KAITAN FILSAFAT HUKUM DAN PERUNDANG UNDANGAN, BESERTA PERKEMBANGAN TEORI HUKUM DARI MASA KEMASA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Manusia
memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui
manusia tersebut disebut pengetahuan. Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat),
yaitu pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, pengetahuan
agama. Istilah ”pengetahuan” (knowledge)
tidak sama dengan ”ilmu pengetahuan” (science).
Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga
berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek,
metode, dan sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal.
Perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak berarti semua pertanyaan dapat
dijawab, oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut
menjadi porsi pekerjaan filsafat.
Berbicara
mengenai filsafat, maka filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau
sebuah pandangan umum dan mendalam tentang hidup yang dijalani manusia. Dalam
pemahaman yang demikian, filsafat ditangkap sebagai sesuatu yang abstrak (Cahyadi,
Antonius dan E. Fernando M. Manulang. 2008:3). Filsafat hukum merupakan cabang
dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan
hukum di Indonesia.
Pendapat
yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan bagian khusus dari
filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum
secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam
pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya tidak
begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari
hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi
dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri (Sugiyanto
Darmadi 2001:18).
Sebagai
filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian terhadap
sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping
itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum.
Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling
berhubungan.
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu
filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan
perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji
secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat (Darji Darmodiharjo
dan Arief Sidharta .2002:10).
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1.
Mengetahui kaitan filsafat hukum dengan
perundang-undangan
2.
Mengetahui ajaran hukum dari abad abad
yang berbeda
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat
Hukum dalam Kaitan Perundang – Undangan
Salah
satu tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam era reformasi sekarang
ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah
sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses
penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya
mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum,
didukung oleh kualitas sumber daya manusia dan kultur dan kesadaran hukum
masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang
terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan
tuntutan perkembangan kebutuhan.
Dalam
upaya pembaruan hukum tersebut, penataan kembali susunan hirarkis peraturan
perundang-undangan kiranya memang sudah sangat tepat. Di samping itu, era Orde
Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan
UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan
perundang-undangan, dalam prakteknya selama 32 tahun belum berhasil membangun
susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan
sistem perundang-undangan di masa depan. Lebih-lebih dalam prakteknya, masih
banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem yang
baku.
Sementara
itu, setelah lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, sangat dirasakan adanya
kebutuhan untuk mengadakan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang
banyak pihak menilai ada pasal yang tidak relevan lagi dengan perkembangan
zaman. Ditambah lagi dengan munculnya kebutuhan untuk mewadahi perkembangan
otonomi daerah di masa depan yang dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya
dinamika hukum adat di desa-desa yang cenderung diabaikan atau malah sebaliknya
dikesampingkan dalam setiap upaya pembangunan hukum selama lebihdari 50 tahun
terakhir.
Didalam
Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari
segala sumber hukum negara Indonesia. Mengingat falsafah Pancasila adalah
merupakan ruh perjuangan dari para pejuang bangsa, yang merupakan alat
pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak oleh daerah, ras, suku, agama,
golongan, dan lain sebagainya. Mengingat masyarakat Indonesia sangat heterogen,
maka dengan kembali pada Pancasila, cita-cita luhur para pejuang untuk
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sejahtera dimungkinkan dapat
tercapai. Dilihat dari materinya Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa
Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara
Pancasila terbuat dari materi atau bahan dalam negeri yang merupakan asli murni
dan menjadi kebanggaan bangsa, tidak merupakan produk impor dari luar negeri,
meskipun mungkin saja mendapat pengaruh dari luar negeri (Darji Darmodiharjo,
dan Shidarta 2002:229).
Pancasila
merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, rumusan
Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat
dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang
Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan
demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum
positif Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum
positif kita.
Negara
di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari segala
sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun
dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang
menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai sumber dari
segala sumber hukum adalah kekuasaan. Lain halnya dengan negara yang menganut
paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum
adalah kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari
Pancasila. Akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes
(yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada
demokrasi parlementer).
Rumusan
Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum
negara Indonesia. Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras,
kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang
majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat
Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip
kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi
hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat
(civil law/khususnya negara Belanda).
Perbedaan Hukum Alam di Berbagai
Abad dan Aliran Hukum Positif serta Teori Hukum Murni
Bernard
L. Tanya, Et.Al (2004:) dalam Putra, H. (2011:3-32) mengatakan Teori hukum yang
muncul dari abad keabad dan dari generasi ke generasi, tidak hanya
memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan
pergeseran cara pandang sesuai dengan peralihan zaman. maka di samping kita
bertemu dengan para pemikir zaman klasik, pemikir abad pertengahan, pemikir
zaman modern, dan pemikir kontemporer, tapi serentak itu pula kita berjumpa
dengan generasi hukum alam, generasi rasionalisme, generasi historisme,
generasi positivisme, generasi sosio-antropologi, generasi realisme, dan
generasi-generasi lain sesudahnya.
1. Teori Hukum Zaman Klasik
Teori
hukum sejak filsuf Ionia hingga Epicurus diwarnai cakrawala religiusitas, baik
yang bersumber pada mistis (pra abad ke-6 Seb. M) maupun yang bersumber pada
religi Olympus (abad ke-5 sampai abad ke-1 Seb. M). dalam kosmologi era sebelum abad ke-6 Seb. M,
‘yang ilahi’ itu ada dalam alam. Alam sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan mistis.
karenanya alam dipahami sebagai kekuatan yang mengancam, serba gelap, dan
berjalan alamiah. hidup manusia, dengan demikian sepenuhnya tergantung pada
nasib. manusia harus tunduk dan rela menerima nasib sesuai aturan alam, yakni
lewat seleksi alam.
masuk
abad ke-6 yang berlanjut hingga abad ke-1 Seb. M, kosmologi serba mistis
berganti kosmologi religi Olympus. Dalam kosmologi ini, ‘yang ilahi’ itu
(telah) ada dalam diri manusia, lewat logos (akal). Logos merupakan akal dewa dewi yang
mencerahkan dan menuntun manusia pada pengenalan akan yang ’benar’, ‘baik’, dan
‘patut’. Berkat logos yang mencerahkan itu, dimungkinkan terciptanya suasana
keteraturan (nomos). Nomos inilah yang menjadi petunjuk hidup di duian riil.
Nomos dapat mengambil bentuk dalam wujud kebiasaan maupun wujud aturan yang
menuntun kehidupan umat manusia yang bermartabat.
Hukum Itu Tatanan Kekuatan
Teori
Filsuf Ionia
Teori
ini adalah bagian dari para filsuf pertama Yunani sebelum abad ke-6 masehi.
Generasi ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti Anaximander, Thales,
Heraklitus, dan Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka sangat lekat
dengan kosmologi alam(-iah) dan mistis yang melahirkan pandangan bahwa kekuatan
merupakan inti tatanan alam.
Teori
ini adalah mengenai hukum sebagai kekuatan, benar-benar merupakan strategi
‘tertib hidup’ dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi terhadap alam.
sesuai tingkat peradaban masa itu, maka alam dijadikan sebagai titik-tolak
analisis. Ketika itu, alam dipahami sebagai jagad penuh kuasa yang hanya
tersusun dari benda-benda materi (manusia juga dianggap benda materi). Karena
bangunan benda materi-materi belaka, maka tidak dikenal adanya tatanan moral
sebagai panduan kehidupan. Oleh karena itu praktis alam dikuasai oleh ‘logika’
dasarnya, yakni kekuatan. dalam logika kekuatan itulah, manusia sebagai bagian
dari alam menjalankan kehidupan ragawinya sehari-hari.
Hukum Sebagai Tatanan Logos
Teori
Kaum Sofis
Dengan
latar belakang konsepsi religi Olympus tentang manusia (manusia memiliki jiwa
dan raga), filsuf Sofis tidak lagi memandang kekuatan setelanjang barisan
filsuf pertama. Dunia materi bukan segala-galanya. Ada unsur lain yang lebih
utama: Logos yang dimiliki manusia. Dunia berpusat pada manusia yang punya
logos itu, sehingga pun hukum pun juga berpusat pada manusia yang memiliki
logos itu.
Bagi
kaum Sofis, hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam yang telanjang per se.
Mereka mengaitkan hukum dengan ‘moral alam’, yakni logos –semacam roh ilahi
yang memandu manusia pada hidup yang patut. wujudnya adalah nomos –yang dalam
tradisi Yunani menunjuk pada kebiasaan sacral dan penentu segala sesuatu yang
baik. Nomos hanya bisa eksis di dalam polis (negara kota di Yunani). Di luar
polis hanya ada kekacauan.
Hukum Sebagai Tatanan Kebajikan
Teori
Socrates
Bagi
Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan
kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum
bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf
Ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum
Sofis). Hukum sejatinya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan
keadilan umum.
Pemikiran
Socrates itu harus dipahami dalam kkonteks pemikiran etisnya eudaimonia. Tujuan
kehidupan manusia menurut Socrates adalah eudaimonia (kebahagiaan). Tentu
menurut Socrates adalah kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu
keadaan obyektif yang tidak tergantung pada perasaab subyektif. Bagi bangsa
Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan jiwa yang oleh Plato dan Aristoteles
diakui sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia.
Hukum Sebagai Sarana Keadilan
Teori
Plato
Dengan
mengambil inti ajaran kebijaksanaan Sokrates, Plato sang murid, juga mengaitkan
hukum dengan kebijaksanaan dalam teorinya tentang hukum. Akan tetapi ia tidak
menempatkan kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi individu warga polis. Sebaliknya, ia
mengaitkan kebijaksanaan dengan tipe ideal Negara polis di bawah pimpinan kaum
aristokrat. Dasar perbedaan tersebut terletak pada perbedaan asumsi tentang
peluang kesempurnaan pada manusia. Bagi Socrates, secara individual manusia
dimungkinkan mencapai kesempurnaan jiwa secara swasembada. Sedangkan Plato
tidak percaya pada tesis gurunya tersebut. Bagi Plato kesempurnaan individu
hanya mungkin tercipta dalam konteks negara di bawah kendali para guru moral,
para pimpinan yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristokrat. Menurut
Popper, model Plato tersebut merupakan kerajaan orang yang paling bijak dan
menyerupai dewa.
Hukum Itu Rasa Sosial-Etis
Teori
Aristoteles
Aristoteles
mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis yang bukanlah
bawaan alamiah ‘manusia sempurna’ versi Socrates, bukan pula mutu ‘kaum
terpilih’ (aristocrat) model Plato. Perasaan sosial-etis ada dalam konteks
individu sebagai warga Negara (polis). Berdiri sendiri lepas dari polis,
seorang individu tidak saja bakal menuai ‘bencana’, tetapi juga akan cenderung
lard an tak terkendai karena bawaan alamiah Dionysian-nya.
Oleh
sebab itu, hukum seperti halnya polis, merupakan wacana yang diperlukan untuk
mengarahkan manusia ada nilai-nilai moral yang rasional. Inti manusia moral
yang rasional menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria,
kontemplasi) sebagai keutamaan hidup (summum bonum). Dalam rangka ini, manusia
dipandu dua pemandu, yakni akal dan moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada
pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni, serta serentak
memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya. Jadi
akal memiliki dua fungsi, yaitu teoritis dan praksis. Untuk yang pertama,
Aristoteles menggunakan kata Sophia yang menunjuk pada kearifan.
Hukum dan Kepentingan Individu
Teori
Epicurus
Epicurus
membangun teorinya tentang hukum melalui konteks etika epicurunisme di mana
tujuan kehidupan adalah kebahagiaan yang hanya mungkin tercipta jika tiada
penderitaan jiwa-raga. Segala sesuatu yang dapat menyusahkan jiwa raga harus
dihindari begitu juga kesenangan sensual dan indrawi yang mengakibatkan sakit
raga dan penderitaan jiwa pun harus dijauhi. Gagasan utamanya adalah gagasan
atomistik (individu-individu yang terpisah), yang muncul di tengah peperangan
dan pergolakan politik yang melanda polis polis Yunani kala itu, di mana semua
peristiwa tersebut dianggap menderitakan raga dan menyengsarakan jiwa.
2. Teori Hukum Abad Pertengahan
Abad
pertengahan merupakan suatu era di mana pemikiran serba Ilahiah (utamanya
teologi Kristen) begitu dominan. Manusia dan alam dianggap berada di bawah
kendali Alhalik. Sama seperti logos di era sebelumnya. Tokoh-tokoh dalam teoeri
hukum ini adalah Agustinus (penghujung terakhir zaman klasik/tahun 400 M) dan
Thomas Aquinas (paruh kedua abad pertengahan/Tahun1200 M) tertib manusia,
termasuk teori tentang hukum diletakan dalam tatanan ‘cinta kasih dan hidup
damai’ yang merupakan jawaban atas campur tangan Ilahi dalam hidup manusia.
Hukum Itu Tatanan Hidup Damai
Teori
St. Agustinus
Serupa
dengan nuansa hukum alam zaman Yunani dan Romawi Kuno, St. Agustinus membangun
teorinya mengenai hukum di bawah tema keadilan juga. Akan tetapi karena
pengalaman pahit pergolakan menjelang keruntuhan kekaisaran Romawi, menyebabkan
ia memberi poin tambahan pada unsur hukum alam sebelumnya, yaitu mengenal Tuhan
dan hidup saleh, yang merupakan salah satu unsur penting dari keadilan selalin
hiudp yang baik, tidak menyakiti siapa pun dan memberi kepada setiap orang apa
yang menjadi miliknya.
Sebagai
tokoh agama, Agustinus menempatkan hukum Ilahi (lex aeterna) sebagai cita dan
hukum positif yang tidak boleh dilampaui. Jika hukum positif (lex tempralis)
melanggar aturan Ilahi itu, maka ia telah kehilangan kualitas hukumnya.
Hukum Itu Bagian Tatanan Ilahi
Teori
Thomas Aquinas
Tidak
berbeda jauh dengan Agustinus, Aquinas pun mendasarkan teorinya tentang hukum
dalam konteks moral agama Kristen. Hukum diperlukan untuk menegakan moral di
dunia. Karena zaman ini merupakan era dominasi agama (yang diawali oleh agama
Kristen), maka kehidupan moral dimaksud menunjuk pada ukuran agama tersebut.
3. Teori Hukum Era Renaissance
Sebagai
filsuf, para pemikir zaman modern, terutama era Renaissance, masih juga
dipengaruhi kosmologi metafisika. Mereka tetap mengakui adanya hukum alam tapi
tidak menjadikanya sebagai perhatian utama. Bagi filsuf-filsuf seperti Jean
Bodin (1530-1596), Hugo Grotius (1583-1645), dan Thomas Hobbes (1588-1679)
hukum positiflah (buatan manusia) yang menjadi fokus perhatian.
Hukum itu Perintah Penguasa
Berdaulat
Teori
Jean Bodin
Bagi
Bodin, kekuasaan raja adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. Raja
sendiri tidak terikat oleh hukum (summa in cires ac subditos legibusque solute
potestas). Sebab jika raja berada di bawah hukum, maka itu akan menghancurkan
makna dasar kedaulatan (yang satu, bulat, dan superior).
Karena
teorinya tentang kedaulatan yang menjurus pada negara, maka Bodin dikenal
sebagai penganut doktrin kedaulatan negara. Bagi Bodin, hukum adalah penjelmaan
dari kehendak Negara. Negaralah yang menciptakan hukum, dan Negara adalah
satu-satunya sumber hukum yang memiliki kedaulatan. Di luar Negara, tidak ada
yang berwenang menetapkan hukum.
Hukum itu Tatanan Keamanan
Teori
Thomas Hobbes
Thomas
Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di tengah
orang-orang liar yang suka saling memangsa, hukum merupakan alat yang penting
bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Tidak ada pengertian adil atau
tidak adil. Yang ada, hanya nafsu-nafsu manusia. Dalam keadaan seperti itu,
terjadilah bellum omnium contra omnes di mana setiap orang selalu
memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis. Watak manusia ala
Dionisyan ala filsun Ionia dan individu egoistis Epicurus, seolah hidup kembali
dalam teori Hobbes.
Thomas
Hobbes juga melihat hukum alam (yang intinya keadilan, kesetaraan,
kerendahatian, kemurahatian, dan semua yang sebaiknya dilakukan) sebagai
tatanan perilaku yang terdiri dari aturan-aturan bijak. Keluhuran hukum alam
menjadi panduan bagi raja dalam ‘mengeluarkan perintah’.
Hukum itu Kesadaran Sosialitas
Teori
Hugo Grotius
Grotius
merupakan penganut humanisme awal zaman modern. Ia memandang manusia sebagai
oknum pribadi yang bebas serta memiliki hak-hak tertentu. Hal ini berlaku bagi
setiap manusia.
Hukum
sangat dibutuhkan agar tiap orang kembali pada kodratnya sebagai ‘manusia’
sosial yang berbudi. Hukum yang demikian, merupakan ‘pengawal’ dalam
sosiabilitas manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip ‘individu sosial’ yang
berbudi itu tetap tegak. Prinsip-prinsip yang dimaksud: (1) milik orang lain
harus dihormati; (2) kesetiaan pada janji. Kontrak yang harus dihormati (pacta
sunt servanda); (3) harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang diderita; (4)
harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran.
4. Teori Hukum Era AufKlarung
Kosmologi
era Aufklarung diwarnai “kekuasaan” akal atau rasio manusia. Manusia era ini
adalah individu yang rasional, bebas dan otonom. Disini muncul teori tentang
hukum sebagai tatanan perlindungan hak-hak dasar manusia.
Hukum Itu Perlindungan Hak Kodrat
Teori
John Locke
Sebagai
penganut hukum alam abad ke-18, locke berpegang pada prinsip hukum alam zaman
itu yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio. Ia juga mengajarkan kontrak
sosial, serupa dengan Hobbes, perbedaannya dengan Hobbes, Locke menyatakan
bahwa yang melakukan kontrak sosial bukanlah orang yang takut dan pasrah
melainkan adalah orang-orang yang tertib, elan, dan menghargai kebebasan, hak
hidup, dan kepemilikan harta sebagai hak bawaan setiap manusia.
Menurut
Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak
sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat
kontrak sosial dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Rakyat
sendirilah yang harus menjadi pembuat hukum. Locke menempatkan kekuasaan
legislasi sebagai inti bagi kehidupan politik, sehingga hukum yang dibuat
negara pun bertugas untuk melindungi hak-hak dasar tersebut.
Hukum Itu Produk Akal Praktis
Immanuel
Kant
Kant
dikenal dengan Imperatif kategorisnya di mana ada dua norma yang mendasari
prinsip ini:
(i)
Tiap manusia diperlakukan sama sesuai
martabatnya, harus diperlakukan selaku subjek, bukan objek;
(ii)
Manusia harus mendasari tindakannya
dengan dalil berdasarkan prinsip semesta.
Menurut
Kant, dalam kebebasan dan otonominya, tiap-tiap individu cenderung
memperjuangkan kemerdekaan yang dimilikinya. Tapi sangat mungkin pelaksanaan
kemerdekaan seseorang bisa merugikan kemerdekaan orang lain sehingga untuk
menghindarinya dibutuhkan hukum
Hukum Itu Keharusan
Teori
Cristian Wolff
Teori
dari Cristian Wolff ini berangkat dari pengandaian bahwa hukum alam, seperti
juga hukum lainnya, berbasis kewajiban. Tiada hukum tanpa kewajiban yang
mendahului keberadaannya.
Hukum dan Lingkungan Fisik
Teori
Mostesquieu
Mostesquieu
berpendapat bahwa hukum adalah soal jenis-jenis hukum. Menurutnya, semua
makhluk termasuk manusia mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Pertama, hukum
alam yang jelas tidak dapat di ubah dan dipertetangkan. Kedua, hukum agama yang
berasal dari Tuhan. Ketiga, hukum moral dari ahli filsafat dimana hukum ini
dapat dibuat dan diubah. Keempat, hukum politik dan sipil. “hukum sipil” adalah
produk produk civil state yang bernuansa non-politik.
Hukum Itu Kehendak Etis Umum
Teori
Rousseau
Rousseau
melihat keberadaan sejati manusia sebagai oknum yang memiliki otonomi etis.
Menurut Rousseau suatu norma hukum memiliki nilai kewajiban dan absah mengikat,
bukan melulu karena diciptakan dengan partisipasi bebas dari manusia yang
tunduk padanya. Lebih dari itu ia harus benar-benar mencerminkan kemauan
bersama dari orang-orang bebas tersebut. Rakyatlah yang berdaulat, bukan badan
legislasi itu sendiri. Jelaslah bahwa hukum merupakan “pribadi moral” dan
“pribadi publik” yang berasal dari kontrak sosial dan melindungi kekuasaan
bersama disampin kekuasaan dan milik pribadi.
Hukum Itu Kaidah Menggapai Simpati
Teori
David Hume
Menurut
Hume, tidaklah manusia ditentukan oleh hasrat, bukan oleh rasio. Menurut Hume,
segala sesuatu yang memberi kebahagiaan bagi masyarakat, akan dengan sendirinya
disambut dengan aprobasi (penerimaan baik). Jadi dapat disimpulkan, hukum bagi
Hume merupakan alat pencapaian cita-cita sosial. Cara yang dimaksud Hume adalah
melalui prinsip-prinsip hukum alam, yakni keterjaminan kepemilikan, tidak
menguasai barang secara berlebihan, perolehannya harus dilakukan secara halal,
pemindahannya harus berdasarkan kesepakatan dan berusaha setia pada janji.
Hukum Itu Penyokong Kebahagiaan
Teori
Jeremy Bentham
Teori
dari Jeremy Bentham ini adalah individualisme utilitarian. Katanya, alam telah
menempatkan umat manusia dibawah pemerintahan dua penguasa, yakni suka dan
duka. Doktrin Bentham tentang manusia sebenarnya sudah kita temukan pada
pemikiran Hume sebelumnya bahwa tindakan manusia terkait dengan hasrat.
5. Teori Hukum Abad ke-19
Situasi
zaman abad ke-19 ditandai oleh beberapa kecenderungan utama. Pertama,
terjadinya revolusi sosial ekonomi, terutama akibat revolui industri. Kedua,
munculnya penolakan terhadap rasionalisme universal abad sebelumnya yang
dianggap cenderung mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Ketiga,
hampir bersamaan dengan historisme, muncul pada pemikiran evolusionisme yang
berusaha melacak perkembangan kebudayaan manusia dari tradisional ke modern.
Pemikir utama arus ini adalah Sir Henry Maine dan durkheim.
Hukum Itu Kepentingan Orang
Berpunya
Teori
Karl Marx
Menurut
Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Faktanya hukum
melayani kepentingan “orang berpunya”. Karl Marx berupaya menganalisis
proses-proses ekonomi dalam intern kapitalis sebagai kompleks krisis yang akan
menghancurkan sistem kapitalis itu sendiri yang kemudian akan melahirkan
masyarakat sosialis.
Hukum Itu Jiwa Rakyat
Teori
Savigny
Menurut
Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter
suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu “hukum
adat” yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai
hukum kehidupan yang sejati.
Keberatan
Savigny terhadap kodifikasi hukum Jerman juga didasarkan pada pertimbangan yang
lebih realistis. Menurutnya, kodifikasi hukum selalu membawa serta suatu efek
negatif, yakni menghambat perkembangan hukum. Menurut Savigny sejarah itu
berjalan terus dan berkembang setiap saat.
Hukum Itu Fusi Kepentingan
Teori
Jhering
Hukum
itu untuk sebagian memang jiwa bangsa. Bagian yang lain adalah hasil adopsi
dari unsur-unsur luar, baik akibat pergaulan dengan bangsa lain maupun karena
bangsa itu memang punya kepentingan dengan unsur luar itu. Itulah teori Jhering
yang sekaligus membantah Savigny. Toh setiap bangsa itu ada egonya, kata
Jhering.
Persis
di titik inilah, ideologi utilitarisme Jhering meluas jelas. Teori hukum
Jheringpun berbasis ide manfaat.
Hukum Itu Produk Adaptasi Sosial
Teori
Henry S. Maine
Maine
dikenal dengan teorinya Movement from status in contract. Teori evolusi ini
dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia. Dari
sana, ia temukan dua tipe masyarakat, yakni : (i). Statie Sosietis (Cina dan
India), (ii). Progressive Societis (Eropa). Dalam masyarakat yang statis, hukum
bertugas meneguhkan hubungan antar status. Sebaliknya, pada mayarakat yang
progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak antar prestasi.
Hukum Itu Moral Sosial
Teori
Emile Durkheim
Teori
Durkheim ini, menempatkan hukum sebagai moral sosial. Durkheim sendiri bukanlah
tergolong jajaran filsuf klasik yang melulu berurusan dengan persoalan moral.
Menurut Durkheim, sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial.
Solidaritas sosial itu sendiri merupakan jenis yang abstrak. Ia merupakan “roh”
yang mengikat orang-orang pada “kerangka keyakinan” bersama dalam membangun
hidup yang terintegrasi.
Hukum Itu Tata Hukum
Teori
Austin
Bagi
Austin, tata hukum itu nyata dan berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan
sosial, bukan pula karena cermin keadilan dan logos, tetapi karena hukum itu
mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang.
John
Austin sebagai analytical legal positivism-nya, menjadi penganut utama aturan
positivisme yuridis. Austin bertolak pada kenyataan bahwa terdapat suatu
kekuaaan yang memberikan perintah-perintah, dan ada orang yang pada umumnya
menaati perintah-perintah tersebut.
Hukum Itu Ide Umum Aturan Positif
Teori
Ernst Bierling
Hukum
itu, ide umum tata hukum positif itulah inti dari teori dari ajaran hukum.
Ajaran hukum umum mencari ide-ide hukum yang berlaku dimana-mana karenanya
dianggap universal dan tetap.
Tapi
ide-ide itu bukan diambil dari isi atau materi hukum positif, tetapi dari aspek
formal yuridisnya. Alasannya sederhana. Materi hukum selain cenderung tidak
tetap dan berubah-ubah juga karena ia berasal dari sumber-sumber non yuridis.
6.
Teori Hukum Abad Ke-20
Humanisasi
hidup dan berkeadilan sosial tampil sebagai “kekuasaan” baru yang dihadapi
manusia di abad ke-20. Persoalan sekitar dua hal itu, sangat beragam. Pertama,
tragedi sosial dan kemanusiaan akibat perang dunia I dan II. penindasan kejam
dari rezim politik yang totaliter di era Hitler dan Stalin disamping
tragedi-tragedi lain tentang kemanusiaan. Kedua, kian meluasnya
struktur-struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi yang meminggirkan dan
menindas kelompok-kelompok periferi.
Ketiga,
bersamaan dengan kian kuatnya peran negara dan hukum dalam segala aspek
kehidupan sosial juga memunculkan beragam sikap.
A. Teori Neo-Kantian
Dimana
Letak Sifat Normatif Dari Hukum ?
Ciri
khas pemikir Neo-Kantian adalah, mencari suatu pengertian transedental tentang
hukum, yaitu sifat normatifnya.
Neo-kantian
merupakan reaksi terhadap positivisme. Neo-kantian menolak tredo positivisme
yang terlampau empiristis. Neo kantian sendiri, terbagi dalam dua varian.
Pertama, aliran Marburg yang memberi perhatian pada penalaran logis (menurut
logika ilmu alam) dalam teorisasinya. Kedua, aliran Baden yang cenderung
memberi perhatian pada nilai-nilai, dan atas refleksi tentang ilmu-ilmu
kultural.
Hukum Itu Normatif, Karena Kehendak
Yuridis
Teori
Rudolf Stammler
Mengenai
teorinya tentang kemauan, Stammler beranjak dari asumsi “tindakan bertujuan”.
Katanya : “orang mau berbuat sesuatu, pasti untuk mengejar suatu tujuan”. Jadi
tujuan menentukan perbuatan. Bagi Stammler, perbuatan merupakan “materi dari
kemauan”, sedangkan tujuan adalah “bentuk”.
Hukum Itu Normatif karena Grundnorm
Teori
Hans Kelsen
Kelsen
bertolak dari dualisme Kant antara “bentuk” dan “materi”. Kelsen mengamini
perbedaan antara bidang “ada” (sein) dan bidang “harus” (sollen) sebagai suatu
unsur dari pengetahuan manusia. Bidang sein berhubungan dengan alam dan fakta,
sedangkan bidang sollen justru berkaitan dengan kehidupan manusia.
Menurut
Hart, secara umum pengertian Austin memang tepat, sebab benarlah bahwa
pemerintah yang disebut hukum, dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa dan bahwa
perintah-perintah itu biasanya ditaati.
Hukum Itu Normatif, Karena Nilai
Keadilan
Teori
Gustav Radbruch
Dalam
mengkonstruksi teorinya, Radbruch bertolak dari tesis mashab Baden yakni
kebudayaan. Bagi Radbruch yang mengikuti Lask, kebudayaan itu adalah
nilai-nilai manusia. Baik pengetahuan, seni, moralitas maupun hukum adalah
bagian dari kebudayaan. Menurut Radbruch gagasan hukum sebagai gagasan kultural
tidak bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtsidee yakni keadilan.
B. Teori Dari Kubu Neo-Positivisme
Hukum
Itu cermin Rasionalitas dan Otoritas
Weber
membuat deskripsi-deskripsi analitis tentang tahap-tahap perkembangan hukum.
Weber menggunakan ukuran “tingkat rasionalitas” dan “model kekuasaaan” untuk
mengkonstruksi teorinya tentang hukum.
Disini
ada tiga tingkat rasionalitas, yakni : (i). Substantif-irasional, (ii).
Subtantif dengan sedikit kandungan rasional, (iii). Rasional penuh.
Weber
juga menggunakan tipe otorites (model kekuasaan), sebagai basis teorinya
mengenai hukum.
Tipe
pertama adalah tipe kharismatik. Tipe kedua, tipe tradisional yang bertumpu
pada kepercayaan menurut tradisi terhadap orang yang dianggap layak memimpin
masyarakat. Sedangkan tipe ketiga adalah otoritas yang rasional.
Masing-masing
tipe otoritas itu, menentukan model penyelenggaraan hukum ( baik law-making,
law-finding maupun law-enforcement).
Rheinstein
yang mengedit dan menerjemahkan karya Weber menurunkan tipologi Weber secara
singkat, demikian :
·
Irasional, yaitu tanpa oleh
aturan-aturan umum
·
Formal : dipandu oleh hal-hal yang
diluar kontrol/kemampuan akal
·
Substantif : dipandu oleh reaksi
terhadap kasus individual
·
Substantif dipandu oleh prinsip-prinsip
dari suatu sistem ideologi disamping hukum itu sendiri
Formal
:
Secara
ekstrinsik, yaitu dengan menganggap bahwa suatu kepentingan itu berasal dari
kejadian-kejadian eksternal yang dapat diamati oleh indera
Secara
logis, yaitu dengan mengungkapkan aturan-aturan dengan penggunaan konsep-konsep
abtrak yang diciptakan oleh pemikiran hukum itu sendiri dari dipahami
sebagaimana suatu sistem yang lengkap.
Rasional,
yaitu dengan dipandu oleh aturan-aturan umum :
Menurut
Weber, hukum barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang paling rasional
ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional dibidang kehakiman dan
kepengacaraan.
Hukum Itu Tatanan Karya Sosial
Teori
Leon Dugit
Duguit
menempatkan solidaritas sosial sebagai dasar konstruksi teori tentang hukum.
Solidaritas sosial itu, membangkitkan dua rasa, yaitu : (i). Rasa keharusan
sosial, (ii).Rasa keadilan.
Hukum Itu Aturan Yang Hidup
Teori
Eugen Ehrlich
Ehrlich
membangun teorinya tentang hukum dengan beranjak dari ide masyarakat. Menurut
Ehrlich masyarakat adalah ide umum yang dapat dignakan untuk menandakan sebuah
hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga sosial, negara, bangsa, sistem
ekonomi dunia dan lain sebagainya.
Hukum Itu Gejala Sosial
Teori
Theodor Geiger
Geiger
membedakan dua macam norma. Yang satu “norma yang sebenarnya”. Dan yang lain
adalah norma “yang tidak sebenarnya”. Menurut Geiger, realitas suatu norma
(“norma yang sebenarnya”) terletak dalam kenyataan bahwa norma itu terjelma
dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang akan
bersaksi bila norma itu dilanggar. Hukum harus dipandang sebagai
kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis juga.
Hukum Itu Proses Penguatan
Teori
Maurice Hauriou
Teori
Hauriou berporos pada peran institusi untuk meneguhkan niat orang menaati
hukum. Hauriou memulai uraiannya dari gambaran tentang manusia. Mula-mula ia
menyesuaikan diri begitu saja dengan perkembangan itu, tetapi sudah menjadi
sadar akan diri sendiri, ia ikut dalam perkembangan realitas itu secara sadar
dan bebas.
Hukum Itu Kenyataan Normatif
Teori
George Gurvitch
Ide
sentral dalam teori Gurvitch ialah kenyataan normatif. Menurut Gurvitch
sejumlah orang baru mencapai kelompok yang riil bila mereka mengalami
kelompoknya sebagai suatu “kita”. “Aku” dan “engkau” menjadi bersatu sebagai
“kita”.
Hukum Itu Mekanisme Integrasi
Teori
Talcott Parsons
Parsons
menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem, dalam sistem sosial yang lebih
besar. Disamping hukum, terdapat sistem lain yang memiliki logika dan fungsi
yang berbeda-beda. Sub sistem yang dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi.
Politik
bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Ekonomi menunjuk pada sumber
daya materil yang dibutuhkan untuk menopang hidup sistem. Empat sistem tersebut
selain sebagai realitas yang melekat pada masyarakat juga serentak merupakan
tantangan yang harus dihadapi tiap unit kehidupan sosial.
Hukum Itu Keseimbangan Kepentingan
Teori
Roscoe Pound
Pragmatisme
Amerika merupakan basis ideologi teori pound tentang keseimbangan kepentingan.
Bagi Pound hukum tidak boleh mengawang dalam konsep-konsep logis analitis
maupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuris yang terlampau ekslusif.
C. Teori Dari Kubu Realisme Hukum
Realisme
hukum sendiri bercabang dua, yakni realisme hukum Amerika dan realisme hukum
Skandinavia. Realisme hukum Amerika menempatkan empiris dalam sentuhan
pragmatis. Realisme hukum Skandinavia menempatkan empirisme dalam sentuhan
psikologi.
Hukum Itu Perilaku Hukum
Teori
Oliver Holmes
Oliver
Holmes dan Jerome Frank hukum yang termuat dalam aturan-aturan hanya suatu
generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes seorang pelaksana hukum
sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Aturan-aturan
hukum dimata Holmes, hanya menjadi salah satu factor yang patut dipertimbangkan
dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal kemanfaatan dan keutamaan
kepentingan social, misalnya menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam
mengambil keputusan “yang berisi”.
Hukum itu Rasa Wajib/Takut
Teori
Alf Ross
Ross
menempatkan hukum dalam kerangka fisio-fisis. Menurut Ross semua gejala yang
muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala
psiko-fisis.
Menurut
Ross, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan
yuridis dan sanksinya.
D. Teori dari Kubu Neo-Maxis
Hukum itu Kepentingan Orang
Berkuasa
Teori
Ralf Dahrendorf
Pembentukan
kelas yang dibahas Dahrendorf lebih didasarkan kekuasaan daripada kepemilikan
sarana-sarana produksi. Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana
produksi tidak sepenting mereka yang memiliki kekuasaan.
Menurut
Dahrendorf, adanya pertentangan soal legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan
antar kelas itu.
Hukum itu Kepentingan Kaum Lelaki
Teori
Feminist Legal Theory
Bagi
teori ini, hukum merupakan tatanannya kaum adam yang meminggirkan kaum hawa.
Sifat hukum yang bias itu, berdimensi structural.
E. Teori dari Kubu Eksistensialis
Eksistensialisme
bertolak dari eksistensi manusia sebagai kenyataan dasar dari semua pikiran.
Munculnya eksistensialisme merupakan reaksi terhadap rasionalisme Aufklarung.
Hukum itu Wujud Eksistensi dan
Sosialitas
Teori
Werner Maihofer
Teori
Maihofer tentang hukum bertitik tolak dari kegandaan ontologi manusia yakni
sebagai individu eksistensial dan sebagai pribadi warga social. Keberadaan
manusia akan hidup masyarakat menghasilkan hukum alam institusional yang
meliputi semua peraturan tentang fungsi orang dalam masyarakat.
Maihofer
mengaku sebagai seorang penganut eksistensialisme Heidegger. Bagi Heidegger
manusia merupakan Dasein.
F. Teori dari Kubu Aliran Hukum
Alam Abad ke-20
Norma-norma
hukum harus dijaga sedemikian rupa agar tetap mencerminkan prinsip-prinsip
etika, humanisasi hidup dan keadilan. Hukum yang konkret ini adalah hukum yang
sesuai dengan situasi hidup yang sebenarnya, entah relasi hidup antara orang
entah situasi konkret individual warga negaranya.
Hukum itu Keinsyafan Keadilan
Teori
W.A.M. Luypen
Menurut
Luypen, apa yang disebut tatahukum belum tentu dapat disebut hukum. Sebab bias
terjadi, terdapat tatahukum yang tidak mewajibkan, yakni kalau tatahukum itu
tidak menurut norma-norma keadilan.
Bagi
Luypen yang menganut fenomenologi
eksistensial, kedua pandanaan ektrim itu ditolak. Dari perspektif fenomenologi
eksistensial seperti dianut Luypen manusia dipandang sebagai subyek yang
memiliki solidaritas dan sejarah.
Hukum itu Perlu Tafsiran
Kontekstual
Teori
Francois Geny
Francois
Geny menganggap hukum analitis sebagai corong aturan belaka, ditampilak sebagai
dunia penuh kreativitas oleh Geny. Menurut Geny, adalah libre recherché
scientifique yang bertopang pada tiga prinsip : (i). otonomi kemauan, (ii).
Kepentingan umum, (iii), keseimbangan kepentingan. Dari metode inilah Geny lalu
membangun teori tentang metode penafsiran hukum.
7.
Teori Hukum di Masa Transisi Hukum Responsif
Teori
Nonet-Selznick
Nonet-Selznick
mengajukan model hukum responsif. Perubahan sosial dan keadilan sosial
membutuhkan tatanan hukum yang responsif. Nonet dan Salznicklewat hukum responsif,
menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial
dan aspirasi publik.
Hukum Progresif
Teori
Satjipto Raharjo
Teori
hukum progresif, tidak terlepas dari gagasan prof Satjipto Raharjo. Menurutnya,
pemikiran hukum kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia.
Dengan filosofi tersebut maka manusia menjadi penentu dari titik orientasi
hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu,
hukum itu bukanlah merupakan isntitusi yang lepas dari kepentingan manusia.
Peraturan
yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif
untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka
dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.
Seperti
diketahui Rahardjo, bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi
dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada diluar dirinya.
Menurut
Rahardjo, antara hukum progresif dengan legal realizm juga memiliki kemiripan
logika, yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum
itu sendiri.
Teori Hukum Murni
Bagi
kalangan sarjana hukum sudah barang tentu mengenal Hans Kelsen, dengan teori
hukum murninya. Dengan teori hukumnya murninya sampai sekarang masih menjadi
perdebatan di masing-masing kalangan sarjana hukum, apalagi bagi yang mempunyai
aliran sosiologi hukum. karena menurut kaum sosiologi hukum ajaran Hans Kelsen
sama saja membunuh keadilan yang ada tertanam dalam nilai-nilai budaya.
Perdebatan
tersebut diatas, nanti akan dibahas dalam tulisan selanjutnya. Pada dasarnya
Inti ajaran Hans kelsen terkait dengan Hukum Murni ada tiga konsep, yaitu: (Sadjipto
Raharjo : 163 dalam Huda, M. N. 2011:)
1.
Ajaran murni hukum Hans Kelsen ingin
membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral,
sosiologis, politik, dan sebagainya.
2.
Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk
yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum
tertentu. Jadi antara Grundnorm yang ada
pada tata hukum A tidak mesti sama dengan Grundnorm pada tata hukum B.
Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum
itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
3.
Ajaran tentang Stufenbautheorie Peraturan
hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida,
dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah
abstrak dan makin kebawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula
berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat”
dilakukan.
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M.
Manulang. 2008. Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana.
Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta. 2002.
Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Darmadi, Sugiyanto. 2001. Kedudukan Ilmu
Hukum dalam Ilmu dan Filsafat. Bandung: Mandar Maju.
Huda,
M. N. 2011. Teori Hukum Murni. http://muhammadnurulhuda15.blogspot.com/2011/10/teori-hukum-murni.html.
Diakses pada 17 Juni 2013
Putra, H. 2011. Teori Hukum Dari Masa Ke
Masa. http://herlambangputra.wordpress.com/2011/01/07/teori-hukum-dari-masa-ke-masa-bernard-l-tanya-et-al/.
Diakses pada tanggal 17 Juni 2013
Sidharta, Arief. 2007. Meuwissen Tentang
Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Bandung:
Refika Aditama.
0 Response to KAITAN FILSAFAT HUKUM DAN PERUNDANG UNDANGAN, BESERTA PERKEMBANGAN TEORI HUKUM DARI MASA KEMASA
Posting Komentar