran yang lain.
Menurut konsep ini yang rupanya banyak dipengaruhi analogi dengan hukum Tatanegara (konstitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara didunia ini. Negara didunia secara hirarki berdiri diataa negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi.
Kedua konsep mengenai tertib hukum masyarakat dunia tersebut diatas kedua-duanya mungkin. Jika diantara kedua kemungkinan ini kita melihat konsep yang pertama, hal itu disebabkan karena tertib hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional yang terdiri dari anggota yang sederajat lebih sesuai dengan kenyataan dunia dewasa ini. Kemungkinan terwujudnya suatu negara dunia yang diatur oleh hukum dunia merupakan suatu hal yang pada waktu sekarang masih jauh dari kenyataan.








MASYARAKAT DAN HUKUM INTERNASIONAL

MASYARAKAT INTERNASIONAL SEBAGAI LANDASAN SOSIOLOGIS HUKUM INTERNASIONAL
            Landasan sosiologis hukum adalah masyarakat. Artinya, hukum itu ada dan berlaku jika ada masyarakat. Demikian pula halnya hukum internasional. Oleh karena itu, untuk membuktikan ada dan berlakunya hukum internasional maka terlebih dahulu harus dibuktikan adanya masyarakat internasional. Dengan kata lain, masyarkat internasional adalah landasan sosiologis bagi berlakunya hukum internasional.
            Untuk dapat dikatakan ada masyarakat internasional, ada sejumlah syarat atau unsur tertentu yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut mencakup baik syarat materiil maupun non-materiil.
            Syarat materiil dari adanya hukum internasional adalah berupa fakta-fakta eksitensi fisik yaitu:
(a)    Adanya negara-negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada saat ini terdapat ratusan negara merdeka dan berdaulat. Dengan demikian, syarat adanya negara-negara merdeka dan berdaulat sudah menjadi fakta yang tidak mungkin dibantah.
(b)   Adanya hubungan yang tetap dan berkelanjutan antar negara-negara yang merdeka dan berdaulat tersebut.
Syarat ini pun sudah merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Dalam kehidupan dunia saat ini, tak ada satu pun negara yang mengisolasi dirinya dari pergaulan internasional. Sebab, suka atau tidak, negara-negara itu harus mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, mereka saling bergantung satu dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya.
(c)    Adanya hukum yang mengatur hubungan tetap antar negara-negara merdeka dan berdaulat itu.
Hubungan yang tetap dan berkelanjutan antara negara-negara hanya mungkin berlangsung tertib apabila ada hukum yang mengaturnya. Artinya, hukum dibutuhkan untuk menjamin kepastian kelangsungan hubungan itu. Ini pun sudah merupakan fakta yang tak dapat dibantah. Sebab tidaklah mungkin suatu negara berhubungan dengan negara lain tanpa landasan dan ikatan kaidah hukum, betapa pun sederhana dan tidak formalnya hubungan itu. Hukum itu baik yang berupa kaidah hukum tertulis yang lahir dari perjanjian maupun berupa kaidah hukum kebiasaan.
            Sementara itu, syarat non-materiil dari masyarakat internasional adalah adanya kesamaan asas-asas hukum. Bagaimanapun berbedanya corak hukum positif yang berlaku di masing-masing negara yang ada di dunia saat ini, mereka pasti mengakui dan terikat oleh adanya kesamaan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum. Inilah yang dinamakan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nations – akan dibahas lebih jauh dalam pembahasan tentang sumber-sumber hukum internasional). Adanya kesamaan asas-asas hukum ini dapat dikembalikan kepada rasio dan naluri mempertahankan diri yang ada pada manusia. Masyarakat bangsa-bangsa, yang terdiri atas sekumpulan manusia, pun tunduk kepada rasio dan naluri demikian.

HAKIKAT KEDAULATAN DAN FUNGSINYA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL
            Sebagaimana diketahui, kedaulatan (souvereignty) berarti kekuasaan tertinggi (dari istilah Latin “superanus” yang berarti “yang tertinggi” atau “yang teratas”). Dengan kata lain, suatu negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi darinya. Pengertian inilah yang kemudian menimbulkan persoalan dalam hubungannya dengan hukum internasional karena seolah-olah kedaulatan itu menghambat perkembangan hukum internasional atau bahkan bertentangan dengan hukum internasional. Bagaimana mungkin sesuatu yang menganggap dirinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi akan tunduk pada kekuasaan lain?  Dengan kata lain, tidak mungkin hukum internasional itu mengikat negara-negara jika negara-negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi (yaitu, dalam hal ini, hukum internasional).
            Pandangan demikian, meskipun sepintas tampak masuk akal, sesungguhnya tidak benar. Pandangan demikian lahir karena didasari oleh pemahaman yang keliru mengenai dua hal. Pertama, pandangan demikian keliru dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional). Kedua, pandangan demikian juga keliru dalam memahami hakikat kedaulatan.
            Tentang kekeliruan yang pertama: kekeliruan dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional). Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, struktur masyarakat internasional bukanlah struktur masyarakat atau negara dunia melainkan suatu masyarakat yang terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka yang tidak memiliki suatu pemerintahan dunia (world government). Sementara itu tertib hukum yang mengaturnya, yaitu hukum internasional, bukanlah tertib hukum yang bersifat subordinatif melainkan tertib hukum koordinatif. Jadi, pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar apabila masyarakat internasional itu adalah masyarakat atau negara dunia dan tertib hukum yang mengaturnya adalah tertib hukum dunia yang merupakan tertib hukum yang bersifat subordinatif.
            Tentang kekeliruan yang kedua: kekeliruan dalam memahami hakikat kedaulatan. Benar bahwa kedaulatan berarti kekuasaan yang tertinggi. Benar pula bahwa suatu negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi di luar dirinya. Namun, kekuasaan yang tertinggi bukanlah berarti kekuasaan yang tidak terbatas.
            Kedaulatan, sebagai kekuasaan tertinggi, ada batas-batasnya.  Negara berdaulat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pun ada batas-batasnya sampai di mana kekuasaan itu dapat atau boleh dilaksanakan. Pembatasan pertama dari kedaulatan suatu negara adalah kedaulatan yang dimiliki oleh negara lain. Di sini terkandung dua pengertian, yaitu: pertama, kedaulatan atau kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas wilayah negara yang bersangkutan; kedua, kedaulatan atau kekuasaan tertinggi suatu negara itu berakhir di mana kedaulatan negara lain dimulai. Jadi, sesungguhnya dalam sifat hakikat kedaulatan suatu negara itu sendiri telah dengan sendirinya terkandung pembatasan.
            Pembatasan yang kedua terhadap kedaulatan negara adalah hukum internasional. Artinya, jika pada tahap pertama pembatasan terhadap kedaulatan negara itu terletak pada kedaulatan negara lain maka pembatasan terhadap kedaulatan seluruh negara terletak pada hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara yang berdaulat itu. Sebab, tidak mungkin akan tercipta hubungan antarnegara (hubungan internasional) yang tertib dan teratur tanpa adanya penerimaan akan pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antarnegara atau hubungan internasional itu.
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa selama masyarakat internasional masih tetap berupa masyarakat yang anggotanya terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat, bukan masyarakat yang merupakan negara dunia, maka kedaulatan negara bukanlah penghambat perkembangan hukum internasional dan sekaligus tidak bertentangan dengan hukum internasional. Pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan bertentangan dengan hukum internasional dan sekaligus menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar hanya jika masyarakat internasional itu telah menjadi masyarakat atau negara dunia dan hukum internasional itu sudah merupakan hukum dunia.









SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL


Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional
1. Hukum dan Politik di Dunia
Sebuah sistem hukum selalu memerlukan kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif. Kekuasaan legislatif terdiri dari lembaga – lembaga yang bertugas untuk membuat undang – undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang menegakkan hukum, sementara kekuasaan judikatif terdiri dari beberapa tingkatan pengadilan yang bertugas untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul. Hukum internasional tidak seperti itu.
Hukum internasional tidak memiliki kekuasaan legislatif. Majelis Umum PBB memang memiliki wakil dari setiap negara, tetapi peraturan – peraturan yang dikeluarkan tidak mengikat secara hukum setiap negara anggota. Hukum Internasional juga tidak memiliki sistem peradilan. Mahkamah Internasional ada di The Hague, tapi itupun hanya bisa memutuskan kasus apabila kedua pihak setuju, dan peradilan tidak bisa memastikan apakah keputusannya dipatuhi atau tidak. Sementara itu, Dewan Keamanan PBB yang berperan sebagai penegak hukum tidak bisa melakukan tugasnya dengan efektif karena ada hak veto kelima anggotanya. Karena itu, apabila hukum internasional tidak memiliki lembaga yang bisa membuat undang – undang, menjalankannya atau memastikan tidak ada yang melanggarnya, lalu mengapa hukum internasional disebut sebagai hukum?
2. Peran Paksaan
Tidak ada sanksi dalam hukum Internasional, akan tetapi ada beberapa keadaan dimana penggunaan paksaan dibenarkan dan diperbolehkan. Di PBB, sanksi akan dikeluarkan oleh Dewan Keamanan bila ada perbuatan yang dianggap dapat mengancam kedamaian atau berujung kepada agresi. Sanksi bisa berupa sanksi ekonomi dan/ atau sanksi militer. Sanksi yang penuh sangat jarang diterapkan di PBB karena sanksi seperti itu membutuhkan koordinasi kelima anggota permanen Dewan Keamanan.
Meski begitu, setiap negara boleh bertindak keras apabila terjadi keadaan yang mengancam keselamatan negaranya. Negara boleh bertindak untuk melindungi dirinya sendiri bila terjadi agresi dari negara lain.
Tidak boleh dilupakan bahwa hukum internasional melarang penggunaan sanksi sebisa mungkin. Hal ini akan membawa kita pada keadaan dimana masyarakat internasional menjadi semakin berkuasa. Untuk itu harus dipelajari lebih lanjut apakah negara harus mematuhi hukum internasional atau tidak. Karena bila negara merasa tidak perlu mematuhi hukum internasional, maka hukum internasional tidak akan ada.
3. Sistem Internasional
Sistem intenasional bersifat horizontal, terdiri dari lebih 190 negara merdeka, semuanya sama menurut teori hukum, dan tidak ada yang memiliki otoritas lebih tinggi daripada yang lain. Pada hukum internasional, setiap negaralah yang membuat hukum dan mereka bebas untuk tidak mematuhinya.
Pada dasarnya hukum internasional dibentuk oleh perjanjian internasional yang membuat peraturan yang mengikat semenjak ditandatanganinya perjanjian tersebut, dan hukum kebiasaan, dimana negara melakukan suatu hal yang sama secara berulang – ulang dan menjadi kebiasaan yang harus dipatuhi.
Hukum internasional terdiri dari berbagai peraturan dimana negara boleh memilih peraturan mana yang dipatuhi mana yang tidak. Keberadaan sebuah peraturan yang mendunia dirasa perlu, karena dapat menciptakan stabilitas pada situasi kehidupan internasional yang tidak bisa ditebak.
Ketika negara terlibat kepada sebuah perselisihan, hukum internasional akan diperlukan meski ada perbedaan penafsiran pada masing – masing negara. Kedua negara akan berbicara dalam bahasa yang sama, dan faktor komunikasi sangatlah penting karena salah sedikit saja akan berujung kepada kesalahpahaman. Hukum internasional menawarkan solusi yang mencakup pada prinsip kedua negara. Meski begitu hukum internasional tidak bisa memecahkan masalah yang kompleks karena belum terlalu berkembang.
Meski tidak ada polisi internasional yang bisa menjaga keamanan setiap negara dari ancaman negara lain, akan tetapi ada beberapa pertimbangan yang membuat setiap negara mematuhi hukum internasional:
  1. negara tidak akan berbuat sesuatu yang hanya menguntungkan pada jangka pendek karena hal itu nantinya dapat mengganggu hubungan dengan negara lain dalam jangka panjang. Contohnya, setiap negara akan melindungi diplomat asing karena kalau tidak, diplomat mereka yang berada di luar negeri akan terancam keselamatannya.
  2. negara akan mendapat keuntungan di situasi – situasi tertentu bila mematuhi hukum internasional.
  3. bisnis internasional biasa menggunakan istilah – istilah hukum khusus. Semua hal sekarang berdasar kepada hukum, contohnya adalah perusahaan multinasional yang mengaplikasikan hukum internasional.

Kesimpulannya, negara – negara mematuhi hukum internasional, dan hanya melanggarnya apabila ada terkena masalah yang menyangkut urusan vital negara tersebut. setiap negara merdeka dan bebas, serta hanya bisa diikat bila mereka menginginkannya. Tidak ada otoritas tertinggi yang bisa memaksakan hukum pada setiap negara, dan setiap negara hanya dapat diatur oleh hukum apabila dari awal mereka memang setuju untuk patuh.
Perlu kita ingat bahwa dari masa ke masa, negara – negara akan selalu menolak mematuhi beberapa aturan tertentu hukum internasional. Tetapi, tidak ada satupun negara yang tidak menyetujui kesemua aturan dalam sistem internasional.
4. Fungsi Politik
Hukum dan politik tidak dapat dipisahkan. Cabang dari politiklah yang menciptakan hukum dan sistem hukum. permainan hukum dan politik di dunia sangat kompleks dan sulit dimengerti, membuat kita kembali pada pertanyaan awal tentang alasan negara mematuhi hukum internasional. Politik penguasa menekankan pada kompetisi, konflik dan supremasi yang dibutuhkan agar bisa bertahan dari pengaruh luar. Hukum internasional bertujuan pada keserasian dan penyelesaian masalah.
Mahkamah Internasional memutuskan pada kasus Afrika Barat Daya “Ini mahkamah hukum, dan hanya akan mempertimbangkan moral sejauh moral tersebut diekspresikan dalam bentuk peraturan. Hukum ada untuk melayani kebutuhan masyarakat, dan hanya bisa melakukannya sepanjang masih dalam batas hukum itu sendiri.
Hukum internasional tidak bisa menjadi solusi instan untuk konflik dan konfrontasi karena hukum internasional memiliki kelemahan pada struktur dan isinya.
Manusia mencari perintah, kesejahteraan dan keadilan tidak hanya dari hukum yang ada di negaranya, tapi juga hukum internasional.
5. Perkembangan Sejarah
Dasar hukum internasional yang kita kenal sekarang ini terletak pada perkembangan kebudayaan dan organisasi politik barat. meski hukum negara – negara berakar dari jaman renaisans eropa, tetapi bibitnya sudah ada sejak jaman dahulu kala.

  • zaman sebelum masehi
konsep dasar hukum internasional sudah muncul di hubungan politik ribuan tahun lalu. sekitar 2100 tahun sebelum masehi, sebuah perjanjian muncul diantara pemimpin Lagash dan Umma, negara kota yang terletak di Mesopotamia. Perjanjian tersebut dibuat di atas batu. Contoh lainnya yang terkenal terjadi 1000 tahun setelahnya, yaitu perjanjian perdamaian dan persaudaraan antara raja Mesir, Rameses II dan raja Hittities.
Peran israel kuno juga perlu diperhatikan. Pada masa itu, bukan kekuatan yang menjadi kunci dari eksistensi seorang manusia, tapi kedamaian dan keadilan sosial.
Bagaimanapun, pendekatan hukum internasional yang dilakukan oleh masyarakat kuno terbatas pada daerah dan budaya setempat. Tidak ada konsep yang mengakui keberadaan masyarakat dunia yang berada dalam satu sistem. Lingkup hukum internasional sangat sempit.
Era yunani kuno, sejak abad keenam sebelum masehi dan berlanjut sampai dua ratus abad setelahnya, telah menyumbangkan banyak hal pada pemikiran eropa. dasar hukum internasional di zaman ini memfokuskan pada analisis filosofi, sains dan politik yang ada di masyarakat dan sebagian lagi fokus pada hubungan antar negara yang dibangun di dunia hellenistis.
Pada masa romawi, hukum sangat dihormati. Hukum romawi (jus civile) awalnya hanya diterapkan untuk masyarakat romawi saja. Tetapi hukum ini menjadi tidak relevan untuk sebuah negara yang meluas dan berkembang seperti roma. Karena itulah dibuat jus gentium, yang mengatur hubungan antar orang asing dan masyarakat roma. Hukum jus gentium yang progresif mulai mengalahkan jus civile yang ruang lingkupnya sempit, karena itu jus gentium menjadi hukum yang berlaku di seantero kekaisaran romawi, dan mulai dipertimbangkan untuk berlaku universal.
Salah satu hukum yunani yang juga diterapkan juga oleh romawi adalah hukum alam. Hukum alam dibuat oleh filsuf Stoic, abad ketiga sebelum masehi. Peraturan dalam hukum alam sangat rasional dan logis, dan karena peraturan tersebut berakar dari pemikiran manusia, maka hukum alam tidak terbatas hanya pada satu kelompok atau negara, tapi universal. Konsep universal hukum alam ini adalah dasar dari doktrin modern hukum internasional. Selain menjadi konsep fundamental di bidang hukum, hukum alam penting keberadaannya dalam memahami hukum internasional.
Beberapa filsuf romawi kemudian memasukkan konsep hukum alam dalam teori hukum mereka. Meski begitu, eksistensi hukum alam tetap lebih besar daripada jus gentium. Banyak pihak menjadi bertanya – tanya apa sebenarnya hubungan antara hukum alam dan jus gentium, karena para ahli hukum romawi memiliki kesimpulan yang berbeda – beda sesuai dengan ciri khas mereka masing – masing.
Hukum klasik romawi dikumpulkan dalam corpus juris civilis, kompilasi materi hukum yang dikeluarkan oleh filsuf Byzantine pada 534 tahun sebelum masehi. Kompilasi ini menjadi tidak berguna ketika kegelapan abad pertengahan dan keruntuhan romawi mulai menyebar.
Setelah hukum romawi, hukum lain yang diperhitungkan adalah hukum Islam yang mulai berkembang. Pendekatannya pada hubungan dan hukum internasional dapat dilihat dari konsep kesatuan antar negara – negara islam, serta hubungan yang baik dengan negara – negara non islam. Umumnya, konsep kesejahteraan individu semakin berkembang. Pada masa ini, hukum dibentuk dengan dasar keramahtamahan dan rasa aman, sementara peraturan pemerintah perjanjian internasional berkembang dari rasa hormat kepada perjanjian.

  • Abad Pertengahan dan Masa Renaissance
Abad pertengahan terkenal dengan kekuasaan gereja yang sangat kuat. Salah satu hal penting di masa ini adalah kekaisaran suci roma dan hukum kanon yang supranasional. Hukum inggris menelurkan law merchant, peraturan yg mengatur mengenai perdagangan asing dan kemudian diberlakukan universal. Di sepanjang eropa kemudian dibentuk pengadilan perdagangan, untuk menyelesaikan masalah – masalah yang timbul antar pedagang asing. Inilah yang menjadi dasar peraturan perdagangan internasional. Selain itu, kebiasaan maritim juga mulai dikenal di sepanjang benua.
Peraturan perdagangan dan maritim itu adalah beberapa dari banyak pionir di hukum internasional, karena peraturan – peraturan tersebut melibatkan hubungan antarnegara dan menyadarkan pentingnya keberadaan peraturan yang dapat mengatur situasi internasional. Peraturan – peraturan ini tumbuh pada awal abad pertengahan, menaburkan biji – biji hukum internasional, tapi sebelum biji tersebut berbunga, pemikiran eropa sudah terlebih dahulu dikembangkan saat ledakan intelektual bernama renaissance.
Era Renaissance ditandai dengan munculnya pemikiran yang individualistis, sains dan humanitis modern. Kehancuran kekaisaran bryzantine membuat banyak pemikir yunani mencari perlindungan di italia dan menghidupkan kebudayaan eropa barat. pengenalan tulisan cetak pada abad 15 membuat ilmu menjadi semakin berkembang.
Kepercayaan diri eropa yang berkembang membuat mereka mencari semakin banyak kemewahan dan kekayaan di luar benua. Pada akhir abad ke 15, orang – orang arab telah dikeluarkan dari semenanjung iberian dan amerika ditemukan.
Kebangkitan negara – negara seperti inggris, prancis dan khususnya spanyol menimbulkan ciri khusus pada proses pembuatan wilayah merdeka. Ketika itu, manusia semakin berusaha untuk mendapatkan supremasi dan kekuatan politik, seperti yang disebutkan oleh buku Machiavelli yang berjudul The Prince.
Negara kota Italia juga berjuang untuk supremasi, dan Papacy menjadi berpemerintahan sekuler. Dari perjuangan dan usaha – usaha tersebut muncullah cikal bakal kehidupan internasional modern : diplomasi, pemerintah, teori keseimbangan kekuasaan, dan masyarakat negara. Selain itu muncul juga manuver – manuver supremasi politik. Aliansi, pengkhianatan, manipulasi lembaga negara, dan kekuasaan yang dapat diatur menjadi hal yang lumrah. Kita dapat mengenali akar dari masyarakat kita.
Adalah evolusi dari konsep masyarakat internasional yang terdiri dari negara – negara berdaulat yang menandai awal mula hal yang dipelajari oleh Hukum Internasional. Kemerdekaan, pemikiran kritis, cara pandang hidup yang sekuler serta pandangan politik yang berorientasi pada masa depan menjadi ciri khas renaisans yang sangat penting bagi pertumbuhan hukum internasional.
Perlunya ada konsep baru mengenai manusia dan hubungan antar negara mulai dirasakan oleh negara – negara di benua eropa. Teori – teori hukum internasional memiliki pengaruh besar pada kehidupan politik dan sangat dipengaruhi oleh penemuan kembali hukum yunani-romawi. Zaman renaisans menstimulasi kelahiran kembali studi hellenic dan hukum alam.
Bersamaan dengan kebangkitan negara modern dan emansipasi hubungan internasional, doktrin kedaulatan timbul. Konsep ini pertama dipelajari oleh jean bodin tahun 1657. dia berpendapat bahwa kekuasaan berdaulat dalam sebuah negaralah yang seharusnya menciptakan hukum. kedaulatan tidak dapat diikat oleh hukum yang ia ciptakan sendiri, melainkan oleh hukum Tuhan dan hukum alam.
Pemikir – pemikir awal hukum internasional sangat terpengaruh dengan hukum hukum alam dan kemudian menggunakan hukum alam sebagai dasar filosofi mereka. Salah satu contohnya adalah st thomas aquinas, filsuf yang teorinya merupakan perpaduan dari agama kristen dan hukum alam.
Kelahiran hukum internasional adalah akibat yang sangat penting dari hukum alam. Hukum internasional kemudian dipelajari sebagai suatu hukum yang berdiri sendiri, meski prinsipnya banyak yang diambil dari hukum alam.

  • Pendiri hukum internasional modern
Pendekatan baru terhadap hukum internasional mulai ada ketika filsuf spanyol, Fransisco Vitoria, mengemukakannya pada zaman keemasan negara tersebut. dia mendemonstrasikan perilaku progresif spanyol pada suku indian di amerika selatan dan berpendapat bahwa masyarakat indian seharusnya menjadi negara sendiri yang memiliki peraturan sendiri.
Filsuf lain adalah Suarez yang berpendapat bahwa hukum internasional mengandung ciri khas hukum alam.
Filsuf selanjutnya bernama alberico gentili, yang terkenal karena bukunya de jure belli. De jure belli berisi diskusi mengenai hukum perang dan salah satu babnya memuat tentang hukum traktat.
Ahli yang dikenal sebagai bapak hukum internasional adalah hugo grotius, seorang belanda. Bukunya yang paling penting yaitu de jure belli ac paris, memuat tentang penjelasan hukum privat internasional yang masih dapat digunakan sekarang. Dia menegaskan bahwa hukum alam itu akan tetap berlaku meski tidak ada Tuhan. Hukum alam itu dibentuk bukan tanpa alasan. Keadilan hanyalah alasan masyarakat dan untuk itu diperlukan.
Pendapatnya yang juga terkenal adalah mengenai laut bebas. Ahli belanda ini menentang konsep “laut tertutup” dari portugis dan mengatakan bahwa setiap negara tidak bisa mengklaim laut sebagai milik pribadi mereka. Laut itu milik semua negara. Teori ini memiliki hubungan erat dengan perdagangan bebas dan kekuatan komersil yang sedang berkembang.

  • Positivisme dan naturalisme
Beberapa ahli setelah grotius mengemukakan teori yang sebenarnya tidak dimaksudkan berbeda, tetapi malah membentuk dua aliran. Aliran pertama adalah naturalisme, yang pertama dikemukakan oleh samuel pufendorf. Dia mencoba mengenali hukum internasional dengan mempelajari teori hukum alam. Aliran kedua adalah positivisme, yang memisahkan hukum alam dan hukum internasional dan mengangkat masalah – masalah praktek kenegaraan.
Pufendorf menganggap hukum alam adalah sistem moral. Ia salah memahami arah hukum internasional modern dengan menolak validitas hukum kebiasaan. Ia juga menolak anggapan bahwa traktat adalah dasar hukum internasional.
Salah satu inisiator aliran positivisme adalah Richard Zouche. Zouche menghilangkan hukum alam dari teori hukum internasional dan memfokuskan perhatiannya pada doktrin tradisional. Doktrin itu digambarkan melalui kejadian – kejadian pasti, dan bukunya mengandung banyak contoh kejadian masa lalu.
Bynkershoek, ahli positivisme selanjutnya, menekankan pada pentingnya praktek – praktek modern dan tidak menghiraukan hukum alam. Dia memiliki kontribusi yang sangat banyak pada pengembangan teori – teori mengenai hak dan kewajiban pihak netral dalam perang. Setelah mempelajari banyak fakta – fakta relevan mengenai laut, ia memutuskan untuk mendukung teori laut bebas.
Pendekatan positivisme, seperti banyak pemikiran modern lainnya, diadopsi dari metode empiris renaisans.
Dari sini kita bisa melihat bahwa terjadi sebuah langkah pendek bila kita menerjemahkan kembali hukum internasional bukan melalui konsep yang didapat dari alasan, tetapi melalui apa yang benar – benar terjadi diantara negara – negara yang berkompetisi. Apa yang negara – negara lakukan adalah kunci sebenarnya, bukan apa yang negara lakukan setelah diberikan dasar peraturan hukum alam. perjanjian dan kebiasaan adalah inti dari hukum negara – negara.
Positivisme berkembang sebagai sistem kenegaraan modern terjadi setelah kemerdekaan westphalia tahun 1648 dari perang keagamaan.
Baik teori positivisme maupun naturalisme muncul di buku vattel, seorang pengacara swiss. Bukunya yang berjudul droit des gens didasarkan pada prinsip – prinsip hukum alam yang berorientasi pada praktek. Dia mengenalkan doktrin equality of states (setiap negara berkedudukan sama) ke hukum internasional, dan menegaskan bahwa sebuah republik kecil tidak berkedaulatan lebih kecil dari kerajaan yang paling kuat. Dengan membedakan hukum kesadaran dan hukum tindakan serta menekankan bahwa hukum tindakanlah yang diperhatikan dalam hal yang bersifat praktis, ia mengurangi pentingnya hukum alam.
Ironisnya, pemikiran ahli positivisme juga menghancurkan dasar filosofis hukum alam dan menjadikannya sebuah sejarah. Teori itu kemudian hadir lagi dengan bentuk yang lebih modern dan berorientasi pada masa depan. Hukum alam memberi jalan pada hak natural.
Masa itu adalah masa supremasi politik yang sangat individualistis. Ide kontrak sosial menekankan peran penting individu. Hak asasi manusia membentuk jantung amerika dan revolusi prancis serta membentuk masyarakat modern yang demokratis.
Di samping itu, doktrin hukum alam telah digunakan untuk menegaskan kedaulatan absolut dan kekuatan pemilikan pribadi.

  • Abad ke 19
Abad ke 19 adalah era yang praktis, berkembang dan positivisme. Kongres wina,yang menandai akhir perang napoleon mengemukakan perintah internasional yang berlandaskan kekuasaan eropa yang seimbang. Hukum internasional menjadi eurosentris, dimana negara – negara luar eropa hanya bisa memasukinya bila telah ada kesepakatan dan sesuai kondisi yang telah ditetapkan oleh kekuatan barat. ketika hukum internasional menjadi bersifat internasional yang geografis seiring dengan ekspansi eropa, ia juga menjadi tidak seuniversal dulu.
Pada abad ini juga terjadi kemerdekaan negara amerika latin dan pendekatan yang distinktif pada elemen – elemen hukum internasional oleh negara – negara di area itu, contohnya adalah suaka diplomatik dan perlakuan pada perusahaan asing dan nasional.
Ada banyak hal lain yang menandai abad ke 19. demokrasi dan nasionalisme yang diakibatkan oleh revolusi prancis menyebar ke seluruh penjuru benua dan merubah esensi hubungan internasional. Tidak ada lagi perlakuan istimewa pada bangsawan elit, kebijakan asing mengandung baik sisi positif maupun negatif nasionalisme.
Kemerdekaan negara atas usaha sendiri muncul untuk mengancam kekaisaran multinasional eropa tengah dan timur. Nasionalisme mencapai puncaknya saat unifikasi jerman dan italia dan mulai memamerkan ekspansionisme dan doktrin rasial superior. Demokrasi mempengaruhi politik individu dan sesi berpendapat di pemerintahan. Demokrasi juga membawa tanggung jawab yang nyata dimana perang menjadi pusat perhatian. Konskripsi mulai diperkenalkan di penjuru benua dan kekuatan militer nasional yang besar menggantikan kekuatan yang kecil yang profesional.
Revolusi industri membentuk eropa, membuat sistem ekonomi yang dikotomi dan menyebarkan pengaruh eropa ke seluruh dunia. Faktor – faktor ini mengakibatkan penambahan yang sangat banyak lembaga internasional baik yang publik maupun privat, dan hukun internasional bertumbuh cepat untuk dapat mengakomodasi keadaan tersebut. muncullah beberapa peraturan yang bersifat internasional, seperti keputusan akhir kongres wina tahun 1815 yang mengeluarkan kebebasan navigasi di jalur air internasional.
Konferensi eropa berkontribusi besar pada perkembangan peraturan yang memerintah saat perang. Selain itu, banyak konferensi lain mengangkat ekspansi hukum internasional dan jaringan tertutup hubungan internasional.
Teori positivisme mendominasi abad ini. karena hukum sangat bergantung pada keinginan sistem kedaulatan nasional, hukum internasional juga berpengaruh pada keinginan negara – negara yang berdaulat. Hal ini berimplikasi pada kebingungan lembaga legislatif akan keinginan negaranya sendiri.
Ahli dari Jerman, Hegel, adalah orang yang pertama kali menganalisis dan mengajukan doktrin kemauan suatu negara.
Pertumbuhan perjanjian internasional, kebiasaan dan regulasi membuat ahli teori positivisme dapat menjauhkan masalah hukum internasional dan negara.
Ada ahli yang berpendapat bahwa hanya satu prinsip fundamental yang dapat mengatur baik hukum nasional maupun internasional. Prinsip tersebut sering disebut hak atau solidaritas sosial atau peraturan yang harus dimuat oleh perjanjian (pacta sunt servanda).
Menurut Triepel, ahli jerman lainnya, hukum internasional dan hukum domestik (hukum negara) berada di pesawat yang berbeda. Hukum internasional mengatur mengenai hubungan internasional, sementara hukum negara mengatur hubungan antar individu atau individu dengan negara. Hukum internasional didasarkan pada perjanjian antar negara, dan karena diatur oleh keinginan bersama negara – negara, hukum itu tidak bisa jadi unilateral.

  • Abad ke 20
Perang dunia pertama menandai abad yang dinamis dan optimis. Kekaisaran eropa menguasai dunia, tetapi perang besar tahun 1914-1918 menggoyang fondasi masyarakat eropa. Kepercayaan diri mereka mulai meredup.
Peraturan yang paling penting adalah perjanjian perdamaian tahun 1919 yang dihasilkan dari sudut pandang hubungan internasional yang dibentuk oleh LBB.
LBB terdiri dari majelis umum dan majelis eksekutif, tetapi tak memiliki pengaruh karena absennya Amerika Serikat dan Uni Soviet, menjadikan organisasi ini pada intinya seperti organisasi eropa.
meski LBB berhasil meraih beberapa kesuksesan kecil dalam rangka menjaga hubungan internasional, lembaga ini gagal ketika dihadapkan pada negara yang sangat giat mengagresi. Jepang menginvasi cina tahun 1931 dan dua tahun kemudian keluar dari LBB. Italia menyerang ethiopia, dan jerman bersusah payah mempertahankan diri dari serangan internal dan eksternal. Bentuk kekuasaan terakhir LBB adalah mengerluarkan uni soviet saat menginvasi finlandia tahun 1939.
Meski begitu banyak peraturan dasar telah sukses dibuat oleh lbb selama masa keberadaannya yang sangat pendek dan ini membantu pembuatan pbb di kemudian hari.
Mahkamah internasional yang permanen mulai disiapkan tahun 1921 dan benar – benar berdiri tahun 1946. organisasi buruh internasional berdiri segera setelah pd 1 dan masih ada hingga sekarang. Banyak organisasi internasional lain yang menambahkan kinerja mereka pada masa itu.
Ide lain dari hukum internasional yang pertama muncul saat perang adalah sistem mandat.
Setelah perang dunia 2, lbb disukseskan tahun 1946 oleh pbb, yang mencoba mengobati banyak kesalahan pendahulunya. Ia mendirikan kantor awal di new york, menjauhkan kekuasaan dari eropa dan diharapkan dapat menjadi organisasi yang benar – benar universal. Pbb sekarang memiliki 192 anggota negara.

Jumlah perjanjian internasional dan kebiasaan yang bertambah banyak, sistem arbitrase yang menguat serta perkembangan organisasi internasional telah menghasilkan esensi hukum internasional seperti yang ada sekarang.

  • Komunis mencapai hukum internasional
Teori klasis Marx mendefinisikan hukum dan politik sebagai alat kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi mereka dalam masyarakat. Negara – negara didominasi oleh kelas kapitalis dan akan menghilang saat proses pengulangan organisasi. Teorinya, hukum dan negara akan menghilang bila masyarakat telah memiliki dasar yang baru, dan karena hukum internasional klasik berdasarkan pada negara, maka hukum internasional juga akan menghilang.
Bagaimanapun, sistem internasional negara – negara tidak akan bisa dirubah dalam semalam menjadi aturan sosialis, karena itu periode transisi sangat diperlukan.

Profesor Tunkin berkata bahwa revolusi oktober rusia menciptakan sebuah seri peraturan internasional baru. Seri ini bisa dibagi menjadi tiga bagian yang saling berhubungan :
a)      prinsip internasional sosialis antara negara – negara sosialis,
b)      prinsip kesetaraan dan kemerdekaan karena diri sendiri atas negara dan masyarakat, terutama ditujukan untuk melawan kolonialisme,
c)      prinsip damai yang ditujukan pada hubungan antar negara yang berada dalam sistem sosial berbeda.
Prinsip sosialis atau internasional proletar membentuk satu sistem prinsip hukum internasional antara negara – negara sosialis muncul sama seperti kebiasaan dan traktat. Meski prinsip dasar penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, tidak mengganggu hubungan internal, serta kesetaraan negara dan individu ada di hukum internasional, prinsip yang sama di hukum internasional sosialis dibuat lebih positif karena saingan di bidang ekonomi lebih sedikit dan bertambahnya kooperasi. Prinsip – prinsip ini tidak hanya membentuk peraturan materil tentang tidak boleh mengganggu hak negara lain, tapi juga kewajiban untuk membantu negara lain saat menikmati atau mempertahankan hak – hak tersebut dari ancaman kapitalis.
Uni Soviet berkembang di integritas teritorial dan kedaulatan sekaligus didesain untuk melindungi negara – negara sosialis lain dalam lingkungan yang kapitalis, menjadi negara yang menarik bagi negara – negara dunia ketiga yang sedang berkembang, juga berkeinginan untuk memiliki identitas nasional dan menghalangi pengaruh budaya dan finansial barat.
Bersamaan dengan penolakan terhadap perang dingin, dan strukturisasi kembali di Uni Soviet, sebuah proses evaluasi ulang di bidang teori hukum internasional dilakukan. Esensi pemikiran baru uni soviet dilandaskan pada prioritas nilai manusia universal dan resolusi masalah global, yang mana langsung dihubungkan pada pertumbuhan penting hukum internasional di komunitas dunia. Teori baru juga menegaskan bahwa hukum internasional seharusnya bersifat universal dan tidak dibagi – bagi menjadi sistem internasional kapitalis, sosialis, dan dunia ketiga.
Perpecahan Uni Soviet tahun 1991 menandai berakhirnya perang dingin. Rusia, sebagai kelanjutan dari uni soviet memasuki sistem politik barat. meski rezim soviet telah mengganti pendekatannya secara signifikan, sistem komunis dan negaranya mempengaruhi keadaan sistem internasional ini menimbulkan konsekuensi pada hukum internasional. Akhir konfrontasi negara – negara berkuasa telah membawa ketidakstabilan pada Eropa dan menambah revitalisasi serta batas dari PBB.
Konsep Cina akan hukum sangat berbeda dengan yang berkembang di barat. hukum tidak pernah memiliki tempat yang pasti di masyarakat Cina. Tetapi mereka tampak mengenali beberapa sistem hukum internasional. Perjanjian internasional diakui sebagai sumber hukum internasional, dan Cina telah mengikuti banyak perjanjian dan konvensi, lalu memberlakukannya seperti negara lain.
Secara keseluruhan, hukum internasional telah diperlakukan sebagai bagian dari politik internasional dan bersubjek pada kekuatan, seperti ideologi. Ketika peraturan internasional sejalan dengan kebijakan dan kepentingan Cina, maka Cina akan mengikutinya.
Meski begitu, Cina sudah tidak lagi mengisolir dirinya. Hubungan dengan negara lain sudah terbentuk, dan ia sudah resmi menjadi anggota PBB. Cina menjadi berperan aktif di hubungan internasional, dan telah mencapai banyak hal untuk mengimbangi pertumbuhan ekonominya yang sangat pesat. Cina sekarang terlibat penuh dengan politik dunia.

  • Dunia ketiga
Evolusi hubungan internasional yang terjadi setelah perang dunia meliputi integrasi kolonialisme dan lahirnya negara – negara merdeka yang dijuluki negara dunia ketiga. Hukum negara – negara pada abad ke 19 tidak mencerminkan apa yang dibutuhkan oleh negara – negara yang baru merdeka di pertengahan dan akhir abad 20. negara – negara baru kemudian mengangkat prinsip kedaulatan dan kesetaraan negara – negara, serta prinsip larangan agresi serta intervensi, selama pencarian rasa aman di dalam ikatan hukum yang diterima bersama.
Sementara internasionalisasi hukum internasional yang terjadi selama 50 tahun terakhir telah mengikis dasar Eropa-nya, internasionalisasi tersebut juga menekankan cakupan universal. Contohnya adalah komposisi mahkamah internasional dan majelis umum pbb. Ada juga perjanjian dari 10 anggota tidak tetap dewan keamanan, lima harus diduduki oleh negara afrika atau asia dan dua oleh Amerika Latin.
Pengaruh negara baru telah dirasakan oleh hampir semua anggota majelis umum, dimana negara – negara baru itu adalah mayoritas dari 192 anggota PBB. Isi dan cakupan resolusi serta deklarasi yang dibuat oleh majelis umum adalah bukti pengaruh mereka dan berisikan harapan, ketakutan, serta perhatian mereka.
Perhatian negara baru terhadap pengakuan kedaulatan negara dilengkapi dukungan mereka kepada PBB dan ditambah keinginan mereka akan penentuan nasib ekonomi negara sendiri atau hak kedaulatan permanen terhadap sumber daya alam adalah perkembangan utama di masa ini.
Keinginan yang dimiliki negara – negara dunia ketiga sering bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh negara – negara industri. Tapi harus ditekankan bahwa hukum internasional tidak dibuang begitu saja.
Ketika negara – negara baru berbagi latar belakang yang sama, tetap saja kesemua negara tersebut tidak homogen. Kebudayaan yang berbeda, sosial dan ekonomi yang berada dalam tingkatan yang tak sama menghasilkan afiliasi politik yang berbeda – beda.
Saat perang dingin berakhir dan Uni Soviet (sekarang Rusia) mengalami perkembangan yang sangat cepat, sumbu sengketa bukan lagi timur-barat, tapi jadi utara-selatan. Hal ini terbukti dalam berbagai masalah mulai dari ekonomi sampai hak asasi manusia. Bersamaan dengan faktor- faktor tersebut perkembangan globalisasi menambah tekanan pada hubungan antara universalisme dan partikularisme. Globalisasi yang merupakan bentuk ketergantungan antar individu, kelompok atau perusahaan, baik publik maupun privat, melintasi batas negara, bisa terlihat sebagai universalisme masyarakat barat. di samping itu, partikularisme kadang – kadang digunakan untuk membenarkan penindasan hak asasi manusia dari pengawasan dan kritik internasional.

TEORI HAKIKAT DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM INTERNASIONAL


Berdasarkan 6 teori yang terkait dengan hakikat dan dasar berlakunya hukum internasional yaitu,
-          Teori hukum alam
-          Teori positivism
-          Teori kehendak agama
-          Teori objektivitas
-          Mazhab Wiena
-          Fait social
Dari atas mana menurut anda yang masih relevan terhadap berlakunya hukum internasional saat ini berdasarkan dinamika politik global saat ini.
Menurut saya, dari ke-enam teori tersebut yang relevan terhadap berlakunya hukum internasional saat ini berdasarkan dinamika politik global saat ini adalah teori alam, fait social, dan  juga teori objektivisme.
Teori hukum alam ini mendasarkan kekuatan mengikatnya pada dasar moral dan etika yang berharga. Dengan kembali kepada konsep alam yaitu Negara terikat dan tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum internasional tersebut merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam itu sendiri. Dengan teori ini, hukum alam adalah hukum yang dapat diterima oleh semua masyarakat manapun dan norma alam telah ada dalam semua jiwa masing-masing masyarakat internasional yang dalam hal ini dapat berupa individu maupun Negara-negara nasional saat ini.
Meskipun teori hukum alam ini menurut Emmerich Vattel adalah samar dan bergantung kepada pendapat subjektif dari yang bersangkutan mengenai keadilan, kepentingan masyarakat internsonal dan lain-lain konsep yang serupa. Namun tentunya konsep alam ini dapat diterima oleh semua pihak sehingga menjadikan dasar dan hakikat berlakunya hukum internasional yang kekuatannya mengikat kepada seluruh masyarakat internasional.
Teori yang kedua yaitu teori fait social yang menurut factor biologis, social dan sejarah, persoalan mengenai mengikatnya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai mahluk social dimana hasratnya untuk bergabung dengan manusia lain dan kebutuhannya akan solidaritas menjadi dasar berlakunya hukum internasional. Manusia tidak bisa hidup seorang diri, dengan factor-faktor yang mempengaruhi manusia untuk hidup berkelompok atau dengan perkataan lain berkumpul, maka hal inilah yang menjadi hakikat dan dasar berlakkunya hukum internasional dalam kehidupan masyarakat internasional. Teori ini beranggapan bahwa kebutuhan dan naluri social manusia sebagai orang-seorang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi, dasar kekuatan mengikat hukum internasional ini terdapat dalam kenyataan social bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.
Teori yang ketiga yang menurut saya masih relevan adalah teori mazhab Wiena yaitu teori yang berlawanan dengan teori kehendak. Dimana teori kehendak adalah mengembalikan kekuatan mengikatnya hukum internasional itu pada kehendak (persetujuan) Negara untuk diikat oleh hukum internasional ialah bahwa teori-teori ini pada dasarnya memandang hukum sebagai hukum perjanjian antara Negara-negara. Memang selintas teori kehendak ini mewakili dari keadaan hukum internasional saat ini yaitu hukum internasional sebagai hukum perjanjian antara Negara-negara, namun logikanya bagaimana kalau Negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk mau terikat oleh hukum internasional? Sehingga membuat hukum internasional tersebut tidak lagi bersifat mengikat. Lagipula menurut prof Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Internasional, teori ini tidak menjawab pertanyaan megapa suatu Negara baru, sejak munculnya dalam masyarakat internasional sudah terikat oleh hukum internasional lepas dari mau tidak maunya ia tunduk padanya. Juga adanya hukum kebiasaan tidak terjawab oleh teori-teori ini. Maka dengan teori mazhab Wiena yang bukan kehendak Negara lagi melainkan suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhirnya kekuatan mengikat hukum internasional. Teori ini hampir sama dengan teori hukum alam yaitu kekuatan mengikat yang didasarkan suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pula pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan yang pada akhirnya sampailah pada puncak piramida kaidah dasar yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima adanya sebagai suatu hipotesis asal yang tidak dapat diterangkan secara hukum.
Kemudian teori objectivisme, teori ini hampir sama dengan teori kehendak, namun perbedaannya adalah dalam persetujuan Negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu dan teori ini berlaku lepas dari kehendak Negara, dengan kata lain, tidak adanya kehendak Negara dalam tunduk pada hukum internasional, namun lebih kepada kehendak mengikuti hukum atau norma yang telah ada terlebih dahulu.
Dari keempat teori-teori tersebut berdasarkan dinamika politik global saat ini hubungannya adalah politk global saat ini didasarkan pada hukum alam dan mazhab Wiena dimana teori tersebut mendasarkan pada norma dan kaidah dasar. Namun hal tersebut juga harus adanya kehendak untuk mengikuti norma dasar yang telah ada tersebut yang tentunya terlepas dari kehendak Negara. Ini pula yang mendasari teori fait social yang menjadi dasar mengikat hukum internasional dikembalikan pada sifat alami manusia. Yaitu kebutuhan dan naluri social manusia sebagai orang-seorang dalam berkelompok yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa.

HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN HUKUM NASIONAL

Tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua teori yang utama. Yakni teori monoisme dan dualisme. Teori monoisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu sistem hukum. Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu secara perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat individu secara kolektif sedangkan hukum nasional mengikat individu secara perorangan. Teori dualisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya. (Sugeng Istanto, 1994 : 8)
Selain teori monoisme dan dualisme diatas terdapat juga teori koordinasi yang bisa dikatakan sebagai  kelompok moderat. Teori ini beranggapan apabila hukum internasional memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum tersebut memiliki keutamaan di wilayah kerjanya masing – masing. Kelompok ini beranggapan hukum internasional dengan hukum nasional tidak bisa dikatakan terdapat masalah pengutamaan. Masing – masing berlaku dalam eranya sendiri. Oleh karena itu tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara hukum internasional atau hukum nasional. Anzilotti berpahaman bahwa hukum nasional ditujukan untuk ditaati sedangkan hukum internasional dibentuk dengan dasar persetujuan yang dibuat antar Negara ditujukan untuk dihormati. Pemahaman anzilotti ini pada saat ini sangat diragukan. Karena jika hukum internasional hanya didasarkan pada persetujuan, sebagaimana tercermin dalam prinsip pacta sunt servanda, maka persoalan – persoalan yang bersama dan mendesak seperti perlindungan terhadap lingkungan dan HAM akan menemui jalan buntu. Dengan demikiann, perbedaan antara hukum nasional dan hukum internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok dualisme tersebut diatas untuk kurun waktu sekarang ini sudah tidak relevan lagi. Hal ini disebatkan karena sudah terjadi perubahan dan perkembangan yang sangat mendasar atas struktur masyarakat internasional maupun hukum internasional itu sendiri.  (Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar 2006 : 82) 
Berbicara mengenai hal hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat dua aspek yang perlu dibahas, yaitu yang pertama adalah aspek teoritis dan aspek praktis. Pada aspek teoritis negara dapat menganut salah satu dari dua paham baik teori dualisme atau monisme. pada hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional. Paham dualisme adalah perpanjangan tangan dari positivisme klasik yang malandaskan kaedah hukum internasional atas dasar kehendak mutlak negara sebagai personalitas internasional. Dualisme memandang bahwa sistem hukum internasional sama sekali terpisah dari sistem hukum nasional, keduanya mempunyai posisi yang berbeda. Ada dua perbedaan fundamental dari kedua sistem hukum tersebut, yaitu; Subyek hukum, subyek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek hukum internasional adalah negara-negara. Sumber hukum, sumber hukum nasional adalah kehendak negara tersebut secara mutlak yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara dan harus ditaati, sedangkan sumber hukum internasional adalah kehendak bersama dari negara-negara yang mempunyai kekuatan menaati atau menolak yang sama, dan dilandaskan atas norma Pacta Sunt Servanda.
Lembaga peradilan negara tidak dapat menjadikan hukum internasional sebagai sumber materil di pengadilan nasional, kecuali kaedah internasional tersebut telah melewati proses transformasi, dan begitu juga sebaliknya. Walaupun terdapat perbedaan fundamental antara kedua kaedah hukum, bukan berarti tidak ada sinkronisasi dalam tatanan praktis. Contoh, aturan internasional tentang Warga Negara Asing yang terdapat pada perjanjian internasional memerlukan instrumen nasional pada pelaksanaanya melalui aturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara.
Paham kedua, paham monisme. Penganut monisme menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaedah-kaedah hukum mengikat, baik mengikat negara-negara, individu-individu atau kesatuan lain yang juga merupakan personalitas internasional. sebagai penganut monisme berpendapat bahwa kaedah hukum baik itu internasional maupun nasional lahir melalui hipotesa-hipotesa yang saling berkaitan antara satu dan lainnya, dan merupakan satu kesatuan walaupun hipotesa tersebut masih dalam tatanan abstrak. Dari hipotesa tersebut akan muncul sebuah struktur hukum yang bersifat universal, yang mengikat segenap individu baik itu sebagai hukum internasional maupun sebagai hukum nasional.
Paham kesatuan kaedah antara hukum internasional dengan hukum nasional yang dianut paham monisme menuntut adanya pembagian tingkat preferensi antara kedua sistem hukum tersebut. Kelsen berpendapat bahwa masalah primat hukum harus terlebih dulu melewati proses analisis struktural, suatu analisa yang dilakukan terhadap prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah yang pada akhirnya mencapai pada satu norma fundamental tertinggi yang bisa saja terdapat pada hukum internasional atau pada hukum nasional. Sistem hukum yang mengandung norma tertinggi itulah yang patut mendapat preferensi. Tetapi pada tatanan praktisnya pendapat Kelsen ini dirasa terlalu abstrak dan tidak efisien. Primat hukum internasional di atas hukum nasional: tingkat preferensi diberikan kepada kaedah hukum internasional karena hukum internasional yang mengatur kewenangan negara-negara, dan ketika Negara mengatur permasalahan internal saat itu hukum internasional sedang memberikan mandat kepada negara untuk mengaturnya. Negara sebagai personalitas internasional mengalami perubahan sistem hukum ketika terjadi perubahan konstitusi atau revolusi, sedangkan hukum internasional tidak akan berubah sistem hukumnya walaupun terjadi perubahan konstitusi dalam negeri. Hukum internasional mengikat negara-negara baru dengan atau tanpa persetujuan dari negara bersangkutan, maka primat hukum dalam hal ini harus diberikan kepada hukum internasional.
Sebagian berpendapat bahwa tidak secara keseluruhan preferensi diberikan kepada hukum internasional, karena dilihat dari sejarahnya hukum internasional merupakan cabang ilmu baru setelah adanya hukum nasional. Penganut primat hukum internasional mencoba menjawab bahwa mata rantai yang menghubungkan hukum internasional dengan hukum nasional bukan mata rantai sejarah, namun mata rantai teknis dan secara teknis hukum internasional mempunyai kewenangan lebih tinggi dari pada hukum nasional. Primat hukum nasional di atas hukum internasional: primat ini didukung oleh penganut paham monisme, menurutnya hukum internasional tidak lain adalah hanya perpanjangan tangan dari hukum nasional, karena hukum internasional terbentuk atas dasar kehendak negara, secara tidak langsung hukum internasional tunduk kepada yang membentuknya, Negara. Hukum tertinggi Negara adalah konstitusi maka, konstitusi mempunyai preferensi lebih dari pada hukum internasional. Kritik yang ditujukan pada pandangan ini adalah, mengesampingkan kaedah-kaedah hukum internasional yang tidak berasal perjanjian internasional melainkan dari tatakrama internasional, yang membentuk opini publik internasional untuk taat terhadap kaedah tertentu sebelum negara tersebut melahirkan kehendaknya. Bahkan, cukup berlebihan jika hukum internasional harus menyesuaikan dengan kaedah hukum nasional. Dalam beberapa kasus, pengadilan internasional telah memutuskan preferensi hukum internasional atas hukum nasional. Mayoritas negara-negara dunia baik secara eksplisit maupun implisit menganut paham monisme dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional, ada keterkaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional dan kaedah hukum nasional seyogyanya selaras dengan kaedah hukum internasional.

Perbedaan antara hukum internasional dengan hukum nasional
Disamping memiliki hubungan satu sama lain hukum internasional dan hukum nasional juga memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan – perbedaan  yang krusial antara hukum nasional dengan hukum internasional, pertama adalah objek pengaturan dari kedua sistem hukum itu sendiri terdapat perbedaan. Hukum internasional memiliki negra sebagai objek utama dari pengaturan. Sedangkan hukum nasional lebih menekankan pada pengaturan hubungan antar individu dengan individu dan Negara dalam wilayah jurisdiksi dari masing – masing Negara. Akan tetapi, pengertian ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya tumpang tindih mengingat pada perkembangan selanjutnya hukum internasional, sesuai dengan hakikatnya, ‘supreme’ dibanding hukum HAM internasional. Dalam hukum HAM internasional, Negara dibawah pengawasan organ – organ traktat missal the human rights committee, sebagai organ dengan fungsi quasy-judicial dari konvensi internasional tentang Hak-hak sipil dan politik, internasional Conenant Law Civil and Political Right ( ICCPR)
Cara pandang kedua adalah dengan membedakan model atau bentuk hukum yang sama sekli berbeda. Apabila digunakan pengertian mengenai hukum dari sudut pandang hukum nasional untuk menjelaskan hukum internasional, dapat berakhir pada peniadaan eksistensi hukum internasional. Hukum internasional tidak memiliki badan-badan seperti legislative, eksekutif dan yudikatif sebagaimna halnya dalam hukum nasional. Meskipun terdapat majelis umum PBB yang sering berlaku sebagai badan legislative tidak dapat dianalogikan sebagai parlement ataupun ICJ, dianalogikan sebagai lembagayudikaif,. ICJ hanya menangani kasus yang dserahkan oleh Negara melalui kesepakatan, yang tertuang dalam compromis, pernyataan para pihak bersengketa untuk mengakui kopetensi dari ICJ. Oleh karena itu jelaslah bahwa kedua hukum tersebut memiliki perbedan yang substansial. Dan terakhir, perbedaan yang sangat menonjol dapat dibuktikan melalui prinsif-prinsif hukum internasional yang sangat mendasarkan pada prinsif persamaan subjek Negara sebagai dasar terbentuknya hukum .( Jawahir dan Pranoto, 2006,78). Seperti yang dapayt dilihat dalam proses pembentukan huku kebiasaan atau traktat, yang menuntut supaya terdapatnya persetujuan dari Negara-negara atas dasar persamaan. Hal mana prinsif ini tidak begitu menonjol dalam hukum nasional yang serba tersentralisir.
Oleh karena itu, Lauterpacht menegaskan hukum nasional yaitu suatu hukum yang berdaulat atas subjek individu, sedangkan hukum  bangsa-bangsa merupakan suatu hukum yang berada di bawah, melainkan hukum yang berdaulat antara Negara-negara, dan oleh karena itu hukum ini lebih lemah ( International Law is a law of sovereign over individual subjected to his sway, the law of nation is a law not above, but between, sovereign, and is therefore a weaker law) . ( Jawahir dan Pranoto, 2006, 79)

Pengutamaan Hukum Internasional Atau Hukum Nasional
Kelsen, dengan menggunakan doktrin hierarkinya menyatakan bahwa hukum internasional harus diutamakan bila postulat fundamental yang bertentangan itu termasuk hukum internasional. Sebaliknya apabila postulat fundamental hal yang bertentangan itu termasuk hukum nasional maka hukum nasionalah yang harus diutamakan. Teori hierarkinya kelsen menyatakan bahwa ketentuan hukum berlaku dan mengikat berdasarkan ketentuan hukum atau prinsif hukum lain yang lebih tinggi yang akhirnya berdasarkan postulat fundamental. Postulat fundamental ini dapat merupakan bagian dari hukum internasional atau dapat pula merupakan bagian dari hukum nasional.
Starke, yang juga menganut monoisme, tidak menyetujuai pengutamaan hukum nasional terhadap hukum internasional berdasrakan pada dua alasan yaitu : pemberian pengutamaan kepada hukum nasional (negara) yang jumlahnya lebih dari 150 di dunia akan menimbulkan anarkhi. Disamping itu, pengutamaan hukum nasional terhadap hukum internasional akan mengakibatkan ketergantungan berlakunya hukum internasional pada hukum nasional. Dengan kata lain, bila hukum nasional berubah hukum internasional akan menjadi berubah pula. Pendapat itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hukum internasional berlaku tanpa tergantung pada hukum nasioanal. Konferensi London tahun 1831 menetapkan bahwa perjanjian internasional tetap berlaku bagi negara pihak meskipun terjadi perubahan intern di negara tersebut. Strake berpendapat bahwa dalam hal terdapat pertentangan hukum internasional dan hukum nasional, hukum internasional mendapat pengutamaan. Starke membandingkan  hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional itu seperti halnya hubungan antara hukum negara federal dengan negara bagiaannya. Dalam negara federal, negara bagian bebas menetapkan hukumnya sendiri tetapi dibatasi oleh konstitusi federal. Demikian juga halnya dalam masyarakat internasional, negara berdaulat menetapkan hukum negaranya, tetapi kedaulatannya dibatasi oleh hukum internasional. Starke mengatakan bahwa tidak semua ketentuan hukum internasional harus diutamakan terhadap hukum nasional. Hanya hukum konstitusi internasional yang mendapat pengutamaan terhadap hukum nasional.
Sehubungan dengan hubungan pengutamaan antara hukum internasional dan hukum nasional, dewasa ini dikenal juga konsep “concept of opposability”. Konsep ini menyatakan bahwa ketentuan hukum nasional, yang sesuai dengan hukum internasional, secara sah dapat digunakan untuk menolak ketentuan hukum internasional, yang digunakan negara lain sebagai dasar tuntutan diperadilan internasional. Dengan demikian, hukum nasional suatu negara dapat juga diutamakan berlakunya terhadap hukum internasional.
Penerapan hukum internasional ditingkat nasional
            Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu Negara terkait dengan doktrin ‘inkorporasi’ dan doktrin ‘transformasi’. Doktrin inkorporasi menyatakan bahwa hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional. Dalam hal suatu Negara menandatangani dan meratifikasi traktat, maka perjanjian tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap para warga Negara tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu. Contoh seperti amerika serikat, inggris, kanada, Australia dan Negara – Negara lainnya.
            Sedangkan doktrin terakhir menyatakan sebaliknya  tidak terdapat hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya ‘transformasi’ yang berupa pernyataan terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan. Dalam yang berupaya pernyataan terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan. Dalam kata lain, traktat dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional di pengadilan sebelum dilakukannya ‘transformasi’ ke dalam hukum nasional.
            Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa hukum internasional merupkan bagian yang secara otomatis menyatu dengan hukum nasional. Dan doktrin ini lebih mendekati pada teori monoisme yang tidak memisahkan antara kedua system hukum nasional dan system hukum internasional. Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari Negara yang bersangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan oleh teori dualisme, mendapatkan contohnya di Negara – Negara asia tenggara, termasuk juga di Indonesia.

Indonesia
            Di Indonesia pemerintah secara terang – terangan mengakui akan pentingnya hukum internasional. Sehingga tidak perlu kiranya untuk membahas mengenai alasan mengapa hukum internasional dapat mengikat Negara – Negara baru, yang pada umumnya merupakan akibat dari proses dekolonisasi.

1.      Hukum Kebiasaan Internasional
Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum menampakkan adanya sikap yang tegas. Namun, untuk beberapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan internasional sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Misalnya, hukum kebiasaan yang berlaku di laut, seperti tentang hak lintas damai bagi kapal – kapal asing di laut teritorial Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal – kapal asing, terutama sekali setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan.
      Selain itu Indonesia juga pernah mengsampingkan kaedah hukum kebiasaan internasional, dalam penerapan lebar laut territorial. Menurut hukum kebiasaan internasional lama, lebar laut territorial Negara – Negara adalah sejauh 3 (tiga) mil, diukur dari garis pangkal normal. Hukum kebiasaan internasional ini juga diterima sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia yaitu dalam Undang – Undang peninggalan jaman belanda yang terkenal dengan sebutan teritoriale zee en maritieme kringen ordonantie (stb. 1939 Nomor 442). Ini masih berlaku alam kemerdekaan Indonesia melalui pasal 2 aturan peralihan undang-undang dasar 1945. Dalam stb tersebut diterapkan lebar laut territorial hindia belanda sejauh 3mil laut diukur dari garis pangkal normal. Sampai disini dapat dikemukakan bahwa terdapat kesesuaian antara kaedah hukum kebiasaan internasionl mengenal lebar laut territorial dengan hukum atau undang-undang Indonesia mengenai hal yang sama.
      Akan tetapi, pada tanggal 13 desember 1957 indonesia secara sepihak mengklaim lebar leut territorial 12 mil laut berdasarkan penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Konsekuensinya, Stb Tahun 1939 nomor 442 tersebut sepanjang menyangkut lebar laut territorial dan system penarikan garis pangkal normal dinyatakan tidak berlaku. Tindakan ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih mengutamakan undang – undang atau hukum nasionalnya walaupun undang – undang nasionalnya itu lahir belakangan dibandingkan dengan hukum kebiasaan internasional tersebut.
2.      Hukum Perjanjian Internasional
Beda halnya dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional. Dalam prakteknya, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dipengaruhi oleh beberapa sebab. Pertama, perubahan sistem pemerintahan yang pernah berlaku dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia praktek Indonesia belumlah begitu jelas. Karena pada masa itu (antara tahun 1945-1950) Indonesia masih dalam taraf mempertahankan diri dan eksistensinya, terhadap ancaman dan serangan dari pihak luar maupuhn serangan dari dalam negeri. Dalam kondisi demikian, Indonesia tidak mudah untuk menata kehidupan ketatanegaraan dan konstitusinya secara baik dan normal.
Kedua, perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat  ( 27 desember1949- 17 agustus 1950 dan pada masa berllakunya UUDS RI tahun 1950- 1959 praktek Indonesia menunjukan kecenderungan yang ketat terhadap masuknya perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia. Adapun pada masa berlakunya kembali UUD 1945, sebagai landasan yuridis bagi berlakunya suatu perjanjian internasional didalam hukum nasional Indonesia. Pada pasal 11 UUD 1945 setelah amandemen, yang berbunyi sebagai berikut, ‘ presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat  menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian denga Negara lain’. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam hubungan luar negeri, tampaknya jauh lebih terjamin dalam ketentuan pasal 11,12, UUD 1945 sbelum di amandemen.
Dalam hubungan ini yang paling penting untuk diketahui adalah yang berkenaan dengan pembuatan perjanjian dengan Negara lain. Pembuatan perjanjian tersebut menyangkut Indonesia dan Negara lain yang nantinya perjanjian itu akan mengikat bagi kedua pihak dan akan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Akan tetapi, hanya dengan membaca pasal 11 itu saja, masalah yang menjadi pokok bahasan ini belumlah begitu jelas. Bahkan, pasal 11 itu sendiri masih menimblkan berbagai masalah yang membutuhkan jawaban yang tegas.
Pasal 11 UUD 1945 perubahan keempat menyatakan
(i)  presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(ii)Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(iii)             Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur oleh undang-undang.

 

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL


Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata. Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)
Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum internasional, antara lain yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang dan Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya ”. Sedang menurut Akehurst : “hukum internasional adalah sistem hukum yang di bentuk dari hubungan antara negara-negara”
Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu, termasuk Grotius atau Akehurst, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya.
Salah satu definisi yang lebih lengkap yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai hukum internasional adalah definisi yang dibuat oleh Charles Cheny Hyde :
“ hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup :
  1. organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara ; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ;
  2. peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional” (Phartiana, 2003; 4)

Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain’’. (Kusumaatmadja, 1999; 2)
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya
Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional, sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana sebelumnya. Untuk mengkaji lebih jauh mengenai subjek-subjek hukum internasional selain Negara tersebut, maka berikut ini adalah materi tentang subjek hukum internasional yang penulis rangkum dari beberapa sumber:

Definisi Subyek Hukum Internasional
Banyak berbagai ahli memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan subjek hukum internasional. Secara umum Subyek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, jadi pengertian subyek hukum internasional adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional dewasa ini ternyata tidak terbatas pada Negara tetapi juga meliputi  subyek hukum internasional lainnya. Hal ini dikarenakan dewasa ini sering dengan tingkat kemajuan di bidang teknologi, telekomunikasi dan ransportasi dimana kebutuhan manusia semakin meningkat cepat sehingga menimbulkan interaksi yang semakin kompleks.
Munculnya organisasi-organisasi Internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral dengan berbagai kepentingan dan latar belakang yang mendasari pada akhirnya mampu untuk dianggap sebagai subyek hukum internasional. Begitu juga dengan keberadaan individu atau kelompok individu (belligerent) yang pada akhirnya dapat pula diakui sebagai subyek hukum Internasional.
Dapat disimpulkan bahwa Subjek Hukum Internasional adalah semua pihak atau entitas yang dapat dibebani oleh hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional. Hak dan kewajiban tersebut berasal dari semua ketentuan baik yang bersifat formal ataupun non-formal dari perjanjian internasional ataupun dari kebiasaan internasional (Istanto, Ibid: 16; Mauna, 2001:12).
Subyek Hukum Internasional dapat diartikan sebagai negara atau kesatuan-kesatuan bukan negara yang dalam keadaan tertentu memiliki kemampuan untuk  menjadi pendukung hak dan kewajiban berdasarkan Hukum Internasional.  Kemampuan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban ( Legal capacity) ini antara lain meliputi :
  1. Kemampuan untuk mengajukan klaim-klaim (How to make claims).
  2. Kemampuan untuk mengadakan dan membuat perjanjian-perjanjian (How to make agreements)
  3. Kemampuan untuk  mempertahankan hak miliknya serta memiliki kekebalan-kekebalam (To enjoy of privileges and immunities)
Kemampuan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban bagi subyek hukum Internasional dapat ditinjau dari dua aspek yaitu:
  1. Dasar Hukum Berdirinya
  2. Advisory opinion atau berdasarkan Keputusan atau Pendapat  “International Court of justice
Dengan meninjau dua aspek di atas maka legal capacity dari subyek hukum Internasional dalam bentuknya yang modern dimana subyek hukum internasional tidak hanya terbatas pada negara sebagai satu-satunya subyek hukum internasional (pandangan klasik), maka kiranya perlu dikemukakan beberapa subyek hukum internasional yang merupakan kesatuan-kesatuan bukan negara khususnya mengenai legal capacitynya.













Macam Subjek Hukum Internasional
Berdasarkan definisi subjek hukum internasional yang telah diuraikan di atas maka dapat kita ketahui bahwa yang menjadi subyek hukum Internasional meliputi:
  1. Negara yang Berdaulat
  2. Gabungan Negara-Negara
  3. Tahta Suci Vatikan
  4. Organisasi Internasional (OI) baik yang Bilateral, Regional maupun Multilateral
  5. Palang Merah Internasional
  6. Individu yang mempunyai criteria tertentu
  7. Pemberontak (Belligerent) atau Pihak Yang bersengketa
  8. Penjahat Perang atau Genocide
Negara yang Berdaulat
Negara merupakan subjek hukum terpenting dibanding dengan subjek hukum internasional lainnya. Banyak sarjana yang memberikan definisi terhadap negara, antara lain  C. Humprey Wadlock yang memberi pengertian negara sebagai suatu lembaga (institution), atau suatu wadah di mana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
Sedangkan Fenwich mendefinisikan negara sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisasikan secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu, dan hidup dalam batas-batas daerah tersebut, bebas dari negara lain, sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di muka bumi.
I Wayan Parthiana menjelaskan negara adalah subjek hukum internasional yang memiliki kemampuan penuh (full capacity) untuk mengadakan atau duduk sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional.
Menurut Henry C. Black, negara adalah sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum (binding by law), yang melalui pemerintahannya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai, serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya.
Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan para ahli, ada satu patokan standar atau unsur trandisional dari suatu entitas untuk disebut sebagai negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo  (Pan American) The Convention on Rights and Duties of State of 1933.
    • The state is a person of international law should phases the following qualifications :
    • Permanent population;
    • defined territory;
    • legal government; and
    • capacity to enter into international relations with the other states.
Hal itu dapat diterjemahkan negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syarat-syarat atau unsure-unsur konstitutif sebagai berikut:

a. Penduduk yang tetap,
Penduduk merupakan kumpulan individu-individu yang terdiri dari dua kelamin tanpa memandang suku, bahasa, agama dan kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat dan yang terikat dalam suatu Negara melalui hubungan yuridik dan politik yang diwujudkan dalam bentuk kewarganegaraan. Penduduk merupakan unsure pokok bagi pembentukan suatu Negara. Suatu pulau atau suatu wilayah tanpa penduduk tidak mungkin menjadi suatu Negara. Dalam unsure kependudukan ini harus ada unsur kediaman secara tetap. Penduduk yang tidak mendiami suatu wilayah secara tetap dan selalu berkelana (normal) tidak dapat dinamakan penduduk sebagai unsure konstitutif pembentukan negara.
Sebagaimana telah disinggung di atas, yang mengikat seseorang dengan negaranya ialah kewarganegaraan yang ditetapkan oleh masing-masing hukum nasional. Pada umumnya ada tiga cara penetapan kewarganegaraan sesuai hokum nasional  yaitu :


  • Jus Sanguinis
Ini adalah cara penetapan kewarganegaraan melalui keturunan. Menurut cara ini, kewarganegaraan anak ditentukan oleh kewarganegaraan orang tua mereka.
  • Jus Soli
Menurut sistem ini kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya dan bukan kewarganegaraan orang tuanya.
  • Naturalisasi
Suatu Negara memberikan kemungkinan bagi warga Negara asing untu memperoleh kewarganegaraan setempat setelah memenuhi syarat-syarat tertentu seperti setelah mendiami Negara tersebut dalam waktu yang cukup lama ataupun melalui perkawinan.

b. Wilayah yang tertentu,
Adanya suatu wilayah tertentu mutlak bagi pembentukan suatu Negara , tidak mungkin ada suatu Negara tanpa wilayah tempat bermukimnya penduduk Negara tersebut.  Hukum Internasional tidak menentukan syarat seberapa harusnya luas suatu wilayah untuk dapat dianggap sebagai unsure konstitutuf suatu Negara. Demikian juga wilayah suatu Negara tidak selalu harus merupakan satu kesatuan dan dapat terdiri dari bagian-bagian yang berada di kawasan yang berbeda. Keadaan ini sering terjadi pada Negara-negara yang mempunyai wilayah-wilayah seberang lautan

c. Pemerintahan,
Negara memerlukan sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Bagi hukum internasional, suatu wilayah yang tidak memiliki pemerintahan dianggap bukan negara dalam arti kata yang sebenarnya. Pemerintah adalah badan eksekutif dalam negara yang dibentuk melalui prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Pemerintahan adalah syarat utama dan terpenting untuk eksistensi suatu negara. Tatanan organisasi dalam suatu negara diperlukan, yang nantinya akan mengatur dan menjaga eksistensi negara tersebut, maka pemerintahan mutlak harus ada dalam suatu negara. Pemerintahan yang harus ada dalam suatu negara adalah pemerintahan yang stabil, memerintah menurut hukum nasional negaranya, dan pemerintah tersebut haruslah terorganisir dengan baik (well organized government)

d. Kemampuan untuk melakukan hubungan-hubungan dengan negara lain.
Menurut hukum internasional dan hubungan internasional, kecakapan negara dalam melakukan hubungan internasional adalah suatu keharusan bagi suatu negara untuk memperoleh keanggotaan masyarakat internasional dan subjek hukum internasional. Hal inilah yang membedakan negara berdaulat dengan negara-negara bagian, atau negara protektorat yang hanya mampu mengurus masalah dalam negerinya, tetapi tidak dapat melakukan hubungan-hubungan internasional dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai subjek hukum internasional yang sepenuhnya mandiri. Negara bukan pula harus identik dengan suatu ras, rumpun, atau bangsa tertentu, meski identitas demikian mungkin juga ada. Hans Kelsen mengemukakan bahwa negara hanyalah pemikiran teknis yang menyatakan bahwa sekumpulan aturan-aturan hukum tertentu yang berdiam di wilayah teritorial tertentu. Negara sebagai subjek hukum internasional merupakan pengemban hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional, baik ditinjau secara faktual maupun secara historis, dan hukum internasional itu sendiri adalah sebagaian besar terdiri atas hubungan hukum antara negara dengan negara.
Sesuai konsep hukum Internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek utama yaitu :
1.      Aspek Ekstren Kedaulatan, adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau elompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain
2.      Aspek Intern Kedaulatan, ialah hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuatundang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
3.      Aspek Teritorial berart kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.

Upaya masyarakat internasional mempersoalkan hak-hak dan kewajiban negara telah dimulai sejak abad ke-17 dengan landasan teori kontrak sosial. Kemudian pada tahun 1916, American Istitute of International Law (AIIL) mengadakan seminar dan menghasilkan Declaration of the Rights and Duties of Nations, yang disusul dengan sebuah kajian yang berjudul Fundamental Rights and Duties of American Republics, dan sampai diselesaikannya Konvensi Montevideo tahun 1933. Hasil Konvensi Montevideo 1933 kemudian menjadi rancangan deklarasi tentang Hak dan Kewajiban Negara-negara yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Committee) Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1949. Namun komisi tersebut tidak pernah menghasilkan urutan yang memuaskan negara-negara.
Pada intinya, pernyataan bahwa negara adalah subyek hukum internasional yang utama adalah:
§  Hukum Internasional megatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara, sehingga yang harus diurus oleh hukum internasional terutama adalah negara.
§   Perjanjian Internasional merupakan sumber hukum Internasional yang utama dimana negara yang paling berperan menciptakannya sehingga secara tidak langsung negara adalah subyek hukum internasional yang utama.

Deklarasi prinsip-prinsip mengenai hak-hak dan kewajiban negara yang terkandung dalam rancangan tersebut adalah sebagai berikut :
Hak-hak negara :
§  Hak atas kemerdekaan (Pasal 1);
§  Hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap wilayah, orang, dan benda yang berada dalam wilayahnya (Pasal 2);
§  Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan negara lain (Pasal 5);
§  Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal 12).

Kewajiban-kewajiban negara :                 
§   Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di negara lain (Pasal 3);
§  Kewajiban untuk tidak menggerakan pergolakan sipil di negara lain (Pasal 4);
§  Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang ada di  wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia (Pasal 6);
§  Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7);
§  Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8);
§  Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman  senjata (Pasal 9);
§  Kewajiban untuk membantu terlaksananya Pasal 9 di atas;
§  Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh  melalui cara-cara kekerasan (9 Pasal 12);
§  Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik (Pasal 13); dan
§  Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14).

Hak-hak dasar yang paling sering ditekankan adalah kemerdekaan dan persamaan kedudukan negara-negara, jurisdiksi teritorial, dan hak untuk membela diri atau menyelamatkan diri. Kewajiban dasar yang paling dipertahankan adalah kewajiban untuk tidak menggunakan perang sebagai alat melaksanaan kewajiban yang digariskan dalam perjanjian dan kewajiban untuk tidak campur tangan dalam urusan negara lain.

Gabungan Negara-Negara
Ada beberapa macam bentuk gabungan Negara-negara, antarai lain:
a. Negara Federal
Negara federal adalah gabungan sejumlah negara yang dinamakan negara-negara bagian yang datur oleh suatu undang-undang dasar yang membagi wewenang antara pemerintah federal dan negara-negara bagiannya. Perlu dicatat bahwa negara-negara bagian ini tidak selalu mempunyai nama yang sama. Di kanada, negara bagian bernama provinsi seperti juga halnya dengan afrika selatan dan argentina. Di swiss, namnya canton atau lander. Di Amerika Serikat, Brasil, mexico dan Australia namanya Negara bagian. Walaupun Negara-negara bagian mempunyai konstitusi dan pemerintahan masing-masing, Negara federal inilah yang merupakan subjek hokum internasional dan mempunyai wewenang untuk melakukan kegiatan luar negeri. Wewenang luar negeri yang dimiliki oleh Negara federal bukan ditentukan oleh hukum internasional tetapi oleh konstitusi Negara federal. Dalam setiap  rezim federal, undang-undang dasar biasanya memberikan kepada pemerintahan federal wewenang mengenai pelaksanaan hubungan luar negeri, pertahanan nasional, pengaturan perdagangan dengan Negara-negara lan, antara lain berbagai Negara bagian, percetakan uang dll.
b. Gabungan Negara-Negara Merdeka
Gabungan Negara-negara merdeka mempunyai dua macam bentuk yaitu uni riil dan uni personil.
o    Uni Riil. Yang dimaksud uni riil adalah penggabungan dua Negara atau lebih melalui suatu perjanjian internasional  dan berada di bawah kepala Negara yang sama dan melakukan kegiatan internasional sebagai satu kesatuan. Yang menjadi subjek hukum internasional adalah uni itu sendiri, sedangkan masing-masing Negara anggotanya hanya mempunyai kedaulatan intern saja. Sesuai perjanjian atau konstitusi yang menggabungkan kedua Negara , mereka tidak boleh berperang satu sama lain atau secara terpisah melakukan perang dengan Negara lain.  Perjanjian-perjanjian internasional dibuat oleh uni atas nama masing-masing Negara anggota karena Negara-negara tersebut tidak lagi mempunyai status personalitas internasional.
o    Uni Personil. Uni Personil terbentuk bila dua Negara berdaulat menggabungkan diri karena mempunyai raja yang sama. Dalam uni personil masing-masing Negara tetap merupakan raja yang sama. Dalam uni personil masing-masing Negara tetap merupakan subjek hukum internasional . Contoh-contoh dalam sejarah adalah uni antara Belanda dan Luxembrug dari tahun 1815 sampai 1890 antara Belgia dan Negara merdeka Kongo dari tahun 1855 sampai 1908.
c. Negara Konfederasi
Konfederasi merupakan gabungan dari sejumlah Negara melalui suatu  perjanjian internasional yang memberikan wewenang tertentu kepada kobfederasi. Dalam bentuk gabungan ini, Negara-negara anggota konfederasi masing-masingnya tetap merupakan Negara-negara yang berdaulat dan subjek hukum internasional. Bentuk Konfederasi hanya ada di abad XIX. Walaupun Swiss secara resmi menemakan dirinya Negara konfederasi tetapi semenjak tahun 1848 pada hakekatnya lebih banyak bersifat federal dimana wewenang luar negeri berada di tangan pemerintah federal.

Tahta Suci Vatikan                                         
Tahta Suci Vatikan merupakan suatu contoh dari pada suatu subyek hukum internasional yang telah ada di samping Negara-negara. Hal ini merupakan peninggalan  (atau kelanjutan) sejarah sejak zaman dahulu di samping negardi akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara. (Phartiana, 2003, 125)

Organisasi Internasional
Organisasi internasional atau organisasi antar pemerintah merupakan subjek hukum internasional setelah Negara. Negara-negaralah sebagai subjek asli hukum internasional yang mendirikan organisasi sebagi sebjek asli hukum internasional yang mendirikan organisasi-organisasi internasional. Walaupun organisasi-organisasi ini baru lahir pada akhir abad ke -19 akan tetapi perkembangannya sangat cepat setelah berakhirnya Perang Dunia II. Fenomena ini berkembang bukan saja pada tingkat niversal tetapi juga pada tingkat regional.
Dasar Hukum yang menyatakan bahwa Organisasai Internasional adalah subyek Hukum Internasional adalah pasal 104 Piagam PBB Isi pasal 104 : The Organization shall enjoy in the territory of each of its Members such legal capacity as may be necessary for the exercise of its functions and the fulfilment of its purposes. Terjemahan : Organisasi akan menikmati di wilayah masing-masing Anggota kapasitas hukum seperti yang diperlukan untuk menjalankan fungsi dan pemenuhan tujuannya.
a. Tujuan Organisasi Internasional
Organisasi internasional bertujuan untuk memperkembangkan politik  dan keamanan  nasional di satu pihak serta perkembangan ekonomi  dan kesejahteraan sosial di lain pihak. Pengembangan politik dan keamanan nasional dikaitkan dengan suatu keperluan akan suatu organisasi untuk pencegahan konflik bersenjata,  penghentiannya kalu sudah terjadi dan penyelesaian pertikaian secara damai. Kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial walaupun secara langsung tidak bersangkutan dengan masalah perdamaian, tetapi aktivitas-aktivitas bidang-bidang tersebut merupakan kontribusi yang berharga bagi usaha-usaha perdamaian.
b. Struktur dan Fungsi Organisasi Internasional
Hal yang harus diperhatikan dalam pendirian organisasi internasional ialah:
o    Pertama, Piagam Pendiriannya harus diadakan dan disetujui oleh negara-negara yang ingin mengejar tujuan yang dicantumkan d dalam organisasi formal tersebut.
o    Kedua, haruslah ada suatu lembaga tetap yang memungkinkan semua anggotanya berpartisipasi dalam hubungan hubungan bebas satu sama lain serta siap untuk mempersoalkan masalah suatu negara, besar atau kecil dan setiap waktu dapat membawa persoalan yang penting mengenai perdamaian dan keamanan serta kesejahteraan bersama.
o    Organisasi Internasional tidak mempunyai badan legislatif walaupun suatu pertemuan diplomatik mempunyai persamaan dengan itu.
o    Cara-cara yang biasa dipergunakan badan-badan internasional untuk menyelesaikan pertikaian secara damai, mengikuti prosedur yang berlainan dengan peradilan nasional. Semua anggota dari organisasi diharuskan menyelesaikan pertikaiannya secara damai. Tetapi badan-badan internasional hanya dapat memberikan rekomendasi dan tidak dapat memaksa negara-negara mengikuti penyelesaian damai.
c. Klasifikasi Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James H. Wolfe :
§  Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;
§  Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;
§  Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.
4.      LBB (Liga Bangsa-Bangsa)
Liga Bangsa-Bangsa (LON) adalah sebuah organisasi antar-pemerintah yang didirikan sebagai hasil dari Perjanjian Versailes di 1919-1920, dan para pendahulu kepada PBB. Pada tingkat terbesar dari 28 September 1934 untuk 23 Februari 1935, itu 58 anggota. Liga tujuan utama seperti yang tercantum dalam Kovenan termasuk mencegah perang melalui keamanan kolektif, perlucutan senjata dan penyelesaian sengketa internasional melalui  negosiasi dan arbitrase. Kovenan dari Liga Bangsa-Bangsa Tujuan-tujuan lain dalam hal ini dan perjanjian-perjanjian terkait termasuk kondisi perburuhan, perlakuan yang adil terhadap penduduk asli, perdagangan orang dan narkoba, perdagangan senjata, kesehatan global, tawanan perang, dan perlindungan terhadap kaum minoritas di Eropa. 2 Pasal 23, “Perjanjian dari Liga Bangsa-Bangsa, “Perjanjian Versailes” dan Perjanjian Hak Minoritas.
Filsafat diplomatik di belakang Liga mewakili suatu perubahan mendasar dalam pemikiran dari seratus tahun sebelumnya.. Liga tidak memiliki kekuatan bersenjata sendiri dan begitu tergantung pada Ke kuatan Besar  untuk menegakkan resolusi, terus sanksi ekonomi yang memerintahkan Liga, atau menyediakan tentara, bila diperlukan, untuk Liga digunakanNamun, mereka sering enggan untuk melakukannya.
Sanksi juga bisa menyakiti Liga anggota, sehingga mereka enggan untuk mematuhi mereka. Ketika, selama Italia-Ethiopia Kedua Perang, Liga terdakwa Benito Mussolini ‘s prajurit penargetan tenda medis Palang Merah, Mussolini Etiopia itu menjawab bahwa tidak sepenuhnya manusia, sehingga undang-undang hak asasi manusia tidak berlaku. Benito Mussolini stated that  Benito Mussolini menyatakan bahwa “Liga sangat baik ketika burung gereja berteriak, tetapi tidak ada gunanya sama sekali ketika elang jatuh keluar3  Jahanpour, Farhang. “The Elusiveness dari Trust: pengalaman Dewan Keamanan dan Iran” (PDF). .
ransnasional Yayasan Perdamaian dan Masa Depan Penelitian. Diperoleh 2008/06/27
Setelah sejumlah tokoh keberhasilan dan kegagalan dalam beberapa awal tahun 1920-an, Liga akhirnya terbukti tidak mampu mencegah agresi oleh kekuatan Axis di tahun 1930-anPada bulan Mei 1933, Liga tidak berdaya untuk meyakinkan Adolf Hitler bahwa Franz Bernheim, [4] seorang Yahudi, terlindung di bawah klausa-klausa minoritas yang didirikan oleh Liga pada tahun 1919 (bahwa semua minoritas sepenuhnya manusia dan memegang hak yang sama di antara semua laki-laki).
Jerman menarik diri dari Liga, akan segera diikuti oleh banyak negara totaliter dan militeristik. Permulaan Perang Dunia II menunjukkan bahwa Liga telah gagal tujuan utamanya, yaitu untuk menghindari perang dunia masa depan. The United Nations diganti itu setelah berakhirnya perang dan mewarisi sejumlah lembaga dan organisasi yang didirikan oleh Liga.

PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa)
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNO) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah sebuah organisasi internasional yang menyatakan bertujuan memfasilitasi kerjasama dalam hukum internasional, keamanan internasional, pembangunan ekonomi, kemajuan sosial, hak asasi manusia, dan tercapainya perdamaian dunia.. PBB didirikan pada tahun 1945 setelah Perang Dunia II untuk menggantikan Liga Bangsa-Bangsa, untuk menghentikan perang antara negara-negara, dan untuk menyediakan platform untuk dialog. Ini berisi beberapa organisasi anak perusahaan untuk melaksanakan misi.
Saat ini ada 192 negara anggota, termasuk hampir semua negara berdaulat di dunia. Dari kantornya di seluruh dunia, PBB dan badan-badan khusus memutuskan masalah substantif dan administratif dalam pertemuan rutin yang diselenggarakan sepanjang tahun. Organisasi administratif dibagi ke dalam tubuh, terutama: di Majelis Umum (utama perakitan deliberatif); di Dewan Keamanan (untuk memutuskan resolusi tertentu bagi perdamaian dan keamanan); di Dewan Ekonomi dan Sosial (untuk membantu dalam mempromosikan ekonomi internasional dan kerja sama sosial dan pembangunan); di Sekretariat (untuk menyediakan penelitian, informasi, dan fasilitas yang dibutuhkan oleh PBB); di International Court of Justice (yudisial utama organ).
Badan tambahan berurusan dengan pemerintahan lainnya Sistem PBB badan, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), the World Food Programme (WFP) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF). PBB tokoh masyarakat paling terlihat adalah Sekretaris-Jenderal, saat ini Ban Ki-moon dari Korea Selatan, yang mencapai pos pada tahun 2007 Organisasi ini dinilai dan dibiayai dari sumbangan sukarela dari negara-negara anggotanya, dan memiliki enam bahasa resmi: Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol. 4 b “FAQ: Apa bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa?”. UN Department for General Assembly and Content Management . Retrieved 2008-09-21 .

Palang Merah Internasional
Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003; 123)

Individu yang Mempunyai Kriteria Tertentu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.
Dasar hukum yang menyatakan individu sebagai subjek hukum internasional ialah
  1. Perjanjian Versailles 1919 pasdal 297 dan 304
  2. Perjanjian Uppersilesia 1922
  3. Keputusan Permanent Court of Justice 1928
  4. Perjanjian London 1945 (inggris, Perancis, Rusia, dan USA)
  5.  Konvensi Genocide 1948.

Kaum Pemberontak (Belligerensi)
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional
Dasar hukum yang menyatakan Pemberontak / Pihak yang bersengketa sebagai Subjek Hukum Internasional ialah :
  1. Hak Untuk Menentukan nasib sendiri
  2. Hak untuk memilih sistem ekonomi, sosial dan budaya sendiri.
  3. Hak untuk menguasai sumber daya alam.
                                                  

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

Pengertian Sumber Hukum Internasional
Adapun pengertian sumber hukum internasional menurut F.A Whisnu Situni,SH dibedakan menjadi 2 yaitu :
  • Sumber hukum material
  • Sumber hukum formal
Sumber hukum material adalah segala sesuatu yang menentukan isi dari hukum, Sementara itu sumber hukum formal dapat diartikan dalam 2 macam pengertian :
  1. sebagai tempat menemukan hukum, dan
  2. sebagai dasar mengikat.
Sumber Hukum Internasional
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
  1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
  2. Kebiasaan internasional (international custom);
  3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;
  4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan. (Phartiana, 2003; 197)
Perjanjian Internasional/Traktat
Traktat menurut Harmaily, dkk, adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara (bilateral) atau banyak negara (multilateral).
  • Traktat adalah perjanjian yang dibuat antara negara, 2 negara atau lebih
  • Merupakan perjanjian internasional yang dituangkan dalam bentuk tertentu
  • Perjanjian terjadi karena adanya kata sepakat dari kedua belah pihak (negara) yang mengakibatkan pihak-pihak tersebut terikat pada isi perjanjian yang dibuat.
  • Trakat ini juga mengikat warganegara-warganegara dari negara-negara yang bersangkutan
  • Dapat dijadikan hukum formal jika memenuhi syarat formal tertentu, misalnya dengan proses ratifikasi.
  • Asas Perjanjian “Pacta Sun Servanda” = perjanjian harus dihormati dan ditaati
Perjanjian internasional ada 2 yaitu :
  1. Tertulis→yang dituangkan dalam instrumen-instrumen berbentuk perjanjian tertulis dan pembentukannya melalui prosedur atau aturan tertentu hukum internasional (formal)
  2. Tidak tertulis→yang di ekspresikan melalui instrumen-instrumen yang tidak tertulis yang dapat berupa :
  • Ucapan lisan
  • Tindakan tertentu dari subjek hukum internasional lainnya, dan
  • Tulisn yang pembentukannya tidak melalui atau membutuhkan  prosedur  tertentu.
Traktat yang membentuk hukum:
  • yang memuat peraturan mengenai hukum internasional secara universal,ch:Piagam PBB
  • menetapkan peraturan yang bersifat umum
Kontrak dengan traktat, yaitu traktat yg menetapkan hak dan kewajiban yang hanya berlaku bagai peserta traktat tersebut ~yang perlu diperhatikan dalam treatycontract :
  1. sederatan treatycontract yang dapat merupakan proses lahirnya kebiasaan internasional;
  2. ada kalanya traktat semula diadakan beberapa negara saja, tapi kemudian diterima secara umum;
  3. traktat dapat memiliki nilai yang jelas yang menggambarkan hukum yang bersifat umum
Proses pembuatan traktat menurut utrecht :
  1. Penetapan, (sluiting). Pada tahap ini diadakan perundingan, atau pembicaraan tentang masyalah yang mnyangkut kepentingan masing-masing negara. Hasilnya berupa concept verdrag, yakni penetapan isi perjanjian.
  2. Persetujuan. Penetapan-penetapan pokok dari hasil perundingan itu diparaf sebagai tanda persetujuan sementara, karena naskah tersebut masih memerlukan persetujuan lebih lanjut dari DPR negara masing-masing. Kemungkinan terjadi bahwa masing-masing DPR masih mengadakan perubahan-perubahan terhadap naskah tersebut.
  3. Penguatan (bekrachtiging). Setelah diperoleh persetujuan dari kedua negara tersebut, kemudian disusul dengan penguatan  (bekrachtiging) atau disebut juga pengesahan (ratificatie) oleh masing-masing kepala negara. Sesudah di ratifikasi maka tidak mungkin lagi kedua belah pihak untuk mengadakan perubahan, dan perjanjian itu sudah mengikat kedua belah pihak.
  4. Pengumuman (afkondiging). Perjanjian yang disetujui dan ditandatangani oleh para pihak, kemudian diumumkan. Biasanya dilakukan dalam suatu upacara dengan saling menukarkan piagam perjanjian.
Berakhirnya traktat:
  1. Telah tercapainya tujuan dari traktat
  2. Habis berlakunya traktat tersebut
  3. Punahnya salah satu pihak atau punahnya objek traktat
  4. Adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri traktat
  5. Diadakannya traktat yang baru untuk mengakhiri traktat yang terdahulu
  6. Diepenuhinya syarat-syarat uuntuk berakhirnya traktat
  7. Diakhirinya traktat secara sepihak dan diterima pengakhirannya oleh pihak lain .
Hukum Kebiasaan Internasional
  • Menurut Bellefroid
"semua peraturan-peraturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh negara, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, kerena mereka yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum."
  • Menurut Alf Ross
"persetujuan (konsensus) yang diekspresiakan melalui praktek sebagai kebiasaan internasional."
  • Menurut J.I. Brierly
"praktek negara-negara/kebiasaan internasional  disatu pihak, dan adanya perasaan mewujudkan kewajiban, sebagai persetujuan (konsensus) dilain pihak internasional, karena tanpa dua unsur ini hukum tersebut tidak akan terbentuk."

Dua unsur pembentuk hukum kebiasaan internasional ;
1.    Kebiasaan internasional>usus dalam bahasa latin>praktek negara-negara>unsur material
2.    Opinio juris (keyakinan hukum)>>unsur psikologis
4. Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Prinsip hukum umum dicantumkan dalam Pasal 38 ayat 1 huruf C Statuta Mahkamah Internasional sebagai berikut : "the general principle of law recognized by cilivized nations" walaupundari istilahnya tidak mencerminkan adanya proses pembentukan hukum  seperti dalam istilah perjanjian dan kebiasaan internasional, para ahli berdasarkan Pasal 38 ayat 1 menganggap prinsip-prinsip hukum sebagai sumber hukum formal, yang berdiri sendiri dan terpisah dari perjanjian internasional maupun kebiasaan internasional, anggapan ini muncul berdasarkan pada teori hukum alam.
4. Keputusan Peradilan
Keputusan badan peradilan Internasional yang dimaksud disini adalah putusan megadili perkara perselisihan atau persengketaan yang diajukan di pengadilan tersebut, dan putusan tersebut harus dibaca sebagai decision dalam arti yang lebih sempit, yaitu sebagai judgement.


2 Response to HUKUM INTERNASIONAL

  1. Unknown says:

    makasih buat blognya,. kunjungi juga http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/guest-lecture-fakultas-hukum-prof.-william-slomanson.html

  2. donny says:

    bagus sekali da bermanfaat jangan lupa lihat berita terbaru dibawah ini Kebijakan Kriminalisasi di Bidang Keuangan

Posting Komentar