Esensi Shalat Fardhu
Tugas AIK III
MAKALAH
ESENSI SHALAT FARDHU
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
OLEH:
A
M TAUFIK AMALROS
STKIP
MUHAMMADIYAH BONE
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Secara lahir, shalat
dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah, sujud, duduk dsb. Kesemuanya
melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan fisikal. Karena
semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam ayat tersebut
disebut shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian
pertama, yakni bagian lahiriah (Brawijaya.2012:2) sementara Saputra (2012:1)
mengatakan Shalat secara bahasa berarti berdo’a. dengan kata lain, shalat
secara bahasa mempunyai arti mengagungkan. Sedangkan pengertian shalat menurut
syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu, yang dimulai
dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ucapan di sini adalah
bacaan-bacaan al-Qur’an, takbir, tasbih, dan do’a. Sedang yang dimaksud dengan
perbuatan adalah gerakan-gerakan dalam shalat misalnya berdiri, ruku’, sujud,
duduk, dan gerakan-gerakan lain yang dilakukan dalam shalat. Sedangkan menurut
Hasbi ash-Shiddieqy shalat yaitu beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada
Allah, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.
Abdulrahim (2011:1)
mengatakan, dalam keseharian, kita mungkin masih sering menemukan orang yang
ribut hanya karena tata cara shalat antara dua orang berbeda. Akan tetapi,
dalam Islam, hal itu dinyatakan sebagai hal furu’ (cabang), bukan ushul
(inti/esensi).
Rumusan
Masalah
Dari pemaparan latar belakang
diatas, penulis merumuskan masalah: Apakah sebenarnya esensi shalat itu?
BAB
II
PEMBAHASAN
Ustadz Mahdi Idris, Lc.
Mengatakan di dalam khutbahnya Jumat (24 Juni 2011) di Masjid Al-Ikhlas
Sukaraja II Bandung menyebutkan ada 3 esensi shalat, yaitu (Abdulrahim.2011:1)
·
Tawadhu’
·
Qana’ah
·
Wara’
Tawadhu’
Tawadhu’ di sini ada dua tataran yaitu:
Secara vertikal,
artinya merendahkan diri di hadapan Allah SWT, tercermin dengan kepasrahan kita
dan kalimat yang diucapkan setiap akan memulai gerakan, “Allahu Akbar.”
Secara horisontal,
artinya merendahkan hati kepada sesama manusia dan lingkungan sekitar,
tercermin dengan kalimat, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” yang
diucapkan saat salam dan menoleh ke kanan serta ke kiri (Abdulrahim.2011:1).
Cara khusyu’ dan tawadhu’ dalam shalat
menurut Istiqomah (2008:1):
·
Menyadari bahwa shalat yang
diperintahkan Allah itu adalah satu kewajiban hamba yang harus dilaksanakan
·
Meyakini bahwa menginsafi bahwa shalat
itu menjadi pokok keselamatan dan
kebahagiaan manusia dunia akhirat
·
Mengerti serta memahami akan arti serta
maksud bacaan shalat
·
Bersikap tenang dalam shalat
·
Mengingat mati dalam shalat
·
Membaca secara tartil dan merendahkan
suara
·
Meyakini bahwa Allah akan menerima
shalat yang dikerjakan
·
Memandang tempat sujud
·
Menggerak-gerakkan telunjuk
·
Tidak mengenakan pakaian bergambar,
bertuliskan dan berwarna-warni
·
Tidak melaksanakan shalat di belakang
makanan yang mengundang selera
·
Tidak melaksanakan shalat pada saat
menahan kencing dan buang air besar
·
Tidak melaksanakan shalat pada saat
mengantuk
·
Tidak melaksanakan shalat di belakang
orang yang sedang berbincang-bincang
·
Tidak menoleh-noleh dalam shalat
·
Tidak mengangkat pandangan ke langit
·
Tidak meludah dalam shalat
·
Melakukan shalat dengan pembatas
·
Meragamkan pembacaan surat-surat dalam
shalat
Qana’ah
Adapun qana’ah, ada tiga arti antara
lain:
- Syukur.
Allah SWT telah memberikan banyak nikmat kepada kita sebagai makhluk-Nya.
Untuk itu sudah seharusnya dan sepantasnya kita bersyukur atas
nikmat-nikmat yang telah diberikan.
- Ridha.
Sebagai manusia, kita diberi akal pikiran untuk bertindak, namun ada
banyak hal berupa ketentuan Allah yang tidak dapat kita lawan. Oleh karena
itu, kita harus ridha akan ketentuan-ketentuan tersebut.
- Sabar.
Setiap manusia mendapatkan ujian dalam hidupnya. Tujuannya? Bila dijawab
dengan bahasa kita sehari-hari, agar kita jadi pribadi yang lebih baik;
dan jalan terbaik untuk melewati ujian tersebut adalah dengan bersabar
melewatinya.
Tentang tiga hal ini Allah berfirman dalam Hadits
Qudsi yang kira-kira artinya sebagai berikut:
“Akulah Allah, tiada Tuhan melainkan
Aku. Siapa saja yang tidak sabar menerima ujian dari-Ku, tidak bersyukur atas
nikmat-Ku, dan tidak ridha atas ketentuan-Ku, maka bertuhanlah kepada Tuhan
selain Aku.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir melalui jalur Abu Hind
al-Dari) dalam (Abdulrahim.2011:1).
Qanaah ialah menerima dengan cukup.
Qanaah itu mengandung lima perkara:
·
Menerima dengan rela akan apa yang ada.
·
Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang
pantas, dan berusaha.
·
Menerima dengan sabar akan ketentuan
Tuhan.
·
Bertawakal kepada Tuhan.
·
Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
Itulah yang dinamai Qanaah, dan itulah
kekayaan yang sebenarnya.
Orang yang mempunyai
sifat qanaah telah memagar hartanya sekadar apa yang dalam tangannya dan tidak
menjalar fikirannya kepada yang lain. Barangsiapa yang telah beroleh rezeki,
dan telah dapat yang akan dimakan sesuap pagi sesuap petang, hendaklah
tenangkan hati, jangan merasa ragu dan sepi. Tuan tidak dilarang bekerja
mencari penghasilan, tidak disuruh berpangku tangan dan malas lantaran harta
telah ada, kerana yang demikian bukan qanaah, yang demikian adalah kemalasan.
Bekerjalah, kerana manusia dikirim ke dunia buat bekerja, tetapi tenangkan
hati, yakinlah bahawa di dalam pekerjaan itu ada kalah dan menang. Jadi tuan
bekerja lantaran memandang harta yang telah ada belum mencukupi, tetapi bekerja
lantaran orang hidup tak boleh menganggur.
Hal ini kerap
menerbitkan salah sangka dalam kalangan mereka yang tidak faham rahasia agama.
Mereka lemparkan kepada agama suatu tuduhan, bahwa agama memundurkan hati
bergerak. Agama membawa manusia malas, sebab dia sentiasa mengajak umatnya
membenci dunia, terima saja apa yang ada, terima saja takdir, jangan berikhtiar
melepaskan diri. Sebab itu, bangsa yang tidak beragama beroleh kekayaan, bangsa
yang zuhud terlempar kepada kemiskinan katanya (Nurdin.2008:1-2).
Wara’
Wara’ di sini berarti
sikap berhati-hati dalam setiap langkah kehidupan, yaitu meninggalkan hal-hal
yang tidak jelas hukum dan hakikatnya. Sebagaimana kita harus meninggalkan hal
yang dapat merusak ke-khusyu-an dalam shalat, kita pun harus meninggalkan hal
yang dapat merusak nilai-nilai yang baik dalam kehidupan.
Wara’ (wawu ro’ ‘ain/ ورع
) artinya menghindarkan diri dari setiap syubhat (samar, antara yang halal dan
yang haram) dan mengoreksi diri sendiri (muhasabatun nafsi) setiap saat.
Demikian menurut Yunus bin Ubaid seperti dikutip Syeikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
dalam Kitab Madarijus Salikin.
Pengertian yang lebih
luas lagi dikutip pula, yakni dari pengarang Manazilus Saairien منازل السائرين
bahwa wara’ adalah menjaga diri semaksimal mungkin secara waspada, dan menjauhi
dosa karena pengagungan. Artinya, menjaga diri dari hal-hal yang haram dan
syubhat serta hal-hal yang bisa membahayakan, semaksimal mungkin untuk dijaga.
فصل قال صاحب المنازل الورع : توق مستقصى على
حذر وتحرج على تعظيم يعني أن يتوقى الحرام والشبه وما يخاف أن يضره أقصى ما يمكنه من
التوقي لأن التوقي والحذر متقاربان إلا أن التوقي فعل الجوارح و الحذر فعل القلب فقد
يتوقى العبد الشيء لا على وجه الحذر والخوف ولكن لأمور أخرى : من إظهار نزاهة وعزة
وتصوف أو اعتراض آخر كتوقي الذين لا يؤمنون بمعاد ولا جنة ولا نار ما يتوقونه من الفواحش
والدناءة تصونا عنها ورغبة بنفوسهم عن مواقعتها وطلبا للمحمدة ونحو ذلك
وقوله : أو تحرج على تعظيم يعني أن الباعث
على الورع عن المحارم والشبه إما حذر حلول الوعيد وإما تعظيم الرب جل جلاله وإجلالا
له أن يتعرض لما نهى عنه (مدارج السالكين – (ج 2 / ص 23)
Menurut pengarang
Manazilus Saairien tersebut, (di sini diartikan secara ringkas) menjaga diri
dan waspada merupakan dua makna yang hampir serupa. Hanya saja menjaga diri
merupakan perbuatan anggota tubuh, sedangkan waspada merupakan amalan hati.
Adakalanya seseorang menjaga diri dari sesuatu bukan karena takut atau
kewaspadaan, tetapi karena hendak menunjukkan kebersihan diri, kemuliaan dan
kehomatan, seperti orang yang menjaga diri dari hal-hal yang hina dan
keburukan, sekalipun dia tidak percaya kepada Surga dan Neraka. Sedangkan
menjauhi dosa karena pengagungan, artinya dorongan untuk menjauhi hal-hal yang
haram dan syubhat, bisa karena menghindari ancaman atau karena pengagungan
terhadap Allah. Menjauhi kedurhakaan itu bisa karena dorongan takut ataupun
pengagungan. (Madarijus Salikin, juz 2 halaman 23 , lihat buku
terjemahan—ringkasan, hal 154).
Landasan wara’
Pembicaraan masalah wara’, landasan
utamanya di antaranya ayat-ayat sebagai berikut.
يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ
وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ(51)
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan
yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (Al-Mukminun: 51).
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ(4)
Dan pakaianmu, bersihkanlah.
(Al-Muddatstsir: 4).
Menurut Ibnu Abbas,
artinya janganlah engkau mengenakan pada dirimu kedurhakaan dan pengkhianatan. Orang-orang
ِArab biasa mensifati orang yang jujur dan selalu menepati janji dengan sebutan
thohiruts-tsiyab طاهر الثياب(bersih pakaiannya), sedangkan orang yang jahat dan
suka berkhianat disebut danisuts-tsiyab دانس الثياب (kotor pakaiannya).
Ibnu ٍSirin dan Ibnu
Zaid berkata, “ini merupakan perintah untuk membersihkan pakaian dari hal-hal
najis, yang tidak dapat dipergunakan untuk shalat, sebab orang-orang musyrik
tidak biasa membersihkan diri dan juga tidak biasa membersihkan pakaian.”
Ibnu Qayyim menjelaskan,
wara’ dapat membersihkan kotoran hati dan najisnya, sebagaimana air dapat
membersihkan kotoran pakaian dan najisnya. Antara pakaian dan hati ada
kesesuaian dhahir dan batinnya. Maka ada larangan bagi kaum laki-laki memakai
sutera, emas, dan kulit binatang buas, karena berpengaruh terhadap hati, tidak
menggambarkan ubudiyah dan ketundukan.
Setelah memulai dalil
wara’ dengan makanan halal, amal shalih, dan pakaian yang bersih, lalu Ibnu
Qayyim menyebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun
keseluruhan wara’ dalam satu kalimat:
مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا
لا يَعْنِيهِ
Di antara tanda kebaikan Islam seseorang
ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya. (HR At-Tirmidzi dan
Ahmad).
Dijelaskan,
Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup perkataan, pandangan,
pendengaran, berjalan, berpikir, memegang, dan semua gerakan dhahir dan batin.
Pernyataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup semua yang ada dalam wara’.
Ibnu Qayyim mengutip
Sufyan Ats-Tsauri: “Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara’,
yaitu jika ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah.”
Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لا يَرِيبُك
Tinggalkanlah apa yang meragukanmu
kepada apa yang tidak meragukanmu. (HR An-Nasaa’i, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).
Empat tingkatan wara’
Ibnul Jauzi dalam kitab
Minhajul Qoshidin (4 jilid) yang dringkas oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
(Mukhatshor Minhajul Qoshidin, 2 jilid) membagi wara’menjadi 4 tingkatan.
Tingkatan orang yang
menjauhi segala apapun yang pengharamannya telah ditetapkan fatwa ulama. Hal
ini tidak perlu contoh lagi.
Tingkatan orang yang
menjauhi setiap syubhat yang sebenarnya tidak harus dijauhi, tetapi dianjurkan
untuk dijauhi, seperti sikap dalam menghadapi syubhat. Ada sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لا يَرِيبُك
Tinggalkanlah apa yang meragukanmu
kepada apa yang tidak meragukanmu. (HR An-Nasaa’i, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).
Menjauhi sebagian
hal-hal yang halal karena khawatir akan menjurus kepada haram.
Menjauhi segala sesuatu
yang sama sekali bukan karena (dilarang) Allah. Ini merupakan wara’ para
shiddiqien. Sebagai contohnya, seperti diriwayatkan dari Yahya bin Yahya
An-Naisabury Rahimahullah bahwa suatu kali dia meminum obat, lalu isterinya
berkata kepadanya, “Andaikata saja engkau mau berjalan-jalan sebentar di
perkampungan, agar obat itu dapat bekerja dengan baik…” Maka dia menjawab, “Itu
namanya langkah-langkah kaki yang tak dikenal, sementara aku senantiasa
menghisab (memperhitungkan) diriku selama tiga puluh tahun.”
Ibnul Jauzi
berkomentar, orang semacam ini menilai, langkah-langkah kakinya (seperti
suruhan isterinya) itu tidak ada tujuan yang bernuansa keagamaan. Karena itu
dia tidak melakukannya. Ini merupakan gambaran wara’ yang mendeteil. Yang
pasti, wara’ dalam pandangannya adalah hal yang harus diprioritaskan dan harus
ada tujuannya.
Memang ada beberapa
tingkatan lagi yang dikaitkan dengan prioritas niat ini. Siapa yang lebih
hati-hati dalam masalah ini, tentu dia akan lebih cepat saat melewati shirot
pada Hari Qiyamat dan lebih ringan bebannya. Tingkatan kedudukannya di Akherat
juga berbeda-beda, tergantung tingkatan masing-masing dalam wara’nya. Serupa
dengan tingkatan neraka bagi orang-orang dhalim karena melanggar yang haram.
Silakan engkau berhat-hati dan silakan engkau meremehkan masalah ini, karena
semuanya kembali kepada dirimu sendiri.
Demikian Ibnul Jauzi yang kitabnya
Minhajul Qoshidin (4 jilid) diringkas oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
Tuntunan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
Wara’ atau bahasa pesantren Jawa wirangi
ini adalah berlandaskan tuntunan dari praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ – رضى الله
عنهما – تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ ، فَجَعَلَهَا فِى فِيهِ ، فَقَالَ النَّبِىُّ
– صلى الله عليه وسلم – « كِخٍ كِخٍ – لِيَطْرَحَهَا ثُمَّ قَالَ – أَمَا شَعَرْتَ
أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ » . (صحيح البخارى - (ج 6 / ص 3))
(Ketika) Hasan
radhiyallahu ‘anhu (cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) (masih kecil), ia
pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah (zakat), lalu menjadikannya
(masuk) ke dalam mulutnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan:
Kikh kikh . “muntahkan,
muntahkan.” – agar membuangnya kemudian beliau bersabda–: “Apakah kau tidak
merasa bahwa kami tidak makan sedekah.” (HR Al-Bukhari dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu).
Diriwayatkan bahwa pada
suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sulit tidur. Kemudian
isteri beliau bertanya, “apa yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak bisa tidur?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
« إِنِّى وَجَدْتُ تَحْتَ جَنْبِى تَمْرَةً
فَأَكَلْتُهَا وَكَانَ عِنْدَنَا تَمُرٌ مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَخَشِيتُ أَنْ تَكُونَ
مِنْهُ ».
“Sesungguhnya saya
menemukan di bawah bahu saya sebutir kurma, maka saya makan, sedangkan di sisi
kami ada kurma-kurma dari kurma sedekah (zakat), maka saya takut jika kurma
tersebut adalah kurma dari sedekah.” (HR Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma).
Perlu diketahui, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan keturunannya dilarang
menerima sedekah dan zakat, tetapi boleh menerima hadiah.
Dalam hadits lain, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
“Jadilah kamu orang yang
wara’, niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling beribadah.” (HR Al-Baihaqi
dalam Syu’abil Iman dari Abi Hurairah nomor 5750, dikeluarkan pula oleh Ibnu
Majah 4217, berkata Al-Bushiri: Ini isnadnya hasan, Abu Ya’la 5865, dan
Al-Qadha’I nomor 385).
Wara’ salafus sholeh
عن عائشة رضي الله عنها ، قالت : كَانَ لأبي
بَكر الصديق – رضي الله عنه – غُلاَمٌ يُخْرِجُ لَهُ الخَرَاجَ ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ
يَأكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ ، فَجَاءَ يَوْماً بِشَيءٍ ، فَأكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ ،
فَقَالَ لَهُ الغُلامُ : تَدْرِي مَا هَذَا ؟ فَقَالَ أَبُو بكر : وَمَا هُوَ ؟ قَالَ
: كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لإنْسَانٍ في الجَاهِلِيَّةِ وَمَا أُحْسِنُ الكَهَانَةَ ، إِلاَّ
أنّي خَدَعْتُهُ ، فَلَقِيَنِي ، فَأعْطَانِي لِذلِكَ ، هَذَا الَّذِي أكَلْتَ مِنْهُ
، فَأدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ . رواه البخاري
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Abu Bakar mempunyai budak sahaya yang
mengeluarkan kharaj (sesuatu yang diwajibkan tuan atas budaknya untuk dibayar/
ditunaikan tiap hari) untuknya, dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memakan dari
kharajnya itu. Tiba-tiba budak itu pada suatu hari membawa makanan, maka
dimakan oleh Abu Bakar, kemudian budak itu bertanya: “Tahukah kau, apa ini?”
Abu Bakar berkata: “Apa
dia?”
Budak itu berkata:
“Pada masa jahiliyah dulu saya pernah berlagak jadi dukun, padahal saya tidak
mengerti perdukunan, hanya semata-mata mau menipu. Maka kini dia bertemu padaku
mendadak memberi padaku makanan yang kau makan itu.”
Maka segera Abu Bakar
memasukkan jarinya dalam mulut, sehingga memuntahkan semua isi perutnya.
(Shahih Al-Bukhari nomor 3842, dan di Kitab Riyadhus Shalihin bab Wara’ dan
meninggalkan syubhat).
Umar radhiyallahu ‘anhu
pun pernah meminum susu dari unta sedekah karena tidak tahu, kemudian memasukkan
jarinya dan memuntahkannya.
Juga diriwayatkan dari
Khulafaur Rasyidin yaitu Umar radhiyallahu ‘anhu. Ia mendapatkan minyak misk
dari Bahrain, kemudian ia berkata, “Saya menginginkan seseorang wanita
menimbangnya, kemudian akan saya bagi-bagikan kepada orang Islam.” Isterinya,
Atikah, berkata: “Saya bisa melakukannya.” Umar diam. Kemudian Umar mengulangi
perkataannya, dan isterinya kembali menjawab dengan.
Jawaban yang sama.
Kemudian Umar berkata, “Saya tidak ingin kamu meletakkan minyak tersebut di
tanganmu, kemudian kamu berkata bahwa tanganmu berdebu, sehingga kamu mengusap
lehermu dengan tanganmu tersebut, maka bila kamu melakukan itu kamu telah mengambil
sebagian hak orang Islam (Munkar.2009:1-6)
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Tiga hal di atas itulah yang menjadi esensi shalat menurut
Ustadz Mahdi Idris, Lc.; tiga sikap yang wajib dimiliki oleh setiap Muslim
dalam setiap langkah hidup. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa
mewujudkan esensi shalat yang kita lakukan ke dalam kehidupan sehari-hari kita
(Abdulrahim.2011:1).
Wallahu
a’lam bish shawab.
Saran
Penulis mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun demi bertambahnya bahan di dalam pembuatan
makalah ini, agar kedepannya mampu sempurna dan memberikan pengetahuan tentang
esensi shalat fardhu kepada semua yang membaca makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulrahim, A.M.N. 2011. Esensi Shalat. http://ahmadnatsir. wordpress.com /2011 /06 /29 /esensi-shalat/.
Diakses pada 27 Juli 2013
Brawijaya, Raden. 2012. Esensi Shalat. http://rad21hnz.blogspot.com /2012/03/ esensi-sholat.html.
Diakses pada tanggal 27 Juli 2013
Istiqomah. 2008. Cara
Khusyu’ dan Tawadhu’ Dalam Shalat. http: // istiqom4h .
wordpress. Com /2008/08/14/ cara –khusyu –dan –tawadhu -dalam-shalat/.
Diakses pada tanggal 27 Juli 2013
Munkar, Nahi. 2009. Wara’ dan Menjauhi Syubhat. http:// nahimunkar.com
/wara-dan-menjauhi-syubhat/. Diakses pada tanggal
27 Juli 2013
Nurdin, Ibnu. 2008. Pengertian Qana’ah. http://calipso -tasaufmoden .blogspot .com
/2008/10/pengertian-qanaah.html. Diakses pada
tanggal 27 Juli 2013
Saputra, Heru. 2012. Pengertian Shalat. http://pengertian-shalat. blogspot.com
/2012/06/definisi-pengertian-sholat-fardhu.html.
Diakses pada 27 Juli 2013
0 Response to Esensi Shalat Fardhu
Posting Komentar