sejarah perkembangan hukum didunia
Berbicara
tentang Hukum Internasional tidak lepas dari topik utamanya adalah Negara dan
Organisasi-organisasi internasional sebagai subyek hukumnya. Negara menjadi
subyek utama dalam teori hukum internasional seperti halnya perorangan (warga)
dalam Hukum Nasional atau Hukum Privat. Dengan semakin berkembangnya Negara
dewasa ini maka aturan dan disiplin internasional menjadi pilar penting dalam
mengatur relasi internasional antar Negara satu dengan yg lainnya. Aturan dan
disiplin internasional antar bangsa inilah yg menjadi poin pembahasan dari
Hukum Internasional.
Hukum
internasional telah muncul berabad-abad lamanya, diketahui sejak 2100 SM telah
ada Hukum yg mengatur hubungan antar dua negara pada wilayah Mesopotamia.
Dengan semakin berkembangnya zaman dan era dari klasik hingga modern, hal ini
mempengaruhi semakin berkembangnya teori Hukum Internasional dari para pemikir
dan ilmuwan dizaman-zaman tertentu. Kajian Hukum internasional bukanlah kajian
hukum yg berumur tua dan bersifat absolut, terhitung sejak berabad-abad sebelum
masehi selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan geografis serta tatanan administratif dan politik antar negara
satu dgn yang lainnya.
Perumusan
hasil kajian atas hubungan antar bangsa-bangsa ini menjadi suatu disiplin
keilmuan yg telah, sedang dan akan terus mengalami sentuhan perubahan selaras
dengan pergeseran iklim politik, sosial dan budaya yang melanda dunia
internasional. Hal ini bukan berarti bahwa hukum internasional saat ini belum
menemukan sedikitpun konsensus ilmiah di bidang hukum yang mengalasi hamparan
pandangan para pakar yang terus dan kian berkembang. Hanya saja prinsip hukum
yang nyaris tersepakati itu berpotensi besar untuk selalu berubah dan bergeser
sejalan dengan kemajuan relasi antar bangsa itu sendiri.
Sebelum
kita masuk pada tujuan pembahasan, perlu kita jelaskan terlebih dahulu
pengertian hukum internasaional itu sendiri. Dewasa ini, pengertian hukum
internasional (international law/al-qonun al-dauli) telah mencapai
konsensus umum untuk diartikan sebagai, sekumpulan peraturan dan norma-norma
hukum yang diberlakukan untuk mengatur hubungan-hubungan subyek hukum
internasional (bangsa-bangsa dan entitas lainnya, seperti lembaga-lembaga dan
organisasi-organisasi internasional), yang menjelaskan tentang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban serta batasan-batasan relasi yg tercipta antara para subjek
hukum internasional dan perusahaan multinasional atau individu (Warga Negara).
Dari devinisi
diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian hukum internasional mencakup 3
prinsip:
-
Prinsip pertama: yang berhak dan tunduk pada hukum
internasional adalah subyek hukum internasional (international
personality/askhos al-qonun al-dauli) yg terdiri atas Negara-negara dan
organisasi-organisasi internasional.
-
Prinsip kedua: hubungan yg berlaku adalah hubungan
internasional (international relation/al-‘alaqat al-dauliyah).
-
Prinsip ketiga : `kaidah-kaidah dan norma-norma
hukum internasional merupakan kaidah wajib (obligation rules/al-qowa’id
al-mulzimah) .
Akar Sejarah Hukum Internasional Publik
Hukum
internasional publik sangat terkait dengan pemahaman dari segi sejarah. Melalui
pendekatan sejarah ini, tidak sekedar proses evolusi perkembangan hukum
internasional dapat diketahui secara faktual kronologis, melainkan juga
seberapa jauh kontribusi setiap masa bagi perkembangan hukum internasioanal.
Sejarah merupakan salah satu metode bagi pembuktian akan eksistensi dari suatu
norma hukum. Hal ini dapat dibuktikan antara lain melalui salah satu sumber hukum
internasional, yaitu kebiasaan/adat istiadat (custom/al-‘urf).
Sistem
Hukum Internasional merupakan suatu produk, kasarnya dari empat ratus tahun
terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek
negara-negara eropa modern dalam hubungan serta komunikasinya dengan
negara-negara lain. Tapi kita pun perlu melihat jauh sebelum perkembangan zaman
Eropa Modern yaitu pada periode klasik, beberapa Negara telah melaksanakan
Hukum Internasional secara tidak langsung, dan adapun para ahli yang lahir
sebelum zaman Eropa Modern tersebut dipandang telah memunculkan dasar-dasar
dari pemikiran mengenai adat-istiadat yang ditaati oleh masyarakat serta adanya
beberapa kasus sejarah, seperti penyelesaian arbitrasi (perwasitan) pada masa
Cina Kuno dan awal Dunia Islam yang memberikan sumbangan terhadap evolusi
sistem modern Hukum Internasional.
Sejarah
Hukum Internasional dalam perkembangannya mengalami beberapa periode evolusi
yang terbilang berkembang dengan cepat dan menarik. Fase-fase tersebut dapat kita
bagi dalam 3 pembahasan; Periode Kuno, Periode Klasik dan Periode Modern:
A. Sejarah Hukum Internasional Kuno:
Permulaan hukum
internasional dapat kita lacak kembali mulai dari wilayah Mesopotamia pada
sekitar tahun 2100 SM, dimana telah ditemukannya sebuah perjanjian pada
dasawarsa abad ke-20 yang ditandatangani oleh Ennamatum, pemimpin Lagash dan
pemimpin Umma. Perjanjian tersebut ditulis diatas batu yang didalamnya
mempersoalkan perbatasan antara kedua negara kota tersebut, yang dirumuskan
dalam bahasa Sumeria.
Bangsa-bangsa lain
yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum internasional kuno adalah
India, Yahudi, Yunani, Romawi, Eropa Barat, Cina dan Islam:
a.
India
Dalam lingkungan
kebudayaan India Kuno telah terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur
hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat
kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara
raja-raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya
atau Chanakya.Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI
SM di bidang hukum.
b.
Yahudi
Dalam Kitab
Perjanjian Lama, bangsa yahudi mengenal ketentuan mengenai perlakuan terhadap
orang asing dan cara melakukan perang. Perjanjian Lama adalah kitab suci bagi
umat Yahudi, yang sebagian besar ditulis dalam bahasa ibrani. Dalam hukum
perang masih dibedakan perlakuan terhadap mereka yang dianggap musuh bebuyutan,
sehingga diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang.
c.
Yunani
Yunani kuno dibagi
kedalam dua Golongan, yaitu Golongan Orang Yunani dan Luar Yunani yang dianggap
sebagai orang biadab (barbar). Mereka juga sudah mengenal arbitration
(perwasitan) dan diplomat yang tinggi tingkat perkembangannya. Sumbangan
terbesar dari masa ini adalah Hukum Alam, yaitu hukum yang berlaku mutlak
dimana saja dan berasal dari rasio/akal manusia. Menurut Profesor Vinogradoff,
hal tersebut merupakan embrio awal yang mengkristalisasikan hukum yang berasal
dari adat-istiadat, contohnya adalah dengan tidak dapat diganggugugatnya tugas
seorang kurir dalam peperangan serta perlunya pernyataan perang terlebih
dahulu.
Dalam prakteknya
dengan hubungan negara luar, Yunani kuno memiliki sumbangan yang sangat
mengesankan dalam kaitannya dengan permasalahan publik. Akan tetapi, sebuah hal
yang sangat aneh bagi sistem arbitrase modern yang dimiliki oleh arbitrase
Yunani adalah, kelayakan bagi seorang arbitrator untuk mendapatkan hadiah dari
pihak yang dimenangkannya.
d.
Romawi
Pada masa ini
orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis Hukum, yaitu Ius Ceville (Hukum bagi
Masyarakat Romawi) dan Ius Gentium (bagi Orang Asing). Hanya saja, pada zaman
ini tidak mengalami perkembangan pesat, karena pada saat itu masyarakat dunia
merupakan satu Imperium, yaitu Imperium Roma yang mengakibatkan tidak adanya
tempat bagi Hukum Bangsa-Bangsa. Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak sekali
asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah konsep
seperti occupatio servitut dan bona fides, juga asas “pacta sunt servanda”
(setiap janji harus disepakati) yang merupakan warisan kebudayaan Romawi yang
berharga.
Bangsa Romawi
dalam pembentukan perjanjian-perjanjian dan perang diatur melalui tata cara
yang berdasarkan pada upacara keagamaan. Sekelompok pendeta-pendeta istimewa
atau yang disebut Fetiales, tergabung dalam sebuah dewan yang bernama collegium
fetialum yang ditujukan bagi kegiatan-kegiatan yang terkait secara khusus
dengan upacara-upacara keagamaan dan relasi-relasi internasional. Sedangkan
tugas-tugas fetiales dalam kaitannya dengan pernyataan perang, merekalah yang
menyatakan apakah suatu bangsa (asing) telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap
hak-hak bangsa Romawi atau tidak.
e.
Eropa Barat
Pada masa ini,
Eropa mengalami masa-masa chaotic (kacau-balau) sehingga tidak
memungkinkannya kebutuhan perangkat Hukum Internasional. Selain itu, Selain
itu, Selama abad pertengahan dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang
berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai
Kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu
masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Tahta Suci,
dan sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani.
f.
Cina
Pencapaian yang
menarik dari bangsa Cina adalah upaya pembentukan perserikatan negara-negara
Tiongkok yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu, yang dianggap telah sebanding dengan
konsepsi Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada masa modern.
g.
Islam
Pada periode ini
umat islam terbagi-terbagi pada beberapa Negara dan bangsa, sehingga tidak
dimungkinkannya untuk menyatakan suatu pandangan Islam yang dapat mewakili
semua kelompok yang terdapat didalamya. Beberapa sarjana memiliki anggapan
bahwa hukum internasional modern tidak murni sebagai hukum yang secara
eksklusif warisan Eropa. Sehingga mereka berkesimpulan akan terdapatnya
pengaruh-pengaruh yang indispensable dari peradaban-peradaban lain, yang
diantaranya adalah peradaban Islam, yang pada saat itu merupakan kekuatan
ekonomi di atas bangsa Eropa. Pengaruh Islam terhadap sistem hukum
internasional Eropa dinyatakan oleh beberapa sejarawan Eropa diantaranya Marcel
Boissard dan Theodor Landschdeit.
Hukum
internasional islam telah muncul jauh sebelum hukum internasional barat ada. Di
zaman Rasulullah, praktek internasional telah diberlakukan dengan
seadil-adilnya. Rasulullah telah membuat pedoman hubungan antara negara Islam
dengan non-Islam dalam perang dan damai. Beliau juga telah mengadakan beberapa
perjanjian-perjanjian internasional dengan bangsa-bangsa lain.
Pakar Hukum
internasional Islam modern Madjid Khaduduri mengakui, Islam memiliki karakter
agresif dengan lebih mengarah pada penaklukkan dibandingkan kristen, sebagaimana
yg tercantum dalam Wasiat Lama ataupun Baru. Hal ini menunjukkan bahwa Hukum
Islam memiliki kelebihan dalam hal pengaturan mengenai hukum perang yang lebih
komprehensif, yang dibuktikan dengan pengecualian wanita, anak-anak, orang tua,
binatang dan lingkungan sebagai kategori non-combatans, sebagaimana dinyatakan
dalam pidato Abu Bakar ra, ataupun praktek pertukaran tawanan secara
besar-besaran yang diduga bermula dari Khalifah Harun Al-Rasyid.
Dar
al-islam (Negara Islam) dan Dar al-harb (Negara Non-Islam). Sebuah
perbedaan penting dibuat dalam teologi Islam adalah antara dar al-harb dan dar
al-islam. Sederhananya, dar al-harb (wilayah perang atau kekacauan)
adalah nama untuk daerah di mana Islam tidak mendominasi, dan kehendak Ilahi
tidak diamati, dan terjadi perselisihan norma didalamnya. Sebaliknya, dar
al-islam (wilayah damai) adalah suatu wilayah di mana Islam mendominasi,
dan mayoritas tunduk dan taat pada Ilahi, dan di mana perdamaian dan ketenangan
menjadi tujuan pemerintahannya.
Pada awalnya,
perbedaan ini tidak muncul secara sederhana, namun pada satu hal, divisi ini
dianggap sebagai hukum daripada teologis. Dar al-harb tidak terlepas
dari dar al-islam, ada hal-hal dimana popularitas muslim bukanlah faktor utama
sebagai identitas wilayah, akan tetapi dipengaruhi oleh sistem pemerintah yang
memiliki kendali penting dalam Negara. Sebuah bangsa berpenduduk mayoritas
Muslim yang tidak diperintah oleh hukum Islam dapat disebut sebagai dar
al-harb, sementara bangsa minoritas Muslim yang diperintah oleh hukum Islam
dapat memenuhi syarat sebagai bagian dari dar al-islam.
Islam adalah agama
yang lebih terfokus pada perilaku yang tepat (ortopraksi) daripada keyakinan
dan iman (ortodoksi). Dalam islam, iman seseorang bisa bertambah dan bisa
berkurang sesuai dengan prilaku dan usaha yg dilakukannya. Keimanan seseorang
akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dari sini kita
dapat simpulkan ketika dar al-islam benar-benar berdiri, maka hal ini akan
berpengaruh pada semakin meningkatnya keimanan seseorang (penduduknya), karena
prilaku masyarakat yang baik dan benar menjadi asas terbentuknya kehidupan yg
harmonis, aman dan damai.
Islam juga
merupakan agama yang tidak pernah memiliki ideologi atau tempat teoritis
pemisahan antara politik dan bidang agama. Dalam Islam ortodoks, kedua istilah
ini merupakan suatu fundamental dan harus dihubungkan. Itu sebabnya dalam
divisi ini, antara dar al-harb dan dar al-islam lebih didefinisikan sebagai
kontrol politik daripada popularitas agama.
Sifat dar al-harb
yang secara harfiah berarti “wilayah perang,” perlu dijelaskan sedikit lebih
detail. Untuk satu hal ini, diidentifikasikan sebagai daerah kekacauan yang
didasarkan pada premis (dasar pikiran), bahwa perselisihan dan konflik
merupakan konsekuensi dari orang yg gagal mengikuti kehendak Tuhan. Secara
teori, setidaknya, ketika semua orang konsisten dalam ketaatan mereka kepada
aturan yang ditetapkan oleh Allah, maka itu akan berdampak pada terciptanya
kehidupan yang damai dan harmonis antara satu dengan yg lainnya.
Hubungan Dar
al-Islam dan Dar al-harb: Negara islam (Daulah
al-Islamiyah) merupakan suatu negara yg berdiri berasaskan pada satu
keyakinan (‘aqidah/iman), dan para penduduknya bersatu dalam kesatuan suku
bangsa yaitu satu ummat (ummatun wahidah) yang tidak dibedakan atas dasar
jenis, bahasa, adat dan budaya ataupun oleh faktor perbedaan lainnya. Mereka
adalah saudara sebagaimana dalam firman Allah SWT. “Sesungguhnya Orang-orang
mu’min itu adalah saudara” dan dalam ayat yang lainya, “Sesungguhnya (agama
Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu,
maka sembahlah Aku”. (Al-Anbiya; 92).
Hubungan Negara
Islam dengan Negara-negara lainnya bisa dibedakan dalam dua kondisi; kondisi
perang dan kondisi damai. Kondisi Perang: Ketika Negara islam berada dalam
kondisi diserang oleh Negara-negara musuh, maka perang hukumnya wajib,
sebagaimana dalam firman Allah: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”.
(Q.S Al Mumtahanah: 8 dan 9)
Banyak di temui
dalam sejarah: orang-orang kafir yang membantu kaum muslimin dalam perjuangan
Islam seperti dalam penaklukan Spanyol dan penaklukan Mesir. Mereka mengusir
orang-orang Romawi dengan bantuan orang Qibti. Banyak pula di antara
orang-orang kafir yang diangkat sebagai pegawai pada kantor-kantor Pemerintah
di masa Umar bin Khattab dan pada masa kerajaan Umawiyah dan `Abbasiah, bahkan
ada di antara mereka yang diangkat menjadi duta mewakili pemerintahan Islam.
Dari sini menggambarkan bahwa islam menjunjung tinggi nilai keadilan dan
persamaan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara penduduk-penduduknya
(Muslim dan non-Muslim). Namun, apabila orang-orang kafir memerangi dan
mengsusir penduduk Muslim dari negerinya, maka perang menjadi wajib hukumnya.
Kondisi Damai: Sedangkan
ketika dalam kondisi damai, telah kita jelaskan sebelumnya bahwa islam sangat
menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan tanpa memandang perbedaan ras,
suku, jenis, adat dan budaya. Dalam kondisi ini, hubungan antara Negara islam
dengan Negara-negara lain (non-islam) sebatas pada menjalin hubungan kerjasama
(perdamaian) dan perjanjian-perjanjian baik dalam bidang politik, ekonomi,
sosial dan budaya, dll. Sesungguhnya Islam cenderung pada kedamaian sesuai
dengan makna harfiyahnya ‘Islam=damai’, bukan perang/memusuhi, dan islam
melarang seorang muslim untuk membunuh orang lain hanya karena beda keyakinan
(agama) atau karena kesalahan yg dilanggar olehnya, tetapi islam memberikan
wewenang untuk melawan apabila diserang, dan perang dalam islam memiliki dua
tujuan utama, yaitu: menangkis agresi (permusuhan/perlawanan) dan melindungi
serta mengokohkan risalah da’wah al-islamiyah.
Asas dari pendapat
ini adalah firman Allah SWT. “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil” (Q.S Al Mumtahanah: 8), dan diayat yang lainnya: “Dan perangilah
di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu
lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di
Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka
memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi
orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka
itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. (Q.S.
Al-Baqarah; 190-193).
Islam melarang
(dalam perang) membunuh wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, biarawan, dan
orang-orang yang cacat (buta, dll), karena mereka bukan dari golongan prajurit
perang.
Dewasa ini, dan
yang masih hangat-hangatnya saat ini adalah isu terorisme yg ditujukan pada
gerakan dan organisasi-organisasi islam oleh dunia internasional khususnya
wilayah barat. Pada pembahasan kali ini tidak akan kami jelaskan secara detail,
karena akan keluar pada topik kajian kita saat ini. Namun, sedikit kami
tambahkan, bahwa ideologi yang menghalalkan segala cara untuk memerangi dan
membunuh orang-orang kafir adalah tidak benar. Orang-orang kafir dalam
hubungannya dengan islam terbagi menjadi empat golongan:
a.
Ahlu Dzimmah (penduduk non-muslim yang bermukim di
Negara islam),
b.
al-Musta’min (orang asing yang dapat perlindungan, yang
masuk dalam Negara islam untuk keperluan wisata, study, dll dan dengan waktu yg
terbatas),
c.
al-Mu’ahhad (orang-orang kafir yang telah terjadi
kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu
yang telah disepakati),
d.
al-harbi (orang asing yang masuk ke Negara islam dengan
tujuan memusuhi dan memerangi dan merampas hak-hak orang-orang muslim).
Untuk golongan
yang pertama, sebelumnya telah dijelaskan bagaimana islam memberikan tempat dan
wilyah kepada orang-orang non-muslim dalam hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
sebagai penduduk Negara islam. Mereka berhak untuk mendapatkan perlakuan yg
sama dan adil baik dalam kehidupan pemerintahan maupun dalam kehidupan sosial.
Rasululullah SAW. Bersabdah: “barang siapa yang menyakiti ahlu dzimmah maka
akulah lawannya, dan siapa-siapa yang menjadi lawanku maka dihari kiamat dia
akan tetap menjadi lawanku” al-khatib al-jami’ 2/269.
Sedangkan untuk
golongan yang kedua al-musta’min, hubungannya dapat kita jelaskan
dengan ‘aqdul amman (akad keamanan), yaitu komitmen masing-masing
untuk saling menjaga keamanan dan keselamatan dari gangguan/bahaya, dan
komitmen untuk tidak menciptakan kerusakan dan bahaya. Allah SWT. berfirman
dalam hal ini: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah: 6)
Untuk golongan
yang ketiga yaitu Al-Mu’ahhad, Rasulullah SAW bersabdah: “Siapa yang membunuh
kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga
itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)
Sedangkan golongan
yang terakhir adalah golongan yang wajib untuk diperangi adalah golangan
al-harbi, sebagaimana dalam firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah 190-193
seperti yang telah tertulis sebelumnya “Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu….”. Mereka inilah yang menjadi musuh islam yang
sesungguhnya, yang hendak memerangi, mengusir dan membuat kerusakan dimuka
bumi. Dan masih banyak dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadis yang menganjurkan
untuk memerangi orang-orang kafir (al-harbi).
B. Permulaan Hukum Internasional Klasik
Setelah jatuhnya
Kekaisaran Romawi dan runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci menjadi kota mandiri,
kerajaan-kerajaan dan bangsa-bangsa untuk pertama kalinya menyatakan
kebutuhannya akan aturan perilaku antara masyarakat internasional secara
besar-besaran. Sebagian besar Negara-negara Eropa meruju’ pada kode Justinian
hukum dari Kekaisaran Romawi dan hukum kanon Gereja Katolik untuk mencari
inspirasi.
Perdagangan
internasional adalah katalis nyata untuk tujuan pengembangan aturan-aturan
perilaku antar negara. Tanpa aturan dan kode etik, ada sedikit hal yang
menjamin perda-gangan dan melindungi para pedagang asing dari tindakan-tindakan
yang mengancam. Kepentingan ekonomi inilah yang mendorong terjadinya evolusi
kebiasaan internasional untuk mengatur perdagangan luar negeri, dan yang paling
penting adalah aturan dan kebiasaan hukum maritim.
Seperti halnya
dalam perdagangan internasional, eksplorasi dan peperangan menjadi faktor yang
menghalang distribusi kebutuhan untuk umum dan terealisasinya praktek-praktek
kebiasaan internasional. Di abad ke-13 M, muncul perhimpunan Liga Hanseatik
untuk memperkuat kesehatan ekonomi dari kota-kota Jerman Utara yang bersatu.
Dari sini perdagangan internasional berkembang pesat, dan Hamburg menjadi
pelabuhan utama dalam perdagangan antara Rusia dan Flandria dengan posisinya
sebagai penguasa dan penjaga sungai Elbe. Kota di Italia menjadi pengatur
diplomatik negara-negara berkembang, ketika mereka mulai mengirim duta besar
modal asing. Perjanjian-perjanjian antara pemerintah dimaksudkan untuk mengikat
dan menjadi alat yang berguna untuk melindungi perdagangan. Kengerian Perang
Tiga Puluh Tahun Sementara itu melahirkan kecaman untuk menciptakan
peraturan-peraturan tempur yang akan melindungi masyarakat sipil.
Permikiran
Fransisco Vittoria (1480-1546).
Fransisco Vittoria
adalah seorang Biarawan Dominikan berkebangsaan Spanyol, menulis buku Relectio
de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Ia
beranggapan bahwa Negara dalam tingkah lakunya seperti individu, tidak boleh
bertindak sesuka hati (Ius Intergentes), akan tetapi Negara memerlukan
aturan dalam menjalankan hubungan internasional. Dengan demikian, hukum
bangsa-bangsa yang ia namakan ius intergentes tidak hanya terbatas pada dunia
kristen Eropa, melainkan meliputi seluruh umat manusia.
Pemikiran
Hugo Grotius (1583-1645)
Praktek internasional,
adat-istiadat, peraturan dan perjanjian berkembang biak sampai pada titik
kerumitan. Beberapa sarjana mencoba mengkompilasi hingga terlahir risalah yang
terorganisir. Yang Paling penting diantaranya adalah Hugo Grotius,
risalah De Jure Belli Ac Pacis Libri Tres (hukum perang dan damai)
tahun 1625, yang dianggap sebagai titik awal bagi perkembangan hukum
internasional modern. Sebelum Hugo Grotius, kebanyakan para pemikir Eropa
beranggapan bahwa hukum diperlakukan sebagai sesuatu yang independen dari manusia,
dengan bersandarkan pada hukum alam.
Pemikiran Grotius
tidak begitu berbeda dengan yang lainnya kecuali dalam satu hal penting,
Pemikir-pemikir sebelumnya percaya bahwa hukum alam itu diberlakukan oleh dewa,
sedangkan Grotius percaya bahwa hukum alam berasal dari universal dan bersifat
umum untuk semua orang.
Perspektif
rasionalis ini memungkinkan Grotius untuk menempatkan beberapa hukum yang
mendasari prinsip-prinsip rasional. Hukum tidak dipaksakan dari atas, tetapi
berasal dari prinsip-prinsip, termasuk prinsip-prinsip dasar aksioma (yang
tetap atau dianggap terbukti dengan sendirinya) dan restitusi (hal yang
merugikan diperlukan yang lain). Kedua prinsip ini telah menjadi dasar bagi
sebagian besar hukum internasional berikutnya. Selain dari prinsip-prinsip
hukum alam, Grotius juga menghubungkannya dengan kebiasaan internasional,
peraturan tentang apa yang “seharusnya” dilakukan. Hal ini merupakan pendekatan
hukum internasional positif(al-madrosah al-maudu’iyah lil qonun
al-dauli) yang diperkuat dari waktu ke waktu.
Perjanjian
Westphalia 1648
Hukum
Internasional modern menjadi suatu sistem hukum yang mengatur hubungan
internasional, yang lahir bersamaan dengan kelahiran masyarakat Internasional
yang didasarkan pada negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya
negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya
perjanjian perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh
Tahun di Eropa.
Perdamaian
Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional
modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang
didasarkan atas negara-negara nasional, sebabnya adalah :
1.
Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian
Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik sebagai dampak
perang di Eropa.
2.
Perjanjian
perdamaian mengakhiri usaha Kaisar Romawi suci untuk berkuasa selama-lamanya.
3.
Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan
hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
4.
Kemerdekaan negara Netherland, Swiss dan negara-negara
kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.
Selain itu,
Perjanjian Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional
yang baru, baik mengenai bentuknya yang didasarkan atas negara-negara nasional
(tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan), maupun mengenai hakekat negara
itu dan pemerintahannya yaitu pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari
pengaruh gereja.
Ciri-ciri pokok
yang membedakan organisasi susunan masyarakat Internasional yang baru ini dari
susunan masyarakat Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan adalah:
1.
Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.
2.
Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya
didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat.
3.
Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di
atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai
Kepala Gereja.
4.
Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum
yang banyak mengambil pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi.
5.
Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai
hukum yang mengatur hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar
yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini.
6.
Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan
polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional.
7.
Lunturnya anggapan perang yang berkaitan dengan
segi-segi keagamaan, beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum
(ajaran perang suci) kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu
cara penggunaan kekerasan.
Dasar-dasar yang
diletakkan dalam Perjanjian Westphalia ini diperteguh dalam Perjanjian Utrech,
yaitu perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1713 yang membantu mengakhiri
Perang Suksesi Spanyol.
C. Hukum Internasional Modern:
Dalam Hukum
internasional modern, keputusan pengadilan dan perjanjian/traktat lebih
berpengaruh dari pada pendapat ahli hukum. Ada beberapa sumber-sumber hukum
internasional yang turut mempengaruhi lahirnya hukum internasional tertulis.
Secara karakteristik, sumber hukum internasional dapat dibagi menjadi dua;
Pertama adalah sumber formil (al-mashadir al-syakliyah / formal
source), kedua adalah sumber materil (al-mashodir al-madiyah /
material source). Secara singkat, sumber formil dapat diartikan sebagai
segala proses prosedural yang melegalisi hukum internasional secara nyata.
Sedangkan sumber materil adalah segala sesuatu di mana hukum internasional
bersumber dari padanya dan menjadi asas. Beberapa sumber valid yang dapat dijadikan
sandaran hukum internasional adalah sebagai berikut:
a.
Adat istiadat/kebiasaan Internasional (al-’urf
al-dauli/International Custom)
Asas kebiasaan
merupakan suatu sumber hukum internasional yang tersepakati keabsahannya dalam
mendasari peraturan-peraturan antar negara. Para pakar hukum internasional
bersepakat bahwa perilaku kebiasaan internasional mempunyai dua elemen.
Pertama, adalah elemen psikologikal (al-’unshur al-ma’nawi) yaitu, tercapainya
suatu pengakuan dunia internasional akan legalitas suatu aksi kebiasaan
tertentu dan tumbuhnya komitmen untuk menghormatinya. Kedua, adalah elemen
materil (al-’unshur al-maadi), elemen kedua ini akan terpenuhi dalam suatu
perilaku tertentu bila di dalamnya terdapat dan terpenuhinya beberapa sub
elemen sebagai berikut:
1.
Kecukupan Temporalistis (Fatroh Zamaniah
2.
Mu’ayyanah/Duration of Practice)
3.
Generalitis (‘Umumiyah al-Suluk/ Extend of
Practice)
4.
Keterpaduan (Ittisaqi/Uniform)
b.
Perjanjian Internasional (Mu’ahadat/Treaties)
Perjanjian
internasional adalah suatu kesepakatan yang tunduk di bawah peraturan hukum
internasional, baik berupa kesepakatan umum ataupun khusus yang melibatkan dua
Negara atau lebih. Sebuah perkembangan penting dalam hukum internasional modern
adalah konsep “persetujuan/perjanjian”. Sebelum Perang Dunia II, negara tidak
akan dipertimbangkan untuk terikat dengan aturan tertentu, kecuali setelah
adanya persetujuan resmi atau sudah menjadi hal yang lazim untuk mematuhinya.
Perjanjian modern
ditafsirkan sesuai dengan Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian.
Konvensi ini sangat diterima secara luas, bahkan bangsa yang tidak berpihakpun
mengikuti konvensi ini. Dalam konvensi ini, aturan yang paling penting dan
masuk akal adalah bahwa suatu perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan makna
polos bahasanya, dengan konteks tujuan dan dengan itikad yg baik. Hal ini untuk
mencegah terjadinya pertikaian dan pertengkaran seputar penafsiran perjanjian
atau dalam istilahnya nit-picking.
Dalam dunia
modern, perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang lebih penting dari
yang lainnya. Bahkan negara yang paling kuat bergantung padanya dan berusaha
untuk memenuhinya. Dan apabila mengabaikannya maka kerugian adalah
konsikuensinya.
c.
Prinsip Hukum Umum (Al Mabadi’ al Ammah Lil
Qonun/General Principles of Laws)
Meskipun bukan
merupakan sumber pokok hukum internasional sebagaimana dua sumber yang telah
disebutkan di atas, sumber yang ketiga ini juga diakui publik internasional
sebagai salah satu sumber hukumnya. Walaupun devinisi tentang sumber hukum ini
belum mencapai kata sepakat, setidaknya pengertian yang biasa dipakai dalam
mengartikan sumber hukum ini adalah prinsip-prinsp umum yang diakui legalitas
dan kekuatan hukumnya oleh semua bangsa-bangsa masyarakat internasional,
sebagai contohnya adalah tentang prinsip tanggungjawab atas tindakan yang
merugikan pihak lain dan semacamnya.
d.
Keputusan Hukum Internasional (Ahkamu al-Qodlo al
Dauli/ Judicial Decisions)
Sumber ke empat
ini sebenarnya adalah sumber hukum internasioanal yang bersifat
cabang/sub (al mashdar al ihtiyathi / subsidiang source), sehingga
meskipun keputusan ini hakikatnya hanya berlaku bagi Negara-negara yang menjadi
subyek penghakiman, namun keputusan yang diambil atas Negara tersebut bisa
dijadikan sebagai argumentasi pada suatu kasus yang sama pada Negara yang
berbeda.
D. Hukum Internasional Islam
Pakar dan peneliti
hukum internasional modern menjadikan buku Grotius sebagai dasar ilmu hukum
internasional, padahal buku tersebut baru muncul pada abad ke-17 M atau pada
tahun 1625. Sebaliknya, ulama Islam dengan bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadis
telah menulis buku mengenai hukum internasional sekitar 1.000 tahun sebelumnya.
Yaitu, dimulai dengan penulisan Zaid bin Ali (wafat tahun 122 H). Diakui bahwa
Imam Abu Hanifah (wafat tahun 150 H) memberikan ceramah dengan judul Hukum
Internasional Islam, Beliau termasuk orang pertama yang menggunakan istilah
syiar untuk hukum tersebut, hal ini dilanjutkan oleh sahabat dan muridnya,
Muhammad bin Hassan al-Shaibani (wafat tahun 189 H), dengan menulis dua buku Kitab
al-Siyar al-Saghir dan Kitab al-Siyar al-Kabir. Imam Malik (wafat tahun
189 H) juga mengkhususkan beberapa bab mengenai hukum internasional dalam
kitabnya al-Muwattha.
Dalam konteks
internasional, hubungan antara negara diatur oleh satu hukum internasional yang
definisinya adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara negara
serta menentukan hak dan kewajiban bagi setiap negara dalam keadaan damai atau
perang. Maka peraturan yang dijadikan sebagai hukum internasional semestinya
diawasi dan dipegang oleh suatu badan pelaksana (eksekutif) yang mempunyai
wewenang agar semua negara mematuhinya.
Konsep Hukum
Internasional Islam adalah berdasarkan kepada nilai (value), bukan
kepentingan (interest) seperti yang dipraktekkan oleh Barat sepanjang
sejarah. Barat menempatkan kekuatan sebagai fokus hubungan internasional. Hukum
internasional, menurut Barat adalah hukum negara kuat dalam memaksakan
kehendaknya. Kita lihat saja apa yang terjadi di Palestina, Afghanistan, Irak,
Sudan, dan Iran. Semua keputusan yang tidak memihak kepentingan Barat pasti
ditolak dan semua keputusan yang memihak kepada kepentingan mereka akan
didukung walaupun diperlukan satu adegan diplomatik dalam prosesnya.
Islam secara umum,
Dr. M. Abu Zahrah mengemukakan sepuluh prinsip dasar tentang kelangsungan
hubungan internasional dalam teori dan praktek kaum Muslimin, Yaitu :
1.
Islam menempatkan kehormatan dan martabat manusia
sebagai makhluk terhormat. Ia sebagai khalifah di muka bumi.
2.
Manusia sebagai umat yang satu dan disatukan, bukan
saja oleh proses teori evolusi historis dari satu keturunan Nabi Adam as,
melainkan juga oleh sifat kemudian yang universal.
3.
Prinsip kerjasama kemanusiaan (ta’awun
insani) dengan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
4.
Prinsip toleransi (tharsomah) dan tidak
merendahkan pihak lain.
5.
Adanya
kemerdekaan (hurriyah/istiqlal). Kemerdekaan menjadi sangat penting
sebab merupakan akar pertumbuhan dan kesempurnaan manusia.
6.
Akhlak yang mulia dan keadilan.
7.
Perlakuan yang sama dan anti diskriminasi.
8.
Pemenuhan atas janji.
9.
Islam menyeru kepada perdamaian, karena itu harus
mematuhi kesepakatan merupakan kewajiban hukum dan agama.
10. Prinsip
kasih sayang dan mencegah kerusakan.
Ajaran Islam
adalah ajaran Ilahi yang adil karena dibuat oleh Sang Maha Pencipta. Ajaran
Islam bukan untuk kelompok tertentu tetapi untuk semua kelompok (rahmatan lil
‘alamin). Rasulullah melaksanakan hukum internasional dengan seadil-adilnya dan
menyuruh umatnya untuk mengikuti jejak Baginda. Beliau membuat pedoman hubungan
antara negara Islam dan non-Islam dalam perang dan damai (-seperti yang telah
kita jelaskan sebelumnya-). Ketika perang tidak boleh membunuh wanita, orang
tua, anak-anak, binatang, membakar tanaman, dan merusak lingkungan. Adab dalam
perang wajib dipatuhi oleh semua pejuang Islam, jika tidak maka dia termasuk
musuh Nabi.
Pada masa damai,
perjanjian dengan negara non-Islam harus dipatuhi dan dijunjung tinggi dengan
menjaga dan melaksanakan semua aturan main. Abu Rafi adalah duta orang Quraisy
dalam suatu perjanjian dengan Nabi. Tetapi setelah menandatangani perjanjian,
dia ingin memeluk Islam, Nabi pun melarangnya dan memberi saran apabila dia
ingin masuk Islam, dia mesti menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu dan kembali
ke Makkah, setelah itu baru kembali lagi ke Madinah sebagai orang biasa bukan
utusan Quraisy. Wahshy, budak yang membunuh paman Rasulullah, yaitu Hamzah
dalam Perang Uhud, adalah tempat Rasulullah pernah bersumpah untuk membalas
dendam, tapi kemudian diurungkan niatnya tersebut kerena turun sebuah ayat
Alquran mengenainya. Dan ketika Wahsyi diangkat menjadi utusan Habsyah, Beliau
menghormatinya sebagai utusan. Nabi juga mengangkat Amr ibn Umaysh al-Damiri,
seorang non-Islam sebagai duta Rasulullah di negara Habsyah. Nabi tidak
membunuh utusan Musailamah al-Kazzab yang sudah jelas murtad karena dia dalam
kapasitasnya sebagai utusan diplomatik. Semua contoh ini membuktikan betapa
mulianya Nabi dan ajaran Islam dalam kaitannya dengan hukum internasional.
Penyebaran dan
kemuliaan ilmu Islam sampai ke Eropa melalui keagungan pemerintahan Islam di
Andalus. Penyebaran Islam ke Eropa mempengaruhi perkembangan hukum
internasional. Kenyataan ini terbukti dengan fakta sejarah, ketika raja Eropa
berduyun-duyun mempelajari ilmu pengetahuan dari orang Islam, diantara mereka
adalah Roger I (Raja Sisilia), Raja Alphonse (Raja Castila), dan Raja Philip
(Raja Inggris). Raja Federick II, yaitu Raja Jerman yang memanfaatkan ilmu
Islam, sehingga mereka berhasil menerapkannya ke dalam kehidupan rakyatnya.
Raja Frederick II, orang yang pertama memperkenalkan pemerintah yang
dilembagakan di Eropa, contohnya, mendirikan sebuah universitas di Napoli pada
tahun 1224, mengikuti bentuk dan susunan universitas di Cordova.
Dalam salah satu
surat kabar Indonesia Republika tanggal 27 Juni 2009, memberitakan bahwa ajaran
Islam diakui telah memberi pengaruh dan memperkaya hukum-hukum pengungsi
internasional modern. Sebuah studi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menyebutkan bahwa pengaruh dan sumbangan Islam bagi hukum internasional
tentang pengungsi lebih besar dibandingkan sumber-sumber lainnya. Pimpinan
Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Antonio Guterres, dalam kata
sambutan hasil studi yang dilakukan organisasi internasional itu mengatakan;
”Komunitas internasional harus menghargai dan mengakui kontribusi ajaran Islam
yang mengajarkan kebaikan dan keramahtamahan bagi hukum modern,”
Kontribusi lain
yang lebih praktis, yaitu tumbuhnya negara-negara muslim sekitar pertengahan
abad ke-20-an, terutama sejak dideklarasikannya sepuluh Dasasila Bandung, hasil
Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Banyak negara di belahan benua
Asia dan Afrika yang pada akhirnya melepaskan diri dari penjajahan dan merdeka.
Seperti halnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yg memproklamasikan kemerdekaanya
pada tanggal 17 Agustus 1945, dan negara Mesir beserta Negara-negara Arab
lainnya menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia
setelah dijajah oleh Belanda. Dengan demikian, lengkaplah syarat-syarat sebuah
negara berdaulat bagi Republik Indonesia. Dua puluh tahun kemudian, yaitu
sekitar tahun 1973, negara-negara Islam sepakat untuk mendirikan Organisasi
dunia yang dinamakan Organisasi Konferensi Islam Internasional atau OKI.
Soekarno dan Gamal Abdul Natsir (Presiden Mesir) telah memainkan peranan
penting dalam pembentukan OKI tersebut.
SUMBER REFERENSI:
Panitia
Sertifikasi Guru Rayon XII UNNES. 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional
http://massofa.wordpress.com/2012/02/06/sejarah-hukum-internasional/
(4 Maret 2013)
diktat
kuliah al-qonun al dauli/international law
diktat kuliah al-munadzamat dauliyah / internationals organization
Pengantar Hukum Internasional
Fikrotul Islam fil ‘alaqat dauliyah
Makalah-makalah
Surat Kabar Republika
Wikipedia
diktat kuliah al-munadzamat dauliyah / internationals organization
Pengantar Hukum Internasional
Fikrotul Islam fil ‘alaqat dauliyah
Makalah-makalah
Surat Kabar Republika
Wikipedia
0 Response to sejarah perkembangan hukum didunia
Posting Komentar