Pembangunan Hukum Nasisonal
Oleh
Prof. Dr. ROMLI ATMASASMITA, S.H., L.L.M.
PEMBANGUNAN
hukum nasional secara implisit mencerminkan bahwa sampai saat ini di Indonesia
masih terjadi proses perubahan sosial menuju ke arah modernisasi yang dikemas
dalam proses legislasi yang teratur dan berkesinambungan dengan memasukkan
aspek sosiokultural yang mendukung arah perubahan tersebut.
Filosofi
yang dianut dalam pembangunan hukum nasional selama kurang lebih 30 (tiga
puluh) tahun yaitu konsep hukum pembangunan yang menempatkan peranan hukum
sebagai sarana pembaruan masyarakat, belum mengalami perubahan, dan bahkan
belum pernah diuji kembali keberhasilannya. Hal ini merupakan salah satu tugas
utama yang mendesak (sense of urgency) yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah (Departemen Kehakiman), terlebih dengan cepatnya perubahan sistem
politik dan sistem ketatanegaraan yang telah terjadi sejak masa reformasi.
Telah
terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia yaitu
dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi, dan dari sistem sentralistik
ke dalam sistem otonomi. Perubahan paradigma tersebut sudah tentu berdampak
terhadap sistem hukum yang dianut selama ini yang menitikberatkan kepada
produk-produk hukum yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan penguasa
daripada kepentingan rakyat dan produk hukum yang lebih mengedepankan dominasi
kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah.
Di
samping perubahan paradigma tersebut juga selayaknya kita (cendekiawan hukum
dan praktisi hukum) ikut mengamati fenomena-fenomena yang terjadi di dalam
percaturan politik dan kehidupan ketatanegaraan di Indonesia karena terhadap
masalah ini kita sering "alergi" dan mengabaikannya, sedangkan
kehidupan perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan berdampak mendasar
terhadap perkembangan sistem hukum. Fenomena yang saya maksud, pertama,
kecenderungan sistem otonomi menjadi lebih diperluas sehingga dapat menjadi
federalisme; dan kedua, kecenderungan sistem multipartai yang berdampak
terhadap sistem kabinet presidensial yang selama ini dianut dalam UUD 1945.
Kecenderungan ini sudah terjadi dalam kabinet Gotong Royong di bawah Presiden
Megawati yaitu dengan sistem koalisi. Fenomena ketiga, kecenderungan pemisahan
(bukan pembedaan) secara tegas (separation bukan differentiation)
antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Fenomena ketiga sangat berpengaruh
terhadap law making process (LMP), dan law enforcement process
(LEP). Fenomena keempat, masuknya pengaruh-pengaruh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) ke dalam pengambilan keputusan pemerintah dan proses legislasi. Fenomena
kelima, adanya Tap MPR RI yang memerintahkan kepada Presiden untuk melaksanakan
pemberantasan KKN dan menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa semakin
menambah beban pemerintah yang tidak kecil di masa kini dan masa mendatang.
Kelima
fenomena yang telah saya uraikan di atas merupakan bahan kajian untuk
mengantisipasi kemungkinan wujud sistem hukum dan sistem penegakan hukum di
masa yang akan datang. Hal ini saya pandang sangat penting karena kita sering
mengalami inertia dalam mengantisipasi perkembangan kehidupan masyarakat
baik di bidang politik, sosial, maupun ekonomi.
Dalam
awal uraian telah saya kemukakan adanya perubahan sistem hukum yang mendasar. Perubahan dimaksud merupakan konsekuensi logis dari perubahan kedua sistem
terdahulu. Walau demikian, tidaklah berarti bahwa perubahan sistem hukum
tersebut merupakan perubahan yang serta-merta, tetapi harus ada persiapan yaitu
penataan yang bersifat komprehensif dan tidak parsial terhadap sistem hukum
yang kini dianut, seperti halnya proses legislasi yang telah dilaksanakan
pemerintah sejak era reformasi tahun 1980-an.
Pembangunan hukum nasional masa
reformasi saat ini merupakan masa transisi dari sistem pemerintahan sebelumnya
kepada sistem demokrasi yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan hak
asasi manusia, serta membuka akses publik kepada kinerja pemerintahan. Konsepsi
hukum pembangunan yang menitikberatkan kepada hukum sebagai sarana pembaruan
masyarakat pada masa tahun 1970-an tanpa penjelasan lebih jauh mengenai bentuk
atau wujud masyarakat bagaimana yang dikehendaki ke depan, maka konsepsi hukum
demikian akan sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif
dan yudikatif. Hal ini sudah terjadi dengan munculnya peristiwa perampasan
hak-hak rakyat baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial di masa lampau
dengan alasan untuk pembangunan nasional melalui berbagai peraturan
perundang-undangan atau keputusan pemerintah.
Keadaan ini menjadi lebih kompleks
karena reformasi yang dibangun sejak tahun 1998 terbukti sangat cepat tanpa
melalui masa transisi yang cukup untuk mengendapkan dan mendalami esensi
reformasi tersebut baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun HAM. Banyak
pihak termasuk kaum cendekiawan saat itu sudah tidak sabar menunggu dan ingin
cepat agar pemerintah melaksanakan reformasi dalam keempat bidang tersebut
tanpa memberikan kesempatan bernapas, apalagi untuk mengendapkan dan mendalami
secara hati-hati seluruh tuntutan reformasi tersebut. Sementara kita ketahui,
reformasi yang dituangkan ke dalam Ketetapan MPR RI itu pun belum dapat
diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah. Bahkan ada keraguan di antara para
pemikir dan kaum birokrasi tentang validitas bahan-bahan acuan dan data yang
telah digunakan dalam penyusunan Ketetapan MPR RI tersebut yang secara
fundamental telah mengubah arah dan tujuan pembangunan nasional pada umumnya
dan pembangunan hukum pada khususnya. Apalagi, jika dilihat dari segi waktu
yang sangat singkat dengan jumlah anggota MPR RI kurang lebih sebanyak 500
(lima ratus) orang yang berasal dari berbagai partai dan golongan disertai
kepentingan yang bervariasi.
Dalam konteks kondisi seperti itu,
tidaklah dapat dihindari terjadinya anomali mengenai cita reformasi khususnya
di bidang hukum; ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa dalam hubungan
internasional tuntutan reformasi hukum sesuai dengan komitmen internasional
tidak kunjung selesai atau terpenuhi. Keadaan ini
sering dirasakan ketika pemerintah harus berpacu dengan waktu, bahkan dalam
hitungan hari.
Dalam keadaan yang terdesak tanpa
ada pilihan untuk kembali (point of no return) di tengah reformasi di
bidang hukum, sekelompok masyarakat yang menamakan kelompok proreformasi atau
prodemokrasi belum memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang esensi
dari reformasi itu sendiri, bahkan cenderung memahami reformasi itu sebagai
demokrasi an sich, tanpa mempertimbangkan kultur dan karakteristik
budaya bangsa ini. Lebih jauh pemahaman tentang penegakan tatanan kehidupan
yang demokratis seakan dipahami sebagai menghalalkan pemaksaan kehendak
sekalipun dengan cara kekerasan untuk mencapai suatu tujuan di balik alasan
klasik, untuk kepentingan rakyat.
Dalam konteks kondisi demikian,
masalah hukum dalam pembangunan nasional dewasa ini berbeda secara mendasar
dengan kondisi pada saat pertama pembangunan hukum nasional dideklarasikan. Ada
4 (empat) masalah mendasar yang mendesak dan segera harus diselesaikan, yaitu
pertama, masalah reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal
dari hukum lokal (hukum adat dan hukum Islam) ke dalam sistem hukum nasional di
satu sisi dan di sisi lain juga terhadap hukum yang bersifat netral yang
berasal/bersumber dari perjanjian internasional.
Kedua, masalah penataan kelembagaan
aparatur hukum yang masih belum dibentuk secara komprehensif sehingga
melahirkan berbagai ekses antara lain egoisme sektoral dan menurunnya kerja
sama antaraparatur hukum secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh miskinnya visi dan misi
aparatur hukum, antara lain tentang pengertian due process of law, impartial
trial, transparency, accountability, dan the right to counsel.
Ketiga,
masalah pemberdayaan masyarakat baik dalam bentuk meningkatkan akses masyarakat
ke dalam kinerja pemerintahan maupun peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
Kedua hal tersebut dapat dimasukkan sebagai "budaya hukum" dan
merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lain karena peningkatan
akses masyarakat tanpa disertai peningkatan kesadaran hukum akan menimbulkan
ekses pemaksaan kehendak, bahkan memunculkan karakter anarkisme.
Keempat,
masalah pemberdayaan birokrasi atau yang saya sebut, beureucratic
engineering (BE) dalam konteks peranan hukum dalam pembangunan.
Pemberdayaan dilingkungan birokrasi ini sangat penting antara lain di dalam
menjalankan Tap MPR RI Nomor XI/MPR RI/1999 dan Tap MPR RI Nomor VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN serta
bagaimana melaksanakan secara konsisten UU RI Nomor 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Seharusnya
dipahami bentuk esensinya. Sebab kedua Ketetapan MPR RI tersebut memuat
"perubahan sikap" (attitude) penyelenggara negara untuk tidak
melakukan KKN. Masalah keempat ini dalam konteks perkembangan politik dan
penegakan hukum di Indonesia
sangat strategis dan menentukan keberhasilan pembangunan nasional pada umumnya
karena dengan cara demikian ia dapat mengisi kelemahan konsep hukum pembangunan
yang hanya menitikberatkan kepada "hukum sebagai sarana perubahan
sosial" dan tidak mempertimbangkan pendekatan BE. Dengan pendekatan BE,
konsep "panutan" atau "kepemimpinan" (leadership)
dapat diwujudkan secara bersamaan dan sekaligus dengan konsep perubahan dan
pemberdayaan masyarakat (social engineering) melalui hukum sebagai
sarana pembaharuan.
Dengan
demikian, hukum sebagai sarana pembaharuan sekaligus diharapkan dapat
menciptakan harmonisasi antara dua pasangan yaitu birokrasi dan masyarakat
dalam satu wadah yang saya sebut "bureaucratic and social
engineering"; birokrasi memberikan dan melaksanakan keteladanan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan masyarakat mengikuti dan patuh kepada
birokrasi. Sepanjang perjalanan lebih dari 30 (tiga puluh) tahun sejak Orde
Baru sampai sekarang, masalah yang sangat krusial dan menghambat penegakan
supremasi hukum adalah sulitnya diperoleh "keteladanan" atau dalam
arti luas, "kepemimpinan". Hal ini pula yang menghambat kepatuhan
masyarakat dalam memelihara dan mengemban tugas sebagai satu bangsa (one nation)
yang menjunjung tinggi supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas, dan
menjunjung tinggi HAM.
Demikianlah
sekelumit pokok-pokok pikiran saya sebagai salah seorang cendekiawan hukum yang
juga salah seorang birokrat di Departemen Kehakiman dan HAM.***
Penulis
adalah Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Dep. Kehakiman & HAM.
0 Response to Pembangunan Hukum Nasisonal
Posting Komentar