KAITAN FILSAFAT HUKUM DAN PERUNDANG UNDANGAN, BESERTA PERKEMBANGAN TEORI HUKUM DARI MASA KEMASA



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manusia memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui manusia tersebut disebut pengetahuan. Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama. Istilah ”pengetahuan” (knowledge) tidak sama dengan ”ilmu pengetahuan” (science). Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal. Perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak berarti semua pertanyaan dapat dijawab, oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat.
Berbicara mengenai filsafat, maka filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan umum dan mendalam tentang hidup yang dijalani manusia. Dalam pemahaman yang demikian, filsafat ditangkap sebagai sesuatu yang abstrak (Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang. 2008:3). Filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia.
Pendapat yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri (Sugiyanto Darmadi 2001:18).
Sebagai filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian terhadap sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat (Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta .2002:10).

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Mengetahui kaitan filsafat hukum dengan perundang-undangan
2.      Mengetahui ajaran hukum dari abad abad yang berbeda










BAB II
PEMBAHASAN

Filsafat Hukum dalam Kaitan Perundang – Undangan
Salah satu tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumber daya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.
Dalam upaya pembaruan hukum tersebut, penataan kembali susunan hirarkis peraturan perundang-undangan kiranya memang sudah sangat tepat. Di samping itu, era Orde Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan perundang-undangan, dalam prakteknya selama 32 tahun belum berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan sistem perundang-undangan di masa depan. Lebih-lebih dalam prakteknya, masih banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem yang baku.
Sementara itu, setelah lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, sangat dirasakan adanya kebutuhan untuk mengadakan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang banyak pihak menilai ada pasal yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Ditambah lagi dengan munculnya kebutuhan untuk mewadahi perkembangan otonomi daerah di masa depan yang dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya dinamika hukum adat di desa-desa yang cenderung diabaikan atau malah sebaliknya dikesampingkan dalam setiap upaya pembangunan hukum selama lebihdari 50 tahun terakhir.
Didalam Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia. Mengingat falsafah Pancasila adalah merupakan ruh perjuangan dari para pejuang bangsa, yang merupakan alat pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak oleh daerah, ras, suku, agama, golongan, dan lain sebagainya. Mengingat masyarakat Indonesia sangat heterogen, maka dengan kembali pada Pancasila, cita-cita luhur para pejuang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sejahtera dimungkinkan dapat tercapai. Dilihat dari materinya Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasila terbuat dari materi atau bahan dalam negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan bangsa, tidak merupakan produk impor dari luar negeri, meskipun mungkin saja mendapat pengaruh dari luar negeri (Darji Darmodiharjo, dan Shidarta 2002:229).
Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif kita.
Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari segala sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan. Lain halnya dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila. Akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada demokrasi parlementer).
Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia. Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law/khususnya negara Belanda).
Perbedaan Hukum Alam di Berbagai Abad dan Aliran Hukum Positif serta Teori Hukum Murni
Bernard L. Tanya, Et.Al (2004:) dalam Putra, H. (2011:3-32) mengatakan Teori hukum yang muncul dari abad keabad dan dari generasi ke generasi, tidak hanya memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan pergeseran cara pandang sesuai dengan peralihan zaman. maka di samping kita bertemu dengan para pemikir zaman klasik, pemikir abad pertengahan, pemikir zaman modern, dan pemikir kontemporer, tapi serentak itu pula kita berjumpa dengan generasi hukum alam, generasi rasionalisme, generasi historisme, generasi positivisme, generasi sosio-antropologi, generasi realisme, dan generasi-generasi lain sesudahnya.
1. Teori Hukum Zaman Klasik
Teori hukum sejak filsuf Ionia hingga Epicurus diwarnai cakrawala religiusitas, baik yang bersumber pada mistis (pra abad ke-6 Seb. M) maupun yang bersumber pada religi Olympus (abad ke-5 sampai abad ke-1 Seb. M).  dalam kosmologi era sebelum abad ke-6 Seb. M, ‘yang ilahi’ itu ada dalam alam. Alam sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan mistis. karenanya alam dipahami sebagai kekuatan yang mengancam, serba gelap, dan berjalan alamiah. hidup manusia, dengan demikian sepenuhnya tergantung pada nasib. manusia harus tunduk dan rela menerima nasib sesuai aturan alam, yakni lewat seleksi alam.
masuk abad ke-6 yang berlanjut hingga abad ke-1 Seb. M, kosmologi serba mistis berganti kosmologi religi Olympus. Dalam kosmologi ini, ‘yang ilahi’ itu (telah) ada dalam diri manusia, lewat logos (akal).  Logos merupakan akal dewa dewi yang mencerahkan dan menuntun manusia pada pengenalan akan yang ’benar’, ‘baik’, dan ‘patut’. Berkat logos yang mencerahkan itu, dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos). Nomos inilah yang menjadi petunjuk hidup di duian riil. Nomos dapat mengambil bentuk dalam wujud kebiasaan maupun wujud aturan yang menuntun kehidupan umat manusia yang bermartabat.
Hukum Itu Tatanan Kekuatan
Teori Filsuf Ionia
Teori ini adalah bagian dari para filsuf pertama Yunani sebelum abad ke-6 masehi. Generasi ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti Anaximander, Thales, Heraklitus, dan Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka sangat lekat dengan kosmologi alam(-iah) dan mistis yang melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam.
Teori ini adalah mengenai hukum sebagai kekuatan, benar-benar merupakan strategi ‘tertib hidup’ dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi terhadap alam. sesuai tingkat peradaban masa itu, maka alam dijadikan sebagai titik-tolak analisis. Ketika itu, alam dipahami sebagai jagad penuh kuasa yang hanya tersusun dari benda-benda materi (manusia juga dianggap benda materi). Karena bangunan benda materi-materi belaka, maka tidak dikenal adanya tatanan moral sebagai panduan kehidupan. Oleh karena itu praktis alam dikuasai oleh ‘logika’ dasarnya, yakni kekuatan. dalam logika kekuatan itulah, manusia sebagai bagian dari alam menjalankan kehidupan ragawinya sehari-hari.



Hukum Sebagai Tatanan Logos
Teori Kaum Sofis
Dengan latar belakang konsepsi religi Olympus tentang manusia (manusia memiliki jiwa dan raga), filsuf Sofis tidak lagi memandang kekuatan setelanjang barisan filsuf pertama. Dunia materi bukan segala-galanya. Ada unsur lain yang lebih utama: Logos yang dimiliki manusia. Dunia berpusat pada manusia yang punya logos itu, sehingga pun hukum pun juga berpusat pada manusia yang memiliki logos itu.
Bagi kaum Sofis, hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam yang telanjang per se. Mereka mengaitkan hukum dengan ‘moral alam’, yakni logos –semacam roh ilahi yang memandu manusia pada hidup yang patut. wujudnya adalah nomos –yang dalam tradisi Yunani menunjuk pada kebiasaan sacral dan penentu segala sesuatu yang baik. Nomos hanya bisa eksis di dalam polis (negara kota di Yunani). Di luar polis hanya ada kekacauan.
Hukum Sebagai Tatanan Kebajikan
Teori Socrates
Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum sejatinya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.
Pemikiran Socrates itu harus dipahami dalam kkonteks pemikiran etisnya eudaimonia. Tujuan kehidupan manusia menurut Socrates adalah eudaimonia (kebahagiaan). Tentu menurut Socrates adalah kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu keadaan obyektif yang tidak tergantung pada perasaab subyektif. Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan jiwa yang oleh Plato dan Aristoteles diakui sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia.

Hukum Sebagai Sarana Keadilan
Teori Plato
Dengan mengambil inti ajaran kebijaksanaan Sokrates, Plato sang murid, juga mengaitkan hukum dengan kebijaksanaan dalam teorinya tentang hukum. Akan tetapi ia tidak menempatkan kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi  individu warga polis. Sebaliknya, ia mengaitkan kebijaksanaan dengan tipe ideal Negara polis di bawah pimpinan kaum aristokrat. Dasar perbedaan tersebut terletak pada perbedaan asumsi tentang peluang kesempurnaan pada manusia. Bagi Socrates, secara individual manusia dimungkinkan mencapai kesempurnaan jiwa secara swasembada. Sedangkan Plato tidak percaya pada tesis gurunya tersebut. Bagi Plato kesempurnaan individu hanya mungkin tercipta dalam konteks negara di bawah kendali para guru moral, para pimpinan yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristokrat. Menurut Popper, model Plato tersebut merupakan kerajaan orang yang paling bijak dan menyerupai dewa.
Hukum Itu Rasa Sosial-Etis
Teori Aristoteles
Aristoteles mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis yang bukanlah bawaan alamiah ‘manusia sempurna’ versi Socrates, bukan pula mutu ‘kaum terpilih’ (aristocrat) model Plato. Perasaan sosial-etis ada dalam konteks individu sebagai warga Negara (polis). Berdiri sendiri lepas dari polis, seorang individu tidak saja bakal menuai ‘bencana’, tetapi juga akan cenderung lard an tak terkendai karena bawaan alamiah Dionysian-nya.
Oleh sebab itu, hukum seperti halnya polis, merupakan wacana yang diperlukan untuk mengarahkan manusia ada nilai-nilai moral yang rasional. Inti manusia moral yang rasional menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hidup (summum bonum). Dalam rangka ini, manusia dipandu dua pemandu, yakni akal dan moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni, serta serentak memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya. Jadi akal memiliki dua fungsi, yaitu teoritis dan praksis. Untuk yang pertama, Aristoteles menggunakan kata Sophia yang menunjuk pada kearifan.
Hukum dan Kepentingan Individu
Teori Epicurus
Epicurus membangun teorinya tentang hukum melalui konteks etika epicurunisme di mana tujuan kehidupan adalah kebahagiaan yang hanya mungkin tercipta jika tiada penderitaan jiwa-raga. Segala sesuatu yang dapat menyusahkan jiwa raga harus dihindari begitu juga kesenangan sensual dan indrawi yang mengakibatkan sakit raga dan penderitaan jiwa pun harus dijauhi. Gagasan utamanya adalah gagasan atomistik (individu-individu yang terpisah), yang muncul di tengah peperangan dan pergolakan politik yang melanda polis polis Yunani kala itu, di mana semua peristiwa tersebut dianggap menderitakan raga dan menyengsarakan jiwa.
2. Teori Hukum Abad Pertengahan
Abad pertengahan merupakan suatu era di mana pemikiran serba Ilahiah (utamanya teologi Kristen) begitu dominan. Manusia dan alam dianggap berada di bawah kendali Alhalik. Sama seperti logos di era sebelumnya. Tokoh-tokoh dalam teoeri hukum ini adalah Agustinus (penghujung terakhir zaman klasik/tahun 400 M) dan Thomas Aquinas (paruh kedua abad pertengahan/Tahun1200 M) tertib manusia, termasuk teori tentang hukum diletakan dalam tatanan ‘cinta kasih dan hidup damai’ yang merupakan jawaban atas campur tangan Ilahi dalam hidup manusia.
Hukum Itu Tatanan Hidup Damai
Teori St. Agustinus
Serupa dengan nuansa hukum alam zaman Yunani dan Romawi Kuno, St. Agustinus membangun teorinya mengenai hukum di bawah tema keadilan juga. Akan tetapi karena pengalaman pahit pergolakan menjelang keruntuhan kekaisaran Romawi, menyebabkan ia memberi poin tambahan pada unsur hukum alam sebelumnya, yaitu mengenal Tuhan dan hidup saleh, yang merupakan salah satu unsur penting dari keadilan selalin hiudp yang baik, tidak menyakiti siapa pun dan memberi kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya.
Sebagai tokoh agama, Agustinus menempatkan hukum Ilahi (lex aeterna) sebagai cita dan hukum positif yang tidak boleh dilampaui. Jika hukum positif (lex tempralis) melanggar aturan Ilahi itu, maka ia telah kehilangan kualitas hukumnya.
Hukum Itu Bagian Tatanan Ilahi
Teori Thomas Aquinas
Tidak berbeda jauh dengan Agustinus, Aquinas pun mendasarkan teorinya tentang hukum dalam konteks moral agama Kristen. Hukum diperlukan untuk menegakan moral di dunia. Karena zaman ini merupakan era dominasi agama (yang diawali oleh agama Kristen), maka kehidupan moral dimaksud menunjuk pada ukuran agama tersebut.
3. Teori Hukum Era Renaissance
Sebagai filsuf, para pemikir zaman modern, terutama era Renaissance, masih juga dipengaruhi kosmologi metafisika. Mereka tetap mengakui adanya hukum alam tapi tidak menjadikanya sebagai perhatian utama. Bagi filsuf-filsuf seperti Jean Bodin (1530-1596), Hugo Grotius (1583-1645), dan Thomas Hobbes (1588-1679) hukum positiflah (buatan manusia) yang menjadi fokus perhatian.
Hukum itu Perintah Penguasa Berdaulat
Teori Jean Bodin
Bagi Bodin, kekuasaan raja adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. Raja sendiri tidak terikat oleh hukum (summa in cires ac subditos legibusque solute potestas). Sebab jika raja berada di bawah hukum, maka itu akan menghancurkan makna dasar kedaulatan (yang satu, bulat, dan superior).
Karena teorinya tentang kedaulatan yang menjurus pada negara, maka Bodin dikenal sebagai penganut doktrin kedaulatan negara. Bagi Bodin, hukum adalah penjelmaan dari kehendak Negara. Negaralah yang menciptakan hukum, dan Negara adalah satu-satunya sumber hukum yang memiliki kedaulatan. Di luar Negara, tidak ada yang berwenang menetapkan hukum.
Hukum itu Tatanan Keamanan
Teori Thomas Hobbes
Thomas Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di tengah orang-orang liar yang suka saling memangsa, hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Tidak ada pengertian adil atau tidak adil. Yang ada, hanya nafsu-nafsu manusia. Dalam keadaan seperti itu, terjadilah bellum omnium contra omnes di mana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis. Watak manusia ala Dionisyan ala filsun Ionia dan individu egoistis Epicurus, seolah hidup kembali dalam teori Hobbes.
Thomas Hobbes juga melihat hukum alam (yang intinya keadilan, kesetaraan, kerendahatian, kemurahatian, dan semua yang sebaiknya dilakukan) sebagai tatanan perilaku yang terdiri dari aturan-aturan bijak. Keluhuran hukum alam menjadi panduan bagi raja dalam ‘mengeluarkan perintah’.
Hukum itu Kesadaran Sosialitas
Teori Hugo Grotius
Grotius merupakan penganut humanisme awal zaman modern. Ia memandang manusia sebagai oknum pribadi yang bebas serta memiliki hak-hak tertentu. Hal ini berlaku bagi setiap manusia.
Hukum sangat dibutuhkan agar tiap orang kembali pada kodratnya sebagai ‘manusia’ sosial yang berbudi. Hukum yang demikian, merupakan ‘pengawal’ dalam sosiabilitas manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip ‘individu sosial’ yang berbudi itu tetap tegak. Prinsip-prinsip yang dimaksud: (1) milik orang lain harus dihormati; (2) kesetiaan pada janji. Kontrak yang harus dihormati (pacta sunt servanda); (3) harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang diderita; (4) harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran.
4. Teori Hukum Era AufKlarung
Kosmologi era Aufklarung diwarnai “kekuasaan” akal atau rasio manusia. Manusia era ini adalah individu yang rasional, bebas dan otonom. Disini muncul teori tentang hukum sebagai tatanan perlindungan hak-hak dasar manusia.
Hukum Itu Perlindungan Hak Kodrat
Teori John Locke
Sebagai penganut hukum alam abad ke-18, locke berpegang pada prinsip hukum alam zaman itu yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio. Ia juga mengajarkan kontrak sosial, serupa dengan Hobbes, perbedaannya dengan Hobbes, Locke menyatakan bahwa yang melakukan kontrak sosial bukanlah orang yang takut dan pasrah melainkan adalah orang-orang yang tertib, elan, dan menghargai kebebasan, hak hidup, dan kepemilikan harta sebagai hak bawaan setiap manusia.
Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Rakyat sendirilah yang harus menjadi pembuat hukum. Locke menempatkan kekuasaan legislasi sebagai inti bagi kehidupan politik, sehingga hukum yang dibuat negara pun bertugas untuk melindungi hak-hak dasar tersebut.
Hukum Itu Produk Akal Praktis
Immanuel Kant
Kant dikenal dengan Imperatif kategorisnya di mana ada dua norma yang mendasari prinsip ini:
(i)                  Tiap manusia diperlakukan sama sesuai martabatnya, harus diperlakukan selaku subjek, bukan objek;
(ii)                Manusia harus mendasari tindakannya dengan dalil berdasarkan prinsip semesta.
Menurut Kant, dalam kebebasan dan otonominya, tiap-tiap individu cenderung memperjuangkan kemerdekaan yang dimilikinya. Tapi sangat mungkin pelaksanaan kemerdekaan seseorang bisa merugikan kemerdekaan orang lain sehingga untuk menghindarinya dibutuhkan hukum
Hukum Itu Keharusan
Teori Cristian Wolff
Teori dari Cristian Wolff ini berangkat dari pengandaian bahwa hukum alam, seperti juga hukum lainnya, berbasis kewajiban. Tiada hukum tanpa kewajiban yang mendahului keberadaannya.
Hukum dan Lingkungan Fisik
Teori Mostesquieu
Mostesquieu berpendapat bahwa hukum adalah soal jenis-jenis hukum. Menurutnya, semua makhluk termasuk manusia mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Pertama, hukum alam yang jelas tidak dapat di ubah dan dipertetangkan. Kedua, hukum agama yang berasal dari Tuhan. Ketiga, hukum moral dari ahli filsafat dimana hukum ini dapat dibuat dan diubah. Keempat, hukum politik dan sipil. “hukum sipil” adalah produk produk civil state yang bernuansa non-politik.
Hukum Itu Kehendak Etis Umum
Teori Rousseau
Rousseau melihat keberadaan sejati manusia sebagai oknum yang memiliki otonomi etis. Menurut Rousseau suatu norma hukum memiliki nilai kewajiban dan absah mengikat, bukan melulu karena diciptakan dengan partisipasi bebas dari manusia yang tunduk padanya. Lebih dari itu ia harus benar-benar mencerminkan kemauan bersama dari orang-orang bebas tersebut. Rakyatlah yang berdaulat, bukan badan legislasi itu sendiri. Jelaslah bahwa hukum merupakan “pribadi moral” dan “pribadi publik” yang berasal dari kontrak sosial dan melindungi kekuasaan bersama disampin kekuasaan dan milik pribadi.


Hukum Itu Kaidah Menggapai Simpati
Teori David Hume
Menurut Hume, tidaklah manusia ditentukan oleh hasrat, bukan oleh rasio. Menurut Hume, segala sesuatu yang memberi kebahagiaan bagi masyarakat, akan dengan sendirinya disambut dengan aprobasi (penerimaan baik). Jadi dapat disimpulkan, hukum bagi Hume merupakan alat pencapaian cita-cita sosial. Cara yang dimaksud Hume adalah melalui prinsip-prinsip hukum alam, yakni keterjaminan kepemilikan, tidak menguasai barang secara berlebihan, perolehannya harus dilakukan secara halal, pemindahannya harus berdasarkan kesepakatan dan berusaha setia pada janji.
Hukum Itu Penyokong Kebahagiaan
Teori Jeremy Bentham
Teori dari Jeremy Bentham ini adalah individualisme utilitarian. Katanya, alam telah menempatkan umat manusia dibawah pemerintahan dua penguasa, yakni suka dan duka. Doktrin Bentham tentang manusia sebenarnya sudah kita temukan pada pemikiran Hume sebelumnya bahwa tindakan manusia terkait dengan hasrat.
5. Teori Hukum Abad ke-19
Situasi zaman abad ke-19 ditandai oleh beberapa kecenderungan utama. Pertama, terjadinya revolusi sosial ekonomi, terutama akibat revolui industri. Kedua, munculnya penolakan terhadap rasionalisme universal abad sebelumnya yang dianggap cenderung mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Ketiga, hampir bersamaan dengan historisme, muncul pada pemikiran evolusionisme yang berusaha melacak perkembangan kebudayaan manusia dari tradisional ke modern. Pemikir utama arus ini adalah Sir Henry Maine dan durkheim.



Hukum Itu Kepentingan Orang Berpunya
Teori Karl Marx
Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Faktanya hukum melayani kepentingan “orang berpunya”. Karl Marx berupaya menganalisis proses-proses ekonomi dalam intern kapitalis sebagai kompleks krisis yang akan menghancurkan sistem kapitalis itu sendiri yang kemudian akan melahirkan masyarakat sosialis.
Hukum Itu Jiwa Rakyat
Teori Savigny
Menurut Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu “hukum adat” yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati.
Keberatan Savigny terhadap kodifikasi hukum Jerman juga didasarkan pada pertimbangan yang lebih realistis. Menurutnya, kodifikasi hukum selalu membawa serta suatu efek negatif, yakni menghambat perkembangan hukum. Menurut Savigny sejarah itu berjalan terus dan berkembang setiap saat.
Hukum Itu Fusi Kepentingan
Teori Jhering
Hukum itu untuk sebagian memang jiwa bangsa. Bagian yang lain adalah hasil adopsi dari unsur-unsur luar, baik akibat pergaulan dengan bangsa lain maupun karena bangsa itu memang punya kepentingan dengan unsur luar itu. Itulah teori Jhering yang sekaligus membantah Savigny. Toh setiap bangsa itu ada egonya, kata Jhering.
Persis di titik inilah, ideologi utilitarisme Jhering meluas jelas. Teori hukum Jheringpun berbasis ide manfaat.

Hukum Itu Produk Adaptasi Sosial
Teori Henry S. Maine
Maine dikenal dengan teorinya Movement from status in contract. Teori evolusi ini dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia. Dari sana, ia temukan dua tipe masyarakat, yakni : (i). Statie Sosietis (Cina dan India), (ii). Progressive Societis (Eropa). Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan antar status. Sebaliknya, pada mayarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak antar prestasi.
Hukum Itu Moral Sosial
Teori Emile Durkheim
Teori Durkheim ini, menempatkan hukum sebagai moral sosial. Durkheim sendiri bukanlah tergolong jajaran filsuf klasik yang melulu berurusan dengan persoalan moral. Menurut Durkheim, sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial. Solidaritas sosial itu sendiri merupakan jenis yang abstrak. Ia merupakan “roh” yang mengikat orang-orang pada “kerangka keyakinan” bersama dalam membangun hidup yang terintegrasi.
Hukum Itu Tata Hukum
Teori Austin
Bagi Austin, tata hukum itu nyata dan berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan pula karena cermin keadilan dan logos, tetapi karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang.
John Austin sebagai analytical legal positivism-nya, menjadi penganut utama aturan positivisme yuridis. Austin bertolak pada kenyataan bahwa terdapat suatu kekuaaan yang memberikan perintah-perintah, dan ada orang yang pada umumnya menaati perintah-perintah tersebut.


Hukum Itu Ide Umum Aturan Positif
Teori Ernst Bierling
Hukum itu, ide umum tata hukum positif itulah inti dari teori dari ajaran hukum. Ajaran hukum umum mencari ide-ide hukum yang berlaku dimana-mana karenanya dianggap universal dan tetap.
Tapi ide-ide itu bukan diambil dari isi atau materi hukum positif, tetapi dari aspek formal yuridisnya. Alasannya sederhana. Materi hukum selain cenderung tidak tetap dan berubah-ubah juga karena ia berasal dari sumber-sumber non yuridis.
6.  Teori Hukum Abad Ke-20
Humanisasi hidup dan berkeadilan sosial tampil sebagai “kekuasaan” baru yang dihadapi manusia di abad ke-20. Persoalan sekitar dua hal itu, sangat beragam. Pertama, tragedi sosial dan kemanusiaan akibat perang dunia I dan II. penindasan kejam dari rezim politik yang totaliter di era Hitler dan Stalin disamping tragedi-tragedi lain tentang kemanusiaan. Kedua, kian meluasnya struktur-struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi yang meminggirkan dan menindas kelompok-kelompok periferi.
Ketiga, bersamaan dengan kian kuatnya peran negara dan hukum dalam segala aspek kehidupan sosial juga memunculkan beragam sikap.
A. Teori Neo-Kantian
Dimana Letak Sifat Normatif Dari Hukum ?
Ciri khas pemikir Neo-Kantian adalah, mencari suatu pengertian transedental tentang hukum, yaitu sifat normatifnya.
Neo-kantian merupakan reaksi terhadap positivisme. Neo-kantian menolak tredo positivisme yang terlampau empiristis. Neo kantian sendiri, terbagi dalam dua varian. Pertama, aliran Marburg yang memberi perhatian pada penalaran logis (menurut logika ilmu alam) dalam teorisasinya. Kedua, aliran Baden yang cenderung memberi perhatian pada nilai-nilai, dan atas refleksi tentang ilmu-ilmu kultural.
Hukum Itu Normatif, Karena Kehendak Yuridis
Teori Rudolf Stammler
Mengenai teorinya tentang kemauan, Stammler beranjak dari asumsi “tindakan bertujuan”. Katanya : “orang mau berbuat sesuatu, pasti untuk mengejar suatu tujuan”. Jadi tujuan menentukan perbuatan. Bagi Stammler, perbuatan merupakan “materi dari kemauan”, sedangkan tujuan adalah “bentuk”.
Hukum Itu Normatif karena Grundnorm
Teori Hans Kelsen
Kelsen bertolak dari dualisme Kant antara “bentuk” dan “materi”. Kelsen mengamini perbedaan antara bidang “ada” (sein) dan bidang “harus” (sollen) sebagai suatu unsur dari pengetahuan manusia. Bidang sein berhubungan dengan alam dan fakta, sedangkan bidang sollen justru berkaitan dengan kehidupan manusia.
Menurut Hart, secara umum pengertian Austin memang tepat, sebab benarlah bahwa pemerintah yang disebut hukum, dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa dan bahwa perintah-perintah itu biasanya ditaati.
Hukum Itu Normatif, Karena Nilai Keadilan
Teori Gustav Radbruch
Dalam mengkonstruksi teorinya, Radbruch bertolak dari tesis mashab Baden yakni kebudayaan. Bagi Radbruch yang mengikuti Lask, kebudayaan itu adalah nilai-nilai manusia. Baik pengetahuan, seni, moralitas maupun hukum adalah bagian dari kebudayaan. Menurut Radbruch gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtsidee yakni keadilan.

B. Teori Dari Kubu Neo-Positivisme
Hukum Itu cermin Rasionalitas dan Otoritas
Weber membuat deskripsi-deskripsi analitis tentang tahap-tahap perkembangan hukum. Weber menggunakan ukuran “tingkat rasionalitas” dan “model kekuasaaan” untuk mengkonstruksi teorinya tentang hukum.
Disini ada tiga tingkat rasionalitas, yakni : (i). Substantif-irasional, (ii). Subtantif dengan sedikit kandungan rasional, (iii). Rasional penuh.
Weber juga menggunakan tipe otorites (model kekuasaan), sebagai basis teorinya mengenai hukum.
Tipe pertama adalah tipe kharismatik. Tipe kedua, tipe tradisional yang bertumpu pada kepercayaan menurut tradisi terhadap orang yang dianggap layak memimpin masyarakat. Sedangkan tipe ketiga adalah otoritas yang rasional.
Masing-masing tipe otoritas itu, menentukan model penyelenggaraan hukum ( baik law-making, law-finding maupun law-enforcement).
Rheinstein yang mengedit dan menerjemahkan karya Weber menurunkan tipologi Weber secara singkat, demikian :
·         Irasional, yaitu tanpa oleh aturan-aturan umum
·         Formal : dipandu oleh hal-hal yang diluar kontrol/kemampuan akal
·         Substantif : dipandu oleh reaksi terhadap kasus individual
·         Substantif dipandu oleh prinsip-prinsip dari suatu sistem ideologi disamping hukum itu sendiri
Formal :
Secara ekstrinsik, yaitu dengan menganggap bahwa suatu kepentingan itu berasal dari kejadian-kejadian eksternal yang dapat diamati oleh indera
Secara logis, yaitu dengan mengungkapkan aturan-aturan dengan penggunaan konsep-konsep abtrak yang diciptakan oleh pemikiran hukum itu sendiri dari dipahami sebagaimana suatu sistem yang lengkap.
Rasional, yaitu dengan dipandu oleh aturan-aturan umum :
Menurut Weber, hukum barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang paling rasional ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional dibidang kehakiman dan kepengacaraan.
Hukum Itu Tatanan Karya Sosial
Teori Leon Dugit
Duguit menempatkan solidaritas sosial sebagai dasar konstruksi teori tentang hukum. Solidaritas sosial itu, membangkitkan dua rasa, yaitu : (i). Rasa keharusan sosial, (ii).Rasa keadilan.
Hukum Itu Aturan Yang Hidup
Teori Eugen Ehrlich
Ehrlich membangun teorinya tentang hukum dengan beranjak dari ide masyarakat. Menurut Ehrlich masyarakat adalah ide umum yang dapat dignakan untuk menandakan sebuah hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi dunia dan lain sebagainya.
Hukum Itu Gejala Sosial
Teori Theodor Geiger
Geiger membedakan dua macam norma. Yang satu “norma yang sebenarnya”. Dan yang lain adalah norma “yang tidak sebenarnya”. Menurut Geiger, realitas suatu norma (“norma yang sebenarnya”) terletak dalam kenyataan bahwa norma itu terjelma dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang akan bersaksi bila norma itu dilanggar. Hukum harus dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis juga.
Hukum Itu Proses Penguatan
Teori Maurice Hauriou
Teori Hauriou berporos pada peran institusi untuk meneguhkan niat orang menaati hukum. Hauriou memulai uraiannya dari gambaran tentang manusia. Mula-mula ia menyesuaikan diri begitu saja dengan perkembangan itu, tetapi sudah menjadi sadar akan diri sendiri, ia ikut dalam perkembangan realitas itu secara sadar dan bebas.
Hukum Itu Kenyataan Normatif
Teori George Gurvitch
Ide sentral dalam teori Gurvitch ialah kenyataan normatif. Menurut Gurvitch sejumlah orang baru mencapai kelompok yang riil bila mereka mengalami kelompoknya sebagai suatu “kita”. “Aku” dan “engkau” menjadi bersatu sebagai “kita”.
Hukum Itu Mekanisme Integrasi
Teori Talcott Parsons
Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem, dalam sistem sosial yang lebih besar. Disamping hukum, terdapat sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub sistem yang dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi.
Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Ekonomi menunjuk pada sumber daya materil yang dibutuhkan untuk menopang hidup sistem. Empat sistem tersebut selain sebagai realitas yang melekat pada masyarakat juga serentak merupakan tantangan yang harus dihadapi tiap unit kehidupan sosial.
Hukum Itu Keseimbangan Kepentingan
Teori Roscoe Pound
Pragmatisme Amerika merupakan basis ideologi teori pound tentang keseimbangan kepentingan. Bagi Pound hukum tidak boleh mengawang dalam konsep-konsep logis analitis maupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuris yang terlampau ekslusif.


C. Teori Dari Kubu Realisme Hukum
Realisme hukum sendiri bercabang dua, yakni realisme hukum Amerika dan realisme hukum Skandinavia. Realisme hukum Amerika menempatkan empiris dalam sentuhan pragmatis. Realisme hukum Skandinavia menempatkan empirisme dalam sentuhan psikologi.
Hukum Itu Perilaku Hukum
Teori Oliver Holmes
Oliver Holmes dan Jerome Frank hukum yang termuat dalam aturan-aturan hanya suatu generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes seorang pelaksana hukum sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Aturan-aturan hukum dimata Holmes, hanya menjadi salah satu factor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal kemanfaatan dan keutamaan kepentingan social, misalnya menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan “yang berisi”.
Hukum itu Rasa Wajib/Takut
Teori Alf Ross
Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-fisis. Menurut Ross semua gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala psiko-fisis.
Menurut Ross, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya.
D. Teori dari Kubu Neo-Maxis
Hukum itu Kepentingan Orang Berkuasa
Teori Ralf Dahrendorf
Pembentukan kelas yang dibahas Dahrendorf lebih didasarkan kekuasaan daripada kepemilikan sarana-sarana produksi. Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang memiliki kekuasaan.
Menurut Dahrendorf, adanya pertentangan soal legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan antar kelas itu.
Hukum itu Kepentingan Kaum Lelaki
Teori Feminist Legal Theory
Bagi teori ini, hukum merupakan tatanannya kaum adam yang meminggirkan kaum hawa. Sifat hukum yang bias itu, berdimensi structural.
E. Teori dari Kubu Eksistensialis
Eksistensialisme bertolak dari eksistensi manusia sebagai kenyataan dasar dari semua pikiran. Munculnya eksistensialisme merupakan reaksi terhadap rasionalisme Aufklarung.
Hukum itu Wujud Eksistensi dan Sosialitas
Teori Werner Maihofer
Teori Maihofer tentang hukum bertitik tolak dari kegandaan ontologi manusia yakni sebagai individu eksistensial dan sebagai pribadi warga social. Keberadaan manusia akan hidup masyarakat menghasilkan hukum alam institusional yang meliputi semua peraturan tentang fungsi orang dalam masyarakat.
Maihofer mengaku sebagai seorang penganut eksistensialisme Heidegger. Bagi Heidegger manusia merupakan Dasein.
F. Teori dari Kubu Aliran Hukum Alam Abad ke-20
Norma-norma hukum harus dijaga sedemikian rupa agar tetap mencerminkan prinsip-prinsip etika, humanisasi hidup dan keadilan. Hukum yang konkret ini adalah hukum yang sesuai dengan situasi hidup yang sebenarnya, entah relasi hidup antara orang entah situasi konkret individual warga negaranya.


Hukum itu Keinsyafan Keadilan
Teori W.A.M. Luypen
Menurut Luypen, apa yang disebut tatahukum belum tentu dapat disebut hukum. Sebab bias terjadi, terdapat tatahukum yang tidak mewajibkan, yakni kalau tatahukum itu tidak menurut norma-norma keadilan.
Bagi Luypen  yang menganut fenomenologi eksistensial, kedua pandanaan ektrim itu ditolak. Dari perspektif fenomenologi eksistensial seperti dianut Luypen manusia dipandang sebagai subyek yang memiliki solidaritas dan sejarah.
Hukum itu Perlu Tafsiran Kontekstual
Teori Francois Geny
Francois Geny menganggap hukum analitis sebagai corong aturan belaka, ditampilak sebagai dunia penuh kreativitas oleh Geny. Menurut Geny, adalah libre recherché scientifique yang bertopang pada tiga prinsip : (i). otonomi kemauan, (ii). Kepentingan umum, (iii), keseimbangan kepentingan. Dari metode inilah Geny lalu membangun teori tentang metode penafsiran hukum.
7.  Teori Hukum di Masa Transisi Hukum Responsif
Teori Nonet-Selznick
Nonet-Selznick mengajukan model hukum responsif. Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. Nonet dan Salznicklewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik.
Hukum Progresif
Teori Satjipto Raharjo
Teori hukum progresif, tidak terlepas dari gagasan prof Satjipto Raharjo. Menurutnya, pemikiran hukum kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut maka manusia menjadi penentu dari titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukanlah merupakan isntitusi yang lepas dari kepentingan manusia.
Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.
Seperti diketahui Rahardjo, bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada diluar dirinya.
Menurut Rahardjo, antara hukum progresif dengan legal realizm juga memiliki kemiripan logika, yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum itu sendiri.
Teori Hukum Murni
Bagi kalangan sarjana hukum sudah barang tentu mengenal Hans Kelsen, dengan teori hukum murninya. Dengan teori hukumnya murninya sampai sekarang masih menjadi perdebatan di masing-masing kalangan sarjana hukum, apalagi bagi yang mempunyai aliran sosiologi hukum. karena menurut kaum sosiologi hukum ajaran Hans Kelsen sama saja membunuh keadilan yang ada tertanam dalam nilai-nilai budaya.
Perdebatan tersebut diatas, nanti akan dibahas dalam tulisan selanjutnya. Pada dasarnya Inti ajaran Hans kelsen terkait dengan Hukum Murni ada tiga konsep, yaitu: (Sadjipto Raharjo : 163 dalam Huda, M. N. 2011:)
1.               Ajaran murni hukum Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politik, dan sebagainya.
2.               Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara Grundnorm  yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama dengan Grundnorm pada tata hukum B. Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm  memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
3.               Ajaran tentang Stufenbautheorie Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.





























Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang. 2008. Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana.
Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta. 2002. Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Darmadi, Sugiyanto. 2001. Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat. Bandung: Mandar Maju.
Huda, M. N. 2011. Teori Hukum Murni. http://muhammadnurulhuda15.blogspot.com/2011/10/teori-hukum-murni.html. Diakses pada 17 Juni 2013
Putra, H. 2011. Teori Hukum Dari Masa Ke Masa. http://herlambangputra.wordpress.com/2011/01/07/teori-hukum-dari-masa-ke-masa-bernard-l-tanya-et-al/. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013

Sidharta, Arief. 2007. Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Bandung: Refika Aditama.

0 Response to KAITAN FILSAFAT HUKUM DAN PERUNDANG UNDANGAN, BESERTA PERKEMBANGAN TEORI HUKUM DARI MASA KEMASA

Posting Komentar